22 Agustus 2023
20:03 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Perkembangan teknologi berimplikasi terhadap keseharian manusia. Segala kegiatan dan kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari, kini biasa dan bisa dilakukan hanya dengan menyentuh layar gawai. Salah satu warga negara yang merasakan kemudahan itu adalah Chandra (27). Pemuda ini mengaku hampir separuh kegiatan sehari harinya membutuhkan bantuan teknologi.
"Kaya bangun pagi baca berita, online; pesan makan, online; mau berangkat kerja pesan kendaraan online; belanja, online. Sekarang kalau mau bayar apa-apa juga jarang pegang cash, bayar online," katanya, Senin (21/8).
Dia bercerita, kebiasaan menggunakan internet untuk segala keperluan ini mulai diterapkannya di kala pandemi. Keterbatasan akses, larangan beraktivitas di luar, hingga kondisi yang mengharuskan menjaga jarak, membuat dia terbiasa mendapatkan bantuan lewat berbagai macam aplikasi yang tersedia.
"Terutama belanja, sangat membantu kalau lewat aplikasi. Mau pesen apa tinggal scroll, masukin keranjang abis itu check out. Barang juga bisa dikirim dari mana aja, bahkan dari luar negeri sekalipun padahal posisi kita di Jakarta," ceritanya.
Ya, hanya dalam waktu tiga tahun, pandemi covid-19 telah mengakselerasi pertumbuhan industri e-commerce di Indonesia dan meningkatkan konsumsi masyarakat di platform digital. Hal ini bisa dilihat berdasarkan laporan “Navigating Indonesia’s E-Commerce: Omnichannel as the Future of Retail". Disrupsi teknologi, demikian orang menyebutnya.
Laporan tersebut menunjukkan 74,5% konsumen di Indonesia lebih banyak berbelanja online daripada berbelanja offline. Laporan menemukan, pandemi membuat 17,5% konsumen offline mulai mencoba berbelanja secara online.
Kanal penjualan yang digunakan oleh konsumen untuk berbelanja online juga beragam. Di antaranya adalah marketplace, media sosial, dan website. Konsumen yang memilih untuk berbelanja online secara eksklusif juga meningkat dari 11% sebelum pandemi menjadi 25,5% di awal 2021.
Transaksi jual beli daring melalui platform e-commerce belakangan memang telah meningkat pesat di Indonesia. Tak hanya berbelanja produksi dalam negeri, kehadiran beberapa pemain besar, seperti Shopee dan TikTok Shop ini memungkinkan masyarakat bisa mengimpor langsung tanpa ribet. Perdagangan cross border jadi sangat mudah dilakukan.
Hanya dengan sekian kali klik, pembeli tinggal menunggu barang diantarkan ke rumah dari luar negeri. Pembayaran pun dalam rupiah dan bisa membeli dalam kuantitas kecil. Keunggulan lain bagi pembeli adalah harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk serupa di Indonesia.
Sebagai informasi, praktik perdagangan lintas batas alias cross border adalah masuknya barang impor ke dalam wilayah atau negara tanpa melewati proses pemeriksaan pabean. Umumnya barang yang dipesan melalui e-commerce akan dikirimkan langsung ke konsumen oleh penjual dari luar negeri.
Meskipun dengan telah menciptakan berbagai tren baru, pertumbuhan cross border yang pesat ini akhirnya kian lama dirasakan meresahkan. Perdagangan ini dinilai memunculkan persaingan usaha yang tidak sehat antar-pemain perdagangan daring, serta level playing field tidak setara. Mirisnya, produk UMKM tak mampu bersaing dan harus kalah di negeri sendiri.
Data Kementerian Perdagangan mencatat, jumlah dokumen Consignment Notes (CN), barang kiriman sepanjang tahun 2021, mencapai mencapai 61,49 juta. Dan, 90% dari barang kiriman tersebut merupakan barang kiriman melalui perdagangan elektronik.
Lalu, sebanyak 98,71% harga barang kiriman luar negeri bernilai di bawah US$100.

Polemik Cross Border di Indonesia
Kontroversi soal praktik cross border di Indonesia mencuat saat pandemi covid-19. Pada saat itu, barang impor yang dipasarkan di e-commerce secara deras masuk ke dalam negeri tanpa adanya kontribusi terhadap penerimaan negara.
Saat itu sejumlah platform menyediakan layanan perdagangan lintas negara langsung dengan harga yang jauh lebih murah, umumnya dari penjual asal China, kepada konsumen dalam negeri.
Belakangan, polemik perdagangan cross border menjadi isu hangat kembali. Adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM), Teten Masduki yang menyorotinya, dengan mengungkap fenomena Project S TikTok Shop.
Dia menilai proyek perdagangan yang sedang digarap dan diuji TikTok itu akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia.
Project S dicurigai menjadi cara TikTok untuk mengoleksi data suatu produk yang penjualannya laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China dan dijual ke negara tempat mereka mengambil datanya. Kecurigaan soal Project S TikTok pertama kali mencuat di Inggris dan dilaporkan media Financial Times.
Teten mengungkapkan, saat ini mayoritas produk yang dijual oleh sekitar 21 juta pelaku UMKM Indonesia yang terhubung di ekosistem digital adalah produk dari China. Dia khawatir jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat, pasar digital Indonesia disebut bakal didominasi oleh produk-produk dari China.
Dia mengatakan, jika retail online masih diperbolehkan menjual produk impor langsung ke konsumen, dapat dipastikan UMKM tidak bisa bersaing.
Kekhawatiran ini logis. Untuk bisa berjualan, UMKM di dalam negeri harus mempunyai izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sertifikasi halal, SNI (Standar Nasional Indonesia). Sebaliknya, barang dari luar negeri bisa masuk bebas tanpa standarisasi tersebut.
Revisi Permendag
Teten pun mendorong agar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE) direvisi. Apalagi, aturan itu dinilai tak lagi memadai, karena belum mengatur soal social commerce yang belakangan marak.
Sebaliknya, Kemendag menanggapi serius permintaan Menteri Teten. Saat ditanyai oleh Validnews, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Isy Karim memastikan bahwa draf penyempurnaan Permendag 50/2020 dalam tahapan proses Harmonisasi Rancangan Permendag dengan K/L terkait.
Dia merinci, nantinya akan ada tiga poin penting yang akan dimasukkan ke dalam revisi Permendag tersebut. Di antaranya mengatur hal-hal seperti mendefinisikan secara jelas model bisnis PMSE termasuk social commerce. Ini sebagai salah satu bentuk Penyelenggara PMSE (PPMSE) yang harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Permendag, antara lain perizinan berusaha, dll.
Kedua adalah penetapan harga barang minimum. Peraturan itu akan mengatur harga barang minimum untuk produk yang dijual langsung oleh pedagang luar negeri pada lokapasar (marketplace) sebesar US$100/unit.
Isy Karim mengamini, kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya barang asal luar negeri yang masuk langsung melalui e-commerce dengan harga lebih rendah, yang dapat mengganggu UMKM dan industri dalam negeri.
Pihaknya juga berencana menyusun positive list produk impor di bawah US$100 atau Rp1,5 juta pada revisi Permendag ini. Rencananya, usulan ini akan memperbolehkan impor barang yang tidak bisa diproduksi dalam negeri.
Positive-list pada prinsipnya merupakan daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan “langsung” masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce yang memfasilitasi perdagangan lintas negara.
"Dengan mengatur positive-list ini diharapkan dapat melindungi industri lokal dan meningkatkan daya saing produk lokal dan membantu mengatur transaksi e-commerce lintas batas dengan lebih jelas dan memberikan pedoman yang lebih konkret mengenai produk apa saja yang dapat diperdagangkan," tuturnya.
Ketiga, adanya persyaratan khusus bagi pedagang luar negeri. Nantinya, aturan ini akan mengatur persyaratan tambahan bagi pedagang luar negeri yang bertransaksi pada lokapasar dalam negeri, seperti menyampaikan bukti legalitas usaha dari negara asal.
"Bukti komitmen pemenuhan SNI dan persyaratan teknis barang dan jasa yang ditawarkan, dan informasi asal pengiriman barang," sebutnya.
Bisa Berdampak Positif?
Melihat hal tersebut, Wakil Ketua Bidang UMKM & Koperasi DPN APINDO, Arief Budiman mengatakan, di tengah ramainya pemberitaan negatif soal cross border, pihaknya juga melihat ada manfaat dari praktik impor ini. Dia mencontohkan bagi UMKM yang ingin membuka usaha, bisa terbantu dengan adanya bahan baku yang murah.
"Coba dipinggir jalan itu, ada UMKM yang jualan minuman, itu kan butuh alat segel. Itu enggak ada lokal yang buat alat itu. Makanya kita ambil dari luar negeri barang kali hanya Rp200-300 ribu saja. Tapi kalau dilarang, bisa mahal banget barangnya," katanya kepada Validnews, Senin (21/8).
Contoh lainnya adalah jarum jahit yang digunakan oleh para penjahit di Indonesia. Dia menuturkan jarum tersebut juga diimpor dari luar negeri, lantaran tidak ada produsen lokal yang membuat barang tersebut.
"Apalagi fesyen itu jadi urutan kedua produk UMKM tertinggi kan, setelah yang no satu itu UMKM makanan dan minuman. Jadi ini ada sisi positifnya," kata dia.
Selain Arief, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero juga mengatakan hal yang sama. Menurutnya jika sifat barang impor tersebut adalah bahan baku atau untuk menunjang industri IKM, hal tersebut akan berdampak positif.
Namun dia juga menegaskan, hal tersebut juga bisa berdampak negatif jika yang diimpor merupakan barang jadi. Apalagi dengan harga yang lebih murah. Jelas, impor itu akan menyulitkan pelaku UMKM untuk memasarkan produk lokal.
"Jadi kita mesti lihat dulu konten yang dikirim ini apa. Kalau dia adalah sifatnya bahan baku, saya kira ada hal positif yang bisa kita ambil. Tapi kalau sifatnya sudah barang jadi langsung masuk ke pasar Indonesia itu akan terjadi persaingan sangat ketat bagi produksi lokal," jelasnya.
Selain dampak cross border impor, Ketua Umum Assosiasi IUMKM Indonesia (AKUMANDIRI) Hermawati Setyorinny mengungkapkan manfaat cross border ekspor bagi UMKM dalam negeri. Menurutnya ini dapat membuka pasar yang lebih luas, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan kualitas produk dalam negeri.
Ini juga memungkinkan pelaku UMKM memasarkan produknya ke berbagai negara. Ia menilai pangsa pasar akan jadi lebih luas, sehingga sangat mungkin menerima lebih banyak penjualan dan pendapatan, selain itu juga mampu mendorong pertumbuhan UMKM yang lebih besar dan berdampak pada perekonomian nasional.
"Biaya operasional yang lebih murah. Sebagai contoh, ongkos kirim ke luar negeri yang ditawarkan Shopee lebih murah ketimbang pengiriman manual. Bahkan, sering kali mendapat promo gratis ongkos kirim," sebutnya.
Perihal ongkos kirim ini kerap menjadi keluhan UMKM. Salah satunya Septy Khandimas, pemilik Etnic-K. Perajin yang memproduksi aneka kerajinan dari goni bekas ini mengaku produknya diminati hingga ke mancanegara. Namun, biaya logistik yang bisa lebih dari dua kali lipat dari harga produk membuat calon pembeli mundur.
“Biaya logistik ini yang kerap jadi kendala. Kalau lagi ada pelatihan di Dinas, ini juga yang sering disampaikan pelaku UMKM. Kalau ada bantuan, mungkin produknya bisa lebih banyak diekspor,” sebutnya kepada Validnews beberapa waktu lalu.

UMKM Jangan Terlena
Edy mengatakan, dengan banyak beredarnya barang impor di Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat harusnya mempunyai keberpihakan terhadap barang lokal. Keberpihakan ini bisa dalam bentuk pembuatan aturan yang tepat untuk mendasari aturan berjualan bagi UMKM lokal dan luar.
Selain itu, bagi masyarakat sebagai konsumen juga bisa terus mendukung UMKM dengan lebih memilih produk dalam negeri. Dia menilai, sejauh ini ada banyak sekali barang lokal yang mempunyai kualitas yang lebih bagus daripada barang impor.
"Saya katakan gini kalau UMKM-nya collapse, Indonesia collapse. Kalau UMKM-nya ambruk, Indonesia ambruk. Kita tidak mau Indonesia ambruk," tukasnya.
Edy menilai, dengan persaingan yang ketat tersebut, meski tanpa kehadiran cross border UMKM harus terus mempersiapkan diri. Persiapan ini bisa dalam bentuk upaya untuk menunjukkan kualitas yang lebih baik, kuantitas yang tinggi serta literasi yang mumpuni.
"Satu hal yang selalu saya sampaikan bahwa kita UMKM itu harus tetap survive. Kita tetap harus kuat bahwa kita harus menjadi pemenang di negeri sendiri kan gitu," tegasnya.
Senada, Arief juga mengatakan selagi pemerintah sedang melakukan perbaikan pada regulasi, UMKM juga harus segera berbenah diri. Ia mengkhawatirkan, jika perbaikan aturan tak diimbangi dengan kesiapan UMKM, sebaliknya justru akan menjadi bumerang di kemudian hari.
"Bisa bisa ini (UMKM) mati bisnisnya. Saya juga meminta semua pihak mulai dari pemerintah, universitas hingga pihak swasta untuk membina UMKM agar bisa bersaing di pasar global," katanya.
Arief mendorong perlunya pendampingan usaha dari berbagai pihak yang fokus dan perhatian dalam bidang pengembangan UMKM, misalnya ditahap digitalisasi. Selain itu pendampingan UMKM, dapat dilakukan untuk berbagai hal. Dimulai dari proses perencanaan usaha sampai dengan pengemasan serta penjaminan mutu produknya.
Pembinaan UMKM dinilainya jadi kunci dalam menyukseskan produk UKM menjadi berdaya saing. Revisi aturan tanpa pembinaan, dinilainya tak akan berbuah optimal.