c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

24 Juli 2023

19:00 WIB

Indef: Revisi Permendag 50/2020 Mesti Atur Social Commerce

Indef memandang revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2022 mendesak dilakukan agar mengatur tata kelola social commerce.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

Indef: Revisi Permendag 50/2020 Mesti Atur <i>Social Commerce</i>
Indef: Revisi Permendag 50/2020 Mesti Atur <i>Social Commerce</i>
Ilustrasi. Pedagang menawarkan sepatu secara daring melalui siaran langsung di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (13/6/2023). Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 perlu disegerakan lantaran saat ini Indonesia memerlukan kebijakan mengenai social commerce

Hal tersebut disebabkan karena ia melihat perkembangan social commerce di ASEAN dan Indonesia mengalami peningkatan yang pesat sehingga butuh peraturan terutama terkait dengan industri serupa seperti e-commerce dan ritel offline

"Hal ini untuk menjaga level playing field yang sama antara social commerce dan e-commerce. Karena sama sama menjual barang lewat online industri, nah ini juga berlaku bagi retail offline juga. Karena baik retail offline dan e-commerce sudah ada aturan seperti misalnya pajak. Tapi kan social commerce ini belum ada di Indonesia, ini yang kita butuhkan sehingga level playing field yang sama itu bisa terjadi," katanya dalam pemaparan, Senin (24/7).

Selain itu ia juga menilai urgensi kebijakan untuk social commerce juga dibutuhkan lantaran impor barang di platform tersebut kian meningkat seiring dengan adanya e-commerce boom

Baca Juga: Live Shopping, Jurus Seller Dongkrak Penjualan

Menurut Nailul, itu terjadi akibat banyaknya seller lokal yang tidak menjual produk sendiri melainkan produk luar. Huda mengatakan sebanyak 95% produk yang dijual di e-commerce dan social commerce berasal dari impor.

"Nah ini yang mungkin seller-nya lokal tapi produknya dijual adalah impor terutama dari China. Ini yang harus dibahas dalam revisi Permendag 50 tahun 2020," ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menuturkan ada tiga hal yang perlu ditekankan lewat revisi kebijakan tersebut. 

Pertama, penyempurnaan definisi Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang hanya mengatur transaksi perdagangan karena social commerce bukan untuk transaksi perdagangan melainkan komunikasi secara umum. 

PPMSE ini, kata Nailul, hanya mengatur transaksi perdagangan yang artinya platform dengan transaksi perdagangan. Melihat social commerce sebagai bagian yang bukan transaksi perdagangan, akhirnya mereka lepas dari Permendag No. 50/2020. Huda mengatakan ini terjadi karena pada dasarnya social commerce menyelenggarakan komunikasi secara umum antar P2P. 

"Inikah mengapa Permendag ini belum mengatur social commerce secara rinci," imbuhnya.

Baca Juga: Tanpa Regulasi, Social Commerce Main Sendiri

Kedua, perlu adanya peraturan terkait dengan penyelenggara sarana perantara. Huda menyebutkan hal ini menjadi penting karena social commerce sering digunakan sebagai kedok sosial komunikasi untuk dalih mereka bukan tempat jual beli. 

Ketiga, mesti ada peraturan mengenai barang diimpor di mana harus ada di deskripsi barang di setiap jendela barang. 

"Revisi aturan perlu memerinci ketentuan barang impor lebih detail. Bukan hanya sekadar mengatur produk cross border yang dikirim langsung dari luar negeri, tetapi membatasi penjualan produk-produk impor oleh penjual lokal. Kita harus bisa membedakan barang yang dijual itu impor atau barang yang langsung dikirim dari luar," kata Nailul.




KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar