c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

09 Februari 2023

20:30 WIB

Tanpa Regulasi, Social Commerce Main Sendiri

Ada potensi ekonomi yang besar pada social commerce. Namun, nihilnya aturan seperti pada e-commerce, menimbulkan kekhawatiran tersendiri, khususnya pasca aspek perlindungan konsumen

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Tanpa Regulasi, <i>Social Commerce</i> Main Sendiri
Tanpa Regulasi, <i>Social Commerce</i> Main Sendiri
Warga menonton siaran langsung promosi busana di platform media sosial di Depok, Jawa Barat, Minggu (6/2/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Pada era digital seperti saat ini, lazim rasanya melakukan transaksi jual-beli dilakukan tanpa tatap muka langsung antara penjual dan pembeli. Asal ada sambungan internet di gawai, transaksi jual beli pun bisa dilakukan lewat kanal digital.

Nah, setelah sekian lama akrab dengan konsep niaga-el lewat e-commerce atau loka pasar, belakangan, transaksi jual beli pun marak dilakukan lewat media social alias e-commerce

Memang sih, sejak beberapa tahun lalu, sudah ada beberapa penjual yang menjajakan barang dagangannya di platform, seperti Facebook, Instagram, Twitter sampai WhatsApp, tetapi kini bedanya, platform-platform media sosial tersebut, terlihat lebih ekspansif mengembangkan fitur jual belinya.

Salah satu yang paling terlihat adalah fitur live selling yang mengedepankan interaksi langsung antara pembeli dan penjual. Dengan cara ini, penjual bisa menjelaskan secara live atau real time kepada para pembeli yang menjadi viewers. Sebaliknya, viewers pun bisa bertanya atau berkomentar langsung di kolom chat yang terus bergerak.

Keuntungan lainnya, setelah kesepakatan terjadi, barang pesanan bisa segera dibungkus dan dikirimkan lewat kurir. Interaksi langsung dan kecepatan pengiriman inilah yang membuat social commerce saat ini banyak diminati netizen.

Beda halnya dengan lapak e-commerce yang hanya standby menunggu pembeli dengan respons penjual yang acapkali lebih lambat. Belum lagi, barang sampai bisa memakan waktu satu sampai beberapa hari ke depan.

Tak heran, belakangan live selling di social commerce pun seolah jadi primadona, apalagi buat seorang shopaholic. Tren ini seolah menemui momentumnya, mengingat dari hari ke hari, pengguna media sosial terus bertumbuh.

Momen inilah yang dimanfaatkan pera pengelola media sosial dengan baik. Tak hanya jadi ajang eksis, silaturahmi dan memenuhi hasrat kekepoan para netizen terhadap isu-isu yang tengah terjadi sampai gosip para selebritas, medsos pun seolah menjadi pasar yang potensial untuk ‘dimonetisasi’ jadi cuan.

Sebagai gambaran, menurut data Global Web Index, pada Januari 2021, sekitar 61,8% dari total penduduk Indonesia adalah pengguna media sosial. Sejalan, berdasarkan data Statista, perkembangan pengguna medsos di Indonesia juga terus tumbuh signifikan.

Jika pada 2019 penggunaan media sosial di Indonesia tercatat sebanyak 173,77 juta, tiga tahun kemudian, pada 2022, jumlahnya menjadi 217,53 juta. Diperkirakan pada 2023, jumlahnya membengkak menjadi 228,76 juta, kemudian menjadi 267,75 juta di 2028.

Pasar Sosial Commerce
Lalu, seberapa besar pasar ini bisa dimanfaatkan jadi transaksi? Berdasarkan data Social Commerce 2022 oleh DSInnovate, pasar social commerce di Indonesia pada 2022 mencapai angka US$8,6 miliar. Dengan estimasi pertumbuhan tahunan sekitar 55%, diperkirakan bakal menyentuh US$86,7 miliar pada 2028.

Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, YouTube, LINE, dan WhatsApp adalah beberapa medsos yang platformnya digunakan untuk social commerce. Mereka berlomba-lomba menghidupkan social commerce di masing-masing platform.

Keseriusan menggarap pasar di media sosial, setidaknya tergambar dari sejumlah fitur yang ada. Tengok saja fitur Facebook Marketplace, Instagram Shopping, Tiktok Shop, LINE Shop, dan WhatsApp Business.

Dari survei Populix kepada responden berusia 18-55 tahun pada 28 Juli hingga 9 Agustus 2022, sebanyak 86% responden mengaku pernah menggunakan medsos untuk berbelanja. TikTok Shop berada di peringkat atas dengan 45% penguasaan.

Disusul oleh WhatsApp Business menyusul dengan 21%. Setelah itu, ada Facebook Market Place 10% dan Instagram Shop 10%. Lalu, rata-rata uang yang dihabiskan seorang netizen untuk belanja lewat medsos mencapai Rp274.034 per bulannya.

Mayoritas transaksi yang terjadi untuk membeli produk pakaian 61%, produk kecantikan 43%, makanan dan minuman 38%. Lalu, handphone dan aksesorisnya 31%, serta peralatan rumah tangga 24%.

Pengguna TikTok Shop merupakan medium yang paling banyak digunakan oleh perempuan. Sementara itu, WhatsApp dan Instagram Shopping paling banyak digunakan oleh konsumen laki-laki berusia 36-45 tahun.

Ke depannya, diperkirakan pengguna TikTok Shop akan terus didominasi oleh perempuan. Terutama, mereka yang berusia 18-25 tahun dan  tinggal di kota-kota kecil di seluruh Pulau Jawa.

Sementara Instagram Shopping diprediksi akan didominasi oleh konsumen dengan status sosial ekonomi atas. Adapun, WhatsApp akan lebih banyak digunakan oleh generasi yang lebih senior.

Area Kelabu
Meski begitu besar potensi bisnis dan perkembangan pengguna, Kepala Bidang Pengaduan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Aji Warsito mengatakan, tidak seperti pada e-commerce yang sudah di atur dalam UU, belum ada aturan terkait pelindungan konsumen dalam social commerce.

Karena risiko yang lebih besar dipandang dari sisi perlindungan konsumen, dia pun menyarankan kepada masyarakat untuk tidak berbelanja melalui medsos. 

Tidak adanya kejelasan mengenai kewajiban dan pertanggungjawaban dalam aktivitas jual belinya inilah yang ia tekankan.

Di e-commerce pertanggungjawaban sebagai upaya perlindungan konsumen sudah ditetapkan dengan tegas. Misalnya, saat barang yang diterima konsumen tak sesuai, barang wajib bisa dikembalikan. Lalu, bila barang pesanan tak sampai, uang juga harus dikembalikan ke konsumen.

Beda haknya dengan social commerce. Dia melihat, dari berbagai kasus yang terjadi, banyak para pedagang di medsos yang tak mau menerima keluhan dari pembeli. Belum lagi, ada sejumlah penipuan dan penyesatan yang dilakukan.

Misalnya, penjual memberikan link kepada konsumen. Namun, saat di-klik, terbuka jendela website yang mengarahkan konsumen untuk transfer secara berkala. 

Nominalnya, bisa ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tanpa konsumen menerima barang pesanan. Begitu ditelusuri akun si penjual sudah tidak ada.

“Saya sarankan konsumen itu tidak belanja online melalui medsos, karena berisiko sekali dan tidak mendapatkan jaminan keamanan,” ucapnya, Senin (6/2).

Lemahnya perlindungan konsumen di social commerce dibanding e-commerce juga terkait dengan mekanisme pelaporan dari pembeli yang merasa dirugikan. Di Indonesia, e-commerce berada dalam wadah Indonesian E-Commerce Association (idEA), sehingga saat ada konsumen merasa dirugikan, mereka bisa melaporkan ke idEA.

Karena itulah, YLKI pun berharap, jika medsos memang difungsikan sebagai marketplace atau e-commerce, harus ada izin yang harus dipenuhi pengelola medsos sebagai media jasa perniagaan. 

Dengan begitu, ada pihak yang bisa bertanggung jawab saat konsumen mengeluh atau protes.

Dia menyarankan, dalam membuat aturan, pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pihak kepolisian. 

Selain itu, perlindungan data pribadi oleh pengelola medsos juga perlu ditekankan.

Aji menyadari perlu waktu membuat aturan. Karena itu, sembari menunggu, dia meminta pemerintah menciptakan pengawasan ketat buat social commerce. Seperti, membentuk patroli cyber agar masyarakat tidak tertipu oleh akun penipu yang berkedok menjadi penjual.

Dia menyadari, tidak semua penjual di medsos adalah penipu. Namun, ketimbang mengambil risiko, dia menyarankan lebih baik untuk menghindarinya terlebih dahulu. Sosialisasi dan edukasi mengenai hal ini pun diharapkan terus berjalan dari pemerintah, mengingat literasi masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial juga masih belum tinggi.

Pemahaman Konsumen
Untuk diketahui, hasil survei Indeks Literasi Digital Tahun 2022 yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), skor indeks literasi digital Indoensia hanya 3,54 atau kategori sedang. 

Pengukuran literasi dilakukan menggunakan empat pilar, yaitu kecakapan digital skornya 3,52, etika digital skornya 3,68, keamanan digital dengan skor 3,12, dan budaya digital skornya 3,84.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, pada dasarnya medsos harus tunduk pada ketentuan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik. 

Selain itu, juga terhadap Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Namun, mengingat social commerce praktiknya adalah jual beli transaksi elektronik, maka sudah seharusnya juga tunduk pada PP Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Lalu, Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Hanya saja, kedua aturan ini memang khusus dibuat untuk e-commerce. Sehingga, ada kekurangan jika ditujukan untuk mengatur juga social commerce.

Nah, untuk mengisi kekosongan aturan, platform medsos pun perlu membuat kebijakan keamanan sendiri untuk para penggunanya. 

Selain itu, jika berbicara perlindungan konsumen social commerce, perlu dikaitkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hanya saja UU ini dinilai sudah usang.

Menurut dia, dengan perkembangan inovasi teknologi digital begitu cepat, maka diperlukan pembaruan

kebijakan. Terutama, perlindungan konsumen dengan transaksi menggunakan media apapun, tidak hanya untuk saat ini, tapi juga ke depan. 

Lebih lanjut, dia berharap, Kemenkominfo, Kemendag, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga bisa duduk bersama membahas aturan untuk social commerce.

“Bahas sejauh mana praktik pemanfaatan medsos sebagai ruang transaksi jual beli. Baru bisa direspon kebutuhan pengaturannya. Apakah cukup merujuk aturan yang sudah ada, ataukah kemudian memang perlu peraturan khusus untuk memastikan perlindungan konsumen,” jelasnya, Minggu (5/2).

Hal yang mesti dicermati, lanjutnya, kondisi perdagangan di medsos saat ini tidak bisa terkontrol dari status penggunanya. Antara pihak pedagang dan konsumen, tidak bisa dibedakan.

Begitu pun dari produk yang dijual. Jika e-commerce punya aturan PP Nomor 80 Tahun 2019 yang mewajibkan untuk menjual produk yang tidak melanggar hokum, ketentuan yang sama belum spesifik di atur di social commerce.

“Dalam transaksi menggunakan social commerce itu semua bisadilewati, Belum ada secara spesifik mengatur hal itu,” tambah Wahyu.

Dia melanjutkan, pada saat Kemendag tengah menyempurnakan Permendag Nomor 50 Tahun 2020, dia pun menyarankan agar ada aturan tentang standar pengguna medsos. Apakah hanya untuk sekadar berbagi informasi atau ingin dimanfaatkan untuk bisnis.

Lalu, perlu juga diatur juga soal internal handling complaint mechanism. Atau, semacam help desk sebagai tempat pengaduan konsumen jika terjadi masalah dalam jual beli di medsos.

Dia juga minta, Badan Perlindungan Sengketa Konsumen harus menciptakan penyelesaian sengketa social commerce. Lalu, pihak medsos juga harus melakukan fungsi edukasi kepada konsumennya mengingat rendahnya literasi digital di masyarakat.

Aturan Setara
Pakar hukum siber sekaligus Dekan Fakultas Hukum UI, Edmon Makarim juga menyarankan, aturan social commerce harus diperhatikan sesuai konteks. 

Maksudnya, perlu dicermat, apakah suatu platform medsos itu memang sengaja menyediakan ruang jual beli atau hanya penggunanya semata yang memanfaatkan sarana komunikasi di medsos untuk transaksi jual beli.

Jika medsos menyediakan fitur untuk jual beli, dia harus dianggap sebagai penyedia sarana perdagangan dan dikenakan tanggung jawab hukum. 

Sebaliknya jika dia tidak menyediakan fitur jual beli,  tidak dikenakan kewajiban hukum terkait hal tersebut.

Dia mencontohkan, Telkomsel sebagai penyedia sarana komunikasi, lalu salurannya digunakan oleh pengguna untuk bertransaksi jual beli. Nah jika ada masalah dari jual beli tersebut, Telkomsel tidak dikenakan hukum karena tidak menyediakan fitur jual beli, hanya menyediakan sarana komunikasi.

“Medsos intinya penyelenggara komunikasi. Saat pengguna bertransaksi, tentukan hal tersebujt bukan dalam kesengajaan atau sepengetahuan si penyedia medsos,” terang Edmon.

Lain halnya jika pengelola medsos memberikan fasilitas jual beli, dia dianggap sebagai pedagang perantara. Mereka juga harus mendaftarkan diri sebagai pelaku usaha penyelenggara sarana perdagangan melalui sistem elektronik.

“Di PP 80 Tahun 2019 disebut, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik adalaj penyedia sarananya,” serunya.

Konteks lain yang perlu diperhatikan, lanjutnya, adalah membedakan penjual dan pedagang. Contohnya seperti seorang Ayah yang ingin menjual kereta bayi anaknya di medsos. 

Aktivitas jualan yang dilakukan hanya sekali ini, dia disebut sebagai penjual. Sementara pedagang adalah orang yang melakukan aktivitas berjualan secara kontinu dengan tujuan mencari untung. Ia mutlak harus memiliki izin perdagangan.

Mengingat fenomena ini terus berkembang, menurut dia, sudah sewajarnya ada pihak yang mengaudit medsos. Auditor kemudian harus mengecek apakah suatu platform medsos dalam praktiknya sudah sesuai hukum atau tidak.

Kesigapan Pemerintah
Menanggapi fenomena ini, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag Veri Anggrijono mengatakan, fenomena social commerce ini sejatinya sudah jadi perhatian pemerintah. Pengawasan sendiri, sudah dilakukan.

Dari pengawasan yang dilakukan selama ini, temuan-temuan yang ada jadi masukan buat Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag dan Kemenkominfo. 

Hasil dari masukan dan kajian yang dilakukan, nantinya akan menjadi bahan pertimbangan untuk membentuk produk hukum.

Sejauh ini, sambil menunggu aturan yang lebih spesifik, pihaknya akan men-take down atau mencabut izin usaha penjual nakal dalam social commerce.

Sama seperti YLKI, Veri juga meminta masyarakat untuk sementara menghindari belanja di medsos, sebelum ada aturan khusus yang mengatur social commerce. Jika ingin berbelanja online, dia menyarankan masyarakat untuk melakukannya di e-commerce yang sudah terdaftar dan teregulasi dengan jelas.

“Karena e-commerce sudah diatur dalam suatu Permendag. Kalau medsos belum diatur seperti apa pengaturan transaksinya, siapa yang jamin produknya, kemana kalua mengadu. Lewat e-commerce saja masih banyak permasalahan-permasalahan yang timbul,” serunya.

Mengutip laman Kemenkominfo, Kamis (9/2), Kemendag menyadari, perkembangan perdagangan daring semakin besar dan luas. 

Untuk itu, penyempurnaan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tengah dilakukan. Beberapa aturan yang dipertimbangkan di antaranya terkait perdagangan melalui media sosial, transaksi lintas negara, serta larangan penjualan barang tertentu pada marketplace.

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menegaskan, penyempurnaan ini bertujuan menjaga dan mengoptimalkan perdagangan daring di dalam negeri. 

“Melalui penyempurnaan Permendag ini, pemerintah memastikan PMSE menjadi ruang bisnis yang adil dan bermanfaat, terutama bagi UMKM. Permendag ini sekaligus untuk melindungi pasar dalam negeri dari praktik perdagangan tidak sehat,” bebernya.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo Aries Kusdaryono mengatakan, saat ini sejumlah medsos sudah memiliki fitur yang sama dengan e- commerce. Di antaranya, penjual bisa mengatur penjualan dan juga pengiriman. Salah satu contohnya bisa dilihat di TikTok.

“Kalau kerawanan, kurang lebih sama dengan e-commerce, untuk pembeli bisa jadi barang tidak sesuai, penipuan harga dan diskon, kurang lebih begitu,” katanya, Rabu (8/2).

Hanya saja, saat ini dia melihat sejumlah medsos juga sudah memiliki beberapa aturan main. Misalnya, syarat jumlah pengikut untuk bisa live selling

Lalu bila penjual dinilai bermasalah, akunnya akan dibekukan dan akan kesulitan menarik uangnya, juga berjualan kembali.

Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan mengatakan, selama dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis yang jujur dan bersaing secara sehat, social commerce sejatinya bisa berkontribusi positif buat perekonomian dan pembukaan lapangan kerja.

“Bagi pelaku usaha, manfaatnya dapat menambah saluran distribusi barang/jasa. Sedangkan manfaat bagi konsumen ada kemudahan dalam belanja dan juga kesempatan untuk memilih produk/jasa yang dapat dibeli,” kata Chandra.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur menambahkan, keberadaan social commerce juga dapat menjadi alternatif pasar selain e-commerce. 

Apalagi, para penjual, tak perlu menyiapkan lokasi berjualan yang spesifik, sehingga produk yang dijual bisa lebih murah

Meski begitu, di luar sejumlah kekhawatiran yang disebutkan di atas, social commerce diakuinya, berpotensi menciptakan monopoli jika platform medsos terlalu membesarkan produk tertentu. 

Hal ini bisa terjadi jika ternyata ada perjanjian eksklusif dalam memasarkan barang atau jasa tertentu antara pengelola medsos dengan pedagang besar.

Jadi, bagaimana menurut Anda? 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar