07 Februari 2023
20:45 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pada era transformasi digital saat ini, siapa yang belum pernah berbelanja secara online? Kedatangan pandemi beberapa tahun belakangan turut mendorong banyak orang untuk mengubah kebiasaan dalam beraktivitas, termasuk saat berbelanja.
Berdasarkan riset Ninja Xpress, konsumen digital Indonesia mencapai 168 juta orang. Terbesar dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Bank Indonesia pernah mencatat proyeksi transaksi e-commerce 2022 tumbuh pesat hingga 21,9% mencapai Rp489 triliun. Target ini didukung akselerasi digitalisasi sistem pembayaran. Dalam kondisi normal, BI mengungkapkan transaksi di lokapasar setiap bulannya bisa berkisar Rp40-50 triliun, dengan kecenderungan transaksi mendekati Rp50 triliun.
Sampai bulan November tahun lalu, akumulasi transaksi belanja daring nasional telah mencapai sekitar Rp435 triliun.
Kemendag mencatat sama. Penyelenggaraan Harbolnas sejak 2018-2021 menunjukan angka transaksi yang terus meningkat. Pada 2021, Harbolnas mampu mencatatkan transaksi sebesar Rp18,1 triliun atau meningkat 56% dari tahun sebelumnya.
Konsumsi produk lokal pada gelaran Harbolnas pun menunjukkan angka yang terus meningkat. Pada penyelenggaraan Harbolnas 2021, konsumsi produk lokal mampu mencatatkan transaksi sebesar Rp8,5 triliun atau meningkat hampir 40% dari tahun sebelumnya.
Hal ini rupanya mendorong banyak perusahaan startup berbondong bondong menyiapkan pengalaman yang lebih saat berbelanja. Dengan mengandalkan teknologi yang canggih, kini banyak perusahaan kian gencar memperkenalkan dan mengembangkan layanannya terbaru seperti halnya perpaduan antara sosial media dan e-commerce.
Melansir dari laman Sirclo, yang dimaksud dengan social commerce adalah aktivitas jual beli yang dilakukan melalui platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Line dan yang terbaru TikTok.
Diketahui, pertumbuhan media sosial di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 160 juta, meningkat 8,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, rata-rata penggunaan media sosial juga berada di atas rata rata global, yakni 3 jam 26 menit per hari.
Awalnya, media sosial memang digunakan untuk berjejaring dan berkomunikasi secara online. Namun seiring pertumbuhannya, media sosial tidak lagi sekedar digunakan untuk bersosialisasi saja tetapi juga untuk berjualan.
Hal terkiji dari social commerce saat ini adalah melalui live selling. Masih menurut riset Ninja Xpress, 1 dari 3 penjual e-commerce Indonesia melakukan live selling.
Cara ini jadi pilihan, lantaran penjualan langsung mendatangkan pelanggan baru. Live selling juga merupakan cara yang baik dalam menjalin hubungan lebih dalam dengan pelanggan. Pada saat sama, cara ini menghasilkan lebih banyak perhatian dan kesadaran untuk bisnis online mereka.
Karena itu, live selling merupakan strategi penjualan yang menjanjikan. Salah satu contohnya adalah program live selling Tiktok yang hype di tengah masyarakat. Dalam program TikTok Shopping Hoki Sale pada Januari 2022, TikTok mencatatkan peningkatan nilai transaksi (GMV) hingga 411% dan peningkatan pesanan di TikTok Shop hingga 564,1% dibandingkan periode sebelumnya.
Kelebihan Social Commerce
Kehadiran berbelanja lewat social commerce rupanya juga digandrungi oleh Leni (23). Lewat live shopping, dia bisa tahu deskripsi produk yang akan dibeli secara lengkap. Pasalnya, host bisa memberikan petunjuk soal kegunaan, bentuk, warna dan kelebihan produk secara gamblang.
Dia juga menceritakan, cara host menyajikan terkadang menarik perhatiannya. Bahkan, mendorongnya untuk membeli beberapa barang tambahan, meski tahu ia tidak terlalu membutuhkannya.
"Menurut aku kelebihannya si banyak, soalnya dijelasin produknya detail, terus pembawaan host juga menarik," katanya saat berbincang dengan Validnews, Senin (6/2).
Selain itu, menurutnya, harga yang ditawarkan saat live cukup menggiurkan. Leni mengungkapkan, tak jarang mendapatkan potongan harga hingga 10% saat beli lewat live shopping. Barang yang dia beli pun beragam, mulai dari pakaian, kosmetik, alat kecantikan, hingga aksesoris.
"Cuma gitu, kalau di live shopping aku belum berani beli barang yang agak mahal. Risikonya besar kayaknya," curhatnya.
Kelebihan ini rupanya juga dilihat oleh pengamat marketing sekaligus Managing Partner Inventure Yuswohady. Menurutnya, lewat ekosistem platform yang berdasarkan media sosial, orang-orang yang awalnya berkumpul hanya untuk bersosialisasi dibuat agar bisa memanfaatkan berjualan. Pengalaman ini menurutnya terlihat lebih otentik dan alami.
"Terutama live shopping di media sosial, ini punya experience yang lebih kuat," katanya saat diwawancarai lewat telepon, Jumat (
3/02).
Dia menjelaskan dengan basis komunitas yang sudah terkumpul dan terbentuk, social commerce mempunyai kekuatan tersendiri. Belum lagi kehadiran fitur jualan yang di dalamnya banyak para pedagang, entrepreneur serta seller yang menggunakan sosial media.
"Jadi crowd-nya ada, sehingga kalau orang jualan ada crowd kan itu sudah setengah jalan. Terus yang membuat unik dan keunggulan social commerce adalah proses pengambilan keputusan (belanja) diperpendek dengan adanya kemudahan. Mulai dari attract orang untuk datang, terus engage di Tiktok bisa jualan, konten yang menarik, fitur keranjang yang bisa langsung dibeli dan dikirim," terangnya.
Selain itu, lewat fitur live shopping, menurut Hady, proses berbelanja dapat dipangkas lebih banyak.
Dia menjelaskan decision buying process lebih ringkas dengan adanya platform social commerce. Para buyer menyadari dan mengerti, sehingga proses dari pembelian sampai pengiriman lebih pendek. Hal itulah yang menjadi pembeda utama antara e-commerce dan social commerce.
"Yang membedakan dengan toko online dan marketplace, itu kan kita datang, membandingkan, terus pikir berhari-hari baru beli, atau riset dulu ke toko offline akhirnya ambil keputusan. Sampai buat keputusan 'ini jelas lebih murah di e-commerce ketimbang di offline, kan itu prosesnya bisa berhari-hari, mengambil keputusan," sebutnya.
E-commerce Perlu Inovasi
Hady lebih lanjut memaparkan, sangat wajar bagi perusahaan teknologi untuk bersaing dengan saling kejar-kejaran inovasi. Dalam hal ini, bersaing menggaet pengguna dan pembeli juga menjadi fokus e-commerce dan social commerce. Namun sayangnya, Hady melihat e-commerce sedikit demi sedikit mulai terancam.
Dia menilai kelebihan social commerce yang sudah memiliki basis komunitas, fitur live shopping serta experience yang bagus telah mengungguli e-commerce.
Karena itu, dia menyarankan agar perusahaan e-commerce terus melakukan inovasi. Menurutnya, kunci dari keunggulan adalah menarik konsumen untuk datang. Dia menjelaskan secara default e-commerce adalah tempat berjualan, sedangkan social commerce adalah tempat orang untuk berkumpul.
"Kalau e-commerce mampu menemukan teknik-teknik lain untuk bisa attract konsumen, maka ia bisa jadi one step a head dan unggul dari social commerce," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan rasa keterhubungan antara influencer dan para follower juga menjadi kelebihan social commerce. Karena, para pengikut akan terus terkoneksi dengan influencer setiap minggu atau bahkan setiap hari.
"Jadi di sosmed antara pemilik akun dengan followers otomatis sudah ada relationships, kalau di dalam selling itu berlaku hukum selling is friending. Jualan paling gampang itu melalui teman," ujarnya.
Survey Populix tahun 2022 lalu mengungkapkan tentang lanskap social commerce di Indonesia. Dicatat bahwa 52% masyarakat Indonesia sudah mengetahui akan tren transaksi jual beli melalui media sosial. Laporan survei menunjukkan bahwa 86% masyarakat Indonesia pernah berbelanja melalui platform media sosial.
Dalam hal ini, TikTok Shop (45%) sebagai platform yang paling sering digunakan, diikuti WhatsApp (21%), Facebook Shop (10%), dan Instagram Shop (10%). Mayoritas masyarakat berbelanja pakaian (61%), produk kecantikan (43%), makanan dan minuman (38%), serta handphone dan aksesoris (31%) dengan rata-rata pengeluaran sekitar Rp 274.000 setiap bulannya.
Dari segi pengguna, TikTok Shop merupakan medium yang paling banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan WhatsApp dan Instagram Shop paling banyak digunakan oleh orang laki-laki berusia 36-45 tahun. Dalam proyeksinya, pengguna TikTok Shop akan terus didominasi oleh perempuan terutama mereka yang berusia 18-25 tahun di kota-kota kecil di seluruh Jawa.
Sementara, Instagram Shop akan didominasi oleh konsumen dengan status ekonomi sosial atas, dan WhatsApp akan lebih banyak digunakan oleh generasi yang lebih senior.
Penjual Panen Pembeli
Retno Widati (42), adalah salah satu yang aktif berjualan di TikTok setidaknya dalam kurun dua bulan belakangan ini. Meski begitu, dia berstatus sebagai afiliator, bukan sebagai seller.
Dalam hal ini, dia tidak menyetok barang dagangan, melainkan memasarkan barang dagangan orang lain lewat fitur-fitur commerce yang ada di TikTok. Misalnya saja, dia kerap menggelar siaran langsung guna memasarkan produk-produk aksesoris wanita dan pria.
"Di TikTok, aku statusnya affiliate, bukan seller. Jadi, sekarang ini belum tercatat omzet dan lain-lainnya," imbuh Retno saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Selasa (7/2).
Sebelum menjadi afiliator di TikTok Shop, Retno bercerita bahwa menjadi penjual perabotan rumah tangga di Shopee, seperti termos, talenan, gantungan baju, dan lain sebagainya.
Namun ketika melihat hal yang sedikit lebih menjanjikan dengan menjadi afiliator di TikTok, Retno meninggalkan platform Shopee dan mulai aktif di platform baru tersebut. Menurutnya, lewat live shopping TikTok dimudahkan dengan fitur yang lengkap sehingga bisa meraih lebih banyak penjualan.
"Tapi kalau untuk nyaman, lebih bagus di Shopee karena di TikTok itu salah ngomong sedikit saja pasti kena pelanggaran," ucapnya.

Tanpa menyebut angka, Retno menjelaskan sistem persenannya sebagai afiliator ditentukan oleh seller. Artinya, Retno tinggal menerima komisi yang sudah ditentukan oleh penjual aslinya.
Ke depannya, dia tetap akan fokus menjadi afiliator. Retno tak perlu repot-repot menyetok barang dagangan ataupun melakukan pengiriman ketika ada pesanan masuk.
Fitur-fitur yang disediakan oleh TikTok shop ini juga diperhatikan oleh Hady. Menurutnya, begitu penonton melihat penjualan yang dilakukan secara live para pembeli akan langsung mengerti kelebihan produk hingga akhirnya memutuskan untuk membeli, memasukannya ke dalam keranjang kuning dan melakukan pembayaran.
"Konversi itu terjadi cepat sekali, itu yang membuat pedagang pedagang di social commerce lebih happening dan cepat, begitu juga menguntungkan," katanya.
Dengan konten, tambahnya, social commerce juga punya nilai lebih. Lewat pengalaman dan cerita langsung para influencer, pengikut bisa langsung tahu pengalaman menggunakan produk secara tidak langsung.
"Dengan konten social commerce berhasil menarik orang. Begitu lihat produk bagus mereka akan proses dari tertarik, pesan, closing, bayar itu hanya di satu platform, tidak pindah. Tentu itu memudahkan customer untuk bisa mempercepat keputusan (beli). Sifat live atau pengambilan keputusan itu dimampatkan dari yang normal berhari-hari, ini bisa beberapa detik," tandasnya.