c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

10 April 2025

21:00 WIB

Menagih Janji Tersedianya 19 Juta Lapangan Kerja

Masyarakat mulai menagih janji 19 juta ketersediaan lapangan kerja kepada pemerintah di tengah gelombang PHK. Moratorium TKI dipilih jadi salah satu alternatif. Keberlanjutan dipertanyakan.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma, Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="ltr" id="isPasted">Menagih Janji Tersedianya 19 Juta Lapangan Kerja</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Menagih Janji Tersedianya 19 Juta Lapangan Kerja</p>

Sejumlah pencari kerja antre untuk masuk ke dalam area Pameran Bursa Kerja di Thamrin City, Jakarta, Selasa (28/5/2024). Antara Foto/Aprillio Akbar/aww.

JAKARTA - Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggaungkan janji menciptakan 19 juta lapangan kerja pada masa kampanye Pilpres 2024. Janji besar itu pun masuk dalam Asta Cita dan termaktub dalam dokumen visi, misi, dan program 'Prabowo-Gibran 2024: Bersama Indonesia Maju'. 

Berdasarkan itu, hitungan Validnews, pemerintah perlu membuka setidaknya 3,86 juta lapangan pekerjaan setiap tahun, agar janji itu dapat tergenapi hingga 2029 nanti. Namun, apa mau dikata, selama lima bulan menjabat, pemerintah baru malah lebih akrab dengan fenomena PHK di banyak perusahaan. Salah satunya yang berdampak besar terjadi pada PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex. 

Ya, PHK memang nyata adanya. Kemnaker mendata, jumlah tenaga kerja yang ter-PHK pada Januari hingga Februari 2025 ada sebanyak 18.610 orang. Jawa Tengah menjadi provinsi penyumbang PHK terbanyak sebesar 10.677 orang.

Dibandingkan tahun lalu, sepanjang 2024, jumlah karyawan terdampak PHK dilaporkan hampir mencapai 80 ribu orang, tepatnya 77.965 orang. Adapun, DKI Jakarta menjadi provinsi penyumbang PHK terbanyak di Indonesia, yakni sebesar 17.085 orang; disusul oleh Provinsi Jawa Tengah sebesar 13.130 orang; dan Provinsi Banten 13.042 orang.

Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Maliki mengamini jumlah pekerja ter-PHK 2024 yang mencapai hampir 80 ribu orang. Jumlah ini diakuinya lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 64.855 orang.

Baca Juga: Indef: Ekonomi Disokong Penciptaan Lapangan Kerja, Bukan Dikit-dikit Bansos

Sementara itu, pihaknya mengidentifikasi hingga Maret 2025, tercatat sudah ada sebanyak 19 ribu orang yang terkena PHK. Maliki berharap, jumlah pegawai yang dirumakan tidak bertambah besar ke depan. 

"Sekarang sudah mencapai sekitar 19 ribu sampai bulan Maret 2025, mudah-mudahan sih enggak nambah lagi ya," kata Maliki kepada Validnews yang berbincang melalui sambungan telepon, Jakarta, Kamis (27/3).

Lebih lanjut, dia merinci, pekerja terbanyak yang ter-PHK berasal dari sektor tekstil. Kemudian, disusul sektor manufaktur dan keuangan. 

"Industri tekstil yang paling banyak, karena kemarin Sritex yang banyak melakukan PHK," imbuhnya.

Jika ditilik beberapa tahun belakangan, jumlah pekerja yang terkena PHK setiap tahun mengalami kenaikan. Semula, dari 25.114 orang di 2022, naik drastis menjadi 64.855 orang di 2023, dan bertambah tinggi lagi menjadi 77.965 orang di 2024.

Soal besarnya jumlah, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) punya catatan berbeda dengan Kemnaker. KSPI justru mencatat, realisasi angka PHK yang lebih besar. Merujuk data KSPI, angka PHK nasional sudah mencapai 60 ribu orang pada Januari-Februari 2025. Sebagai catatan, angka PHK paling besar dari sektor industri padat karya. 

Tagih Janji
Maraknya pemberitaan mengenai PHK massal di banyak perusahaan, membuat banyak warga mulai menagih janji 19 juta lapangan kerja yang diklaim akan terwujud selama lima tahun di era pemerintahan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran. Suara warganet mengemuka lantang soal ini.

Merespons itu, Wamenaker Immanuel Ebenezer masih tetap optimistis, janji 19 juta lapangan pekerjaan atau 3,86 juta lapangan kerja tiap tahun dapat tercapai, meski diadang isu memanasnya perang dagang.

“Kita harus punya optimisme, walaupun kita lihat dalam kondisi sekarang ini, dampak dari perang dagang Presiden AS Donald Trump sedikit mengkhawatirkan ya, tapi yakinlah, negara ini kan enggak boleh tidak hadir dalam situasi apapun. Kira berharap bisa tercapai, walaupun banyak kendala,” kata Noel, sapaan akrabnya, kepada Validnews di Jakarta, Kamis (10/4).

Dia meyakini, salah satu cara mewujudkan janji tersebut adalah dengan menyelamatkan industri nasional. Selain swasembada pangan dan energi, dia memandang, perlu adanya swasembada industri agar bisa menjaga sektor ini tidak melakukan PHK dan tetap bisa membuka lapangan pekerjaan.

Sementara, di kesempatan terpisah, Menaker Yassierli merespons perintah Presiden Prabowo Subianto untuk segera membentuk satuan tugas (satgas) khusus yang mengurusi PHK. Hal itu sebagai antisipasi dari ancaman PHK terhadap buruh akibat dampak tarif resiprokal yang dikeluarkan AS. Menurut Yassierli, usulan terkait satgas PHK realistis, bahkan sudah diusulkan sejak lama oleh pihaknya.

"Realistis (pembentukan Satgas PHK) itu sudah kita usulkan lama sebenarnya, sudah wacana sudah lama itu, tapi baru dalam diskusi internal kita di Kementerian Ekonomi. Tapi kalau Pak Presiden yang minta, ya artinya harus kita eksekusi," tegas Yassierli saat ditemui di Jakarta, Selasa (8/4).

Pihaknya akan segera menindaklanjuti perintah tersebut sesegera mungkin. Bahkan, Kemnaker juga sudah memetakan risiko sektor industri, selaras dengan titah Presiden Prabowo.

Senada, Bappenas juga meyakini bahwa janji 19 juta lapangan pekerjaan dapat terwujud. Hanya saja, Maliki tuturkan, perlu berbagai program maupun investasi yang cukup signifikan dalam mewujudkannya. 

"Kalau kita mau mencoba mengejar Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sehingga bisa sampai setidaknya menjaga (pertumbuhan ekonomi) sekitar 5%, berarti kita memang harus bisa menyediakan lapangan pekerjaan dengan pertumbuhan penduduk yang sekarang sekitar 3-4 juta. Seharusnya itu dipenuhi oleh sumber-sumber pertumbuhan baru ataupun eksisting, dengan tetap menjaga investasi yang ada," Jabar Maliki.

Di sisi lain, data pemerintah menyimpulkan, angka tenaga kerja Indonesia di 2025 ada sekitar 147 juta orang. Jumlahnya akan terus bertambah tiap tahun, bahkan pada 2026 diperkirakan ada penambahan 2-2,5 juta orang, sehingga angkanya bisa mencapai 149 juta orang.

Maliki menggarisbawahi, pemerintah tertantang untuk bisa mempertahankan ratusan juta orang ini tetap bekerja dan di saat yang sama jumlah pengangguran berkurang. Menurutnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diproyeksikan bisa berjalan secara penuh di tahun ini dapat mendukung pemenuhan janji 19 juta lapangan kerja. Lewat terbukanya sekitar 800 ribu hingga 1,5 juta pekerjaan. 

"Kami harapkan itu (lapangan pekerjaan) lebih banyak di sisi pertanian dan jasa," terang Maliki.

Baca Juga: Pemerintah Yakini MBG Buka Lapangan Pekerjaan dan Kurangi Kemiskinan

Selain MBG, Maliki juga memandang ambisius program pembangunan 3 juta rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), hilirisasi pertambangan nikel dan bauksit, serta Kopdes Merah Putih dapat turut menciptakan lapangan kerja.

Di samping itu, kebijakan pemerintah juga bisa menjadi stimulus. Salah satunya, kredit investasi padat karya yang dapat menjadi angin segar bagi lesunya sektor usaha padat karya di Indonesia. Pemerintah menyadari, tidak optimalnya sektor padat karya RI akibat keterlambatan pemberian kebijakan kredit peralatan atau mesin kepada industri.

"Nah, kami harapkan dengan adanya pemberian kredit itu, seharusnya ini bisa segera diremajakan industri-industri padat karya itu, tanpa harus ada jeda sisi produksinya," jelasnya.

Realistis Atau Omon-Omon?
Di balik optimisme pemerintah, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah dan Ekonom Celios Bakhrul Fikri kompak pesimistis bahwa janji 19 juta lapangan kerja dapat kejadian. Pasalnya, capaian pertumbuhan ekonomi nasional tidak bisa mengejar pemenuhan pembukaan lapangan kerja.

Hitungan Piter, setiap pertumbuhan ekonomi 1% dapat menciptakan lapangan kerja sekitar 250 ribu. Jika mengacu pada pertumbuhan ekonomi sebesar 5%-an, maka lapangan kerja yang tercipta hanya sekitar 1,25 juta tiap tahunnya. Artinya, jika terjadi di lima tahun ke depan, hanya dapat tercipta 6,25 juta alias masih jauh dari target yang dipatok. 

Bahkan ironisnya, Piter meyakini, setiap persen pertumbuhan ekonomi RI saat ini tidak lagi mampu menciptakan 250 ribu lapangan kerja. 

"Setiap pertumbuhan (ekonomi) 1% itu menciptakan lapangan kerja sekitar 250 ribu, angka ini pun sekarang diyakini enggak sampai lagi 250 ribu," terang Piter kepada Validnews, Senin (7/4).

JIka pun menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi paling pede hingga 8%, lapangan pekerjaan yang dapat tercipta sekitar 2 juta per tahun atau 10 juta dalam lima tahun. Oleh karena itu, Piter menekankan, butuh pertumbuhan ekonomi di atas 8% setiap tahun untuk mencapai 19 juta lapangan pekerjaan. Adapun setiap pertumbuhan 1% ini harus bisa menciptakan lapangan kerja sebesar 500 ribu, bukan lagi 250 ribu. 

"Berarti yang harus dilakukan, satu menggenjot pertumbuhan ekonomi, kedua pertumbuhan ekonomi itu harus lebih berkualitas, dan ketiga harus lebih mengarah kepada sektor-sektor padat karya, bukan padat modal. Nah, investasi yang terjadi di periode Prabowo ini harus benar-benar investasi pada sektor-sektor yang padat karya," jelasnya.

Sayangnya, sampai sekarang, Piter belum melihat tanda pertumbuhan ekonomi dapat mencapai lebih dari 8%. Mirisnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2025 mentok di bawah 5% akibat banyak faktor baik global maupun domestik.

"Ada kekhawatiran pertumbuhan kita di tahun ini akan lebih lambat, bahkan di bawah 5%. Jadi, masih jauh sekali kalau kita ingin mengatakan pertumbuhan ekonomi yang bisa mendukung penciptaan lapangan kerja hingga 19 juta lapangan kerja," tekannya.

Salah satu indikasi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah 5% bisa 'diendus' dari penurunan investasi dan aktivitas ekonomi. Terbukti dengan tutupnya beberapa perusahaan yang kemudian menyuburkan PHK.

Ekonom CELIOS Bakhrul Fikri  dengan perhitungan dari sudut berbeda, tetap menyimpulkan senada. DIa menambahkan, janji 19 juta lapangan kerja di era pemerintahan Prabowo-Gibran akan sangat sulit terealisasi akibat beberapa program yang terkendala pendanaan karena anjloknya penerimaan negara. Tecermin dari penerimaan pajak di Januari-Februari 2025 yang masing-masing terkoreksi 41,86% dan 30,19% (yoy).

"Jadi, kalau pendapatan minus tapi memiliki program dengan pengeluaran fantastis mau mendanai program yang memiliki cita-cita membuka 19 juta lapangan pekerjaan, itu hanya utopia belaka," ucap Bakhrul kepada Validnews, Selasa (8/4).

Baca Juga: Publik Lebih Setuju Hasil Efisiensi Anggaran Dipakai Lunasi Utang Ketimbang Biayai MBG dan Danantara

Dia mencontohkan, program MBG membutuhkan anggaran riil sekitar Rp400 triliun-an. Padahal, program ini belum terbukti memiliki multiplier effect terhadap perekonomian daerah. 

Justru, MBG menuai banyak masalah lapangan, bahkan butuh kebijakan efisiensi anggaran demi kelancarannya. Imbasnya, fungsi APBN lain termasuk untuk perlindungan sosial menjadi berkurang. Belum lagi, Danantara yang tidak memiliki efek langsung ke sektor riil, dimodali dari efisiensi anggaran. 

"Nah ini yang kemudian justru bukan menambah lapangan pekerjaan, tetapi justru menimbulkan PHK," imbuhnya.

Jalan Pintas, Cabut Moratorium TKI
Di sisi lain, pemerintah resmi mencabut moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Keputusan ini membuka peluang 600 ribu pekerja migran untuk bekerja di Arab, dengan skema penempatan yang telah diperbarui. Dari jumlah tersebut, 400 ribu pekerja akan ditempatkan di sektor domestik, sementara 200 ribu lainnya merupakan tenaga kerja terampil dengan keahlian khusus.

Dengan dicabutnya moratorium itu, maka mengakhiri moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia sejak 2015 sampai sekarang. 

Baca Juga: Alasan Prabowo Setuju Cabut Moratorium PMI Ke Arab Saudi

Piter menganggap pencabutan moratorium TKI sebagai salah satu 'jalan pintas' dalam menghadapi bonus demografi. Lantaran, pertumbuhan angkatan kerja Indonesia mencapai antara 3-4 juta jiwa setiap tahunnya, sementara kemampuan menciptakan lapangan kerja hanya di kisaran 1-1,25 juta.

Namun, ketimbang sinis terhadap itu, Piter menyampaikan, kebijakan pengiriman TKI kerja di luar negeri merupakan alternatif kebijakan yang ditempuh pemerintah. Balik lagi, kondisi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%-an dalam penjelasan sebelumnya tidak akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi seluruh angkatan kerja.

"Dengan kondisi bonus demografi terjadi ledakan jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung, mau tidak mau ya harus kita salurkan salah satunya ke luar negeri... Ketika (perekonomian) kita mampu tumbuh 7-8% pun, menurut saya memang pilihan alternatif membuka, mengirimkan tenaga kerja kita ke luar negeri itu adalah solusi yang harus kita ambil," tutur Piter.

Soal ini, Bakhrul berbeda pendapat. Menurutnya, langkah pemerintah yang mencabut moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pekerjaan yang layak di dalam negeri. Namun, diakui, dengan upaya ini memang pemerintah bisa menyeimbangkan antara kebutuhan lapangan kerja masyarakat dan perlindungan bagi pekerja migran di luar negeri. 

Pencabutan moratorium ini, akunya, dapat mengurangi angka pengangguran domestik dan meningkatkan devisa negara dengan pengiriman remitansi ke RI. Kendati, langkah ini bukan solusi jangka panjang. Sebab, tetap ada bermacam risiko eksploitasi dan kekerasan pekerja migran, seperti gaji tidak dibayar dan kekerasan fisik sampai psikis.  "Kalau tidak digaji ya sama saja tidak ada remitansi yang dapat dikirim ke Indonesia, jadi tidak ada tambahan bagi devisa negara. Ironinya, hal seperti ini tidak pernah dihitung sebagai kerugian negara," bebernya.

Adapun, Peneliti CORE Indonesia Eliza Mardian membeberkan, berdasarkan pekerjaan mayoritas, TKI yang dikirim ke Arab Saudi menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) dan pengasuh, bukan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi atau khusus untuk mengisi sektor tertentu.  Padahal, potensi mendaratkan TKI ke Arab Saudi besar. Dia pun menyarankan pemerintah untuk mendatangkan TKI selain sektor ART, keamanan, hingga supir. Pemerintah juga perlu mendiversifikasi sektor TKI dengan upah relatif tinggi, sehingga dapat berdampak pada peningkatan remitansi. 

"Tentu ini membutuhkan pelatihan untuk upskilling calon TKI dan melakukan sertifikasi, sehingga dapat meningkatkan value-nya," ujar Eliza kepada Validnews, Rabu (9/4).

TKI Bukan Solusi
Eliza merinci, mayoritas penempatan TKI berada di Malaysia, dengan proposi sekitar 45% dari total TKI. Sementara, Arab Saudi merupakan negara kedua terbesar jumlah TKI. Berdasarkan data yang dimilikinya, proporsi TKI di Arab Saudi sekitar 21,6% di 2024, angka ini terus menurun dibandingkan tahun 2018 yang proporsinya sebesar 26%.

Eliza mengungkapkan, salah satu alasan banyak yang ingin menjadi TKI adalah karena sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri. Bahkan terbaru, lulusan D3 dan S1 saja mau melamar jadi ART karena relatif kesulitan mencari kerja di tengah badai PHK saat ini. 

"Kita lihat pengangguran di Indonesia ini kan banyaknya SMK, SMA, diploma, bahkan sarjana juga sulit cari pekerjaan, ditambah lagi usia muda 20-24 tahun. Jadi kalau pekerjaan yang tersedia di Arab Saudi banyaknya asisten rumah tangga ya akan tidak optimal mengurangi pengangguran Indonesia yang muda dan terdidik," ungkapnya.

Baca Juga: Peneliti: Gaji TKA di Tambang Mineral 10 Kali Lipat TKI

Salah satu yang mencoba peruntungan TKI adalah Ati (51), yang telah menjadi TKI selama kurang lebih 12 tahun. Perempuan lulusan SMP ini mengadu nasib di Qatar dan Arab Saudi sebagai ART, demi mencari kerja yang lebih menjanjikan untuk menghidupi keluarga kecilnya.

“Saya jadi TKI sudah 12 tahun. Saya ingin bekerja di luar negeri dan memang ingin mencari opportunity lain di luar negeri,” kata ibu beranak tiga ini kepada Validnews, Kamis (10/4).

Ati bercerita, dia menjadi TKI dengan modal mencari tahu informasi mandiri. Kemudian, melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Ati mengaku tidak kesulitan mengumpulkan dokumen yang diperlukan karena dibantu oleh yayasan penyalur.

Menilik persoalan ini dan carut-marut kisah negatif TKI, Ke depan, Piter dan Bakhrul berharap, agar semua pekerja migran bisa mendapatkan kualitas pekerjaan yang layak dengan upah yang menjanjikan. Salah satu caranya dengan membekali TKI dengan keterampilan mumpuni. Dengan pengiriman tenaga kerja terampil, akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi untuk Indonesia dari segi ekonomi, maupun bagi negara yang membutuhkan tenaga kerja terampil, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.

Selain keterampilan, TKI juga harus dipastikan mendapat hak-haknya dengan baik, belajar dari pengalaman buruk sebelumnya.
 
Kembali ke domestik, meski demikian berat, Piter menuturkan, pertumbuhan ekonomi masih berpeluang tumbuh di atas proyeksi 5%. Syaratnya, pemerintah bisa membuat terobosan kebijakan luar biasa dan optimalisasi jajaran kabinet besar Presiden Prabowo. Sehingga, bisa bekerja dan berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi semantap mungkin.

Baca Juga: Gelombang PHK Buramkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

Senada, Bakhrul menilai, perlu kebijakan fiskal yang ekspansif dan strategis untuk mewujudkan janji 19 juta lapangan kerja. Selain itu, pemerintah harus menahan program-program ambisius kontraproduktif dan berpotensi menambah kerugian negara. 

"Kuncinya ada di daya beli masyarakat," paparnya.

Kemudian, pemerintah disarankan bisa menerbitkan kebijakan skema inkubasi dan pendanaan UMKM, supaya pelaku usaha kecil bisa naik kelas dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah juga diminta segera beralih ke ekonomi restoratif dan transisi energi terbarukan berbasis komunitas, bukan dengan jenis baseload. Di saat sama, program upskilling dan reskilling berbasis kondisi wilayah, latar belakang peserta, sektor unggulan lokal, dan kebutuhan pasar kerja perlu ada. Yang terutama diprioritaskan untuk korban PHK dan angkatan kerja yang masih menganggur.

Umumnya, Piter dan Bakhrul menilai, korban PHK sangat kecil kemungkinan membuka bisnis. Ujungnya, korban akan masuk ke sektor informal sebagai pilihan alternatif dalam rangka menyambung hidup. Mulai dari menjadi ojol, membuka lapak di platform e-commerce, hingga lapak kaki lima.

Di sisi lain, Bappenas mengungkap, selain fokus membuka lapangan pekerjaan, juga diperlukan untuk memperbaiki fleksibilitas dari pekerjaan itu sendiri. Dengan sistem perubahan tenaga kerja, diharapkan korban PHK bisa segera menyesuaikan dan mendapat  kerja baru. Ia juga mengamini agar masyarakat dibekali keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja.

"Jadi penyesuaian skill-nya atau keterampilan harus segera kita desain secepatnya. Supaya para pekerja yang sudah ter-PHK, tadinya misal pekerja tekstil, ternyata ada kesempatan pekerjaan di tempat lain, dan harusnya dia bisa segera menyesuaikan," urai Maliki.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar