19 Maret 2025
21:00 WIB
Publik Lebih Setuju Hasil Efisiensi Anggaran Dipakai Lunasi Utang Ketimbang Biayai MBG dan Danantara
Riset Indef menunjukkan publik lebih setuju hasil efisiensi anggaran dipakai untuk melunasi utang negara ketimbang membiayai MBG dan Danantara.
Penulis: Siti Nur Arifa
Petugas menunjukkan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Antara Foto/Muhammad Adimaja
JAKARTA - Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto mengungkapkan, bahwa masyarakat lebih setuju efisiensi anggaran digunakan sebagai langkah untuk menjaga stabilitas ekonomi berupa pelunasan utang negara, ketimbang dialihkan untuk program makan bergizi gratis (MBG) atau pendanaan Danantara.
Berdasarkan satu bulan pantauan INDEF selama 20 Januari-20 Februari 2025 di platform media sosial X, dari 254.132 perbincangan mengenai pemangkasan anggaran, nyatanya hanya 32,6% masyarakat yang mendukung pemangkasan anggaran untuk efisiensi, di mana sisanya menolak kebijakan ini.
Sementara jika dilihat dari sisi tujuan pemangkasan, sekitar 63,6% masyarakat lebih menyetujui pengalihan efisiensi anggaran digunakan untuk membayar utang negara, 39,8% untuk pembiayaan program MBG, dan hanya 1,8% yang setuju dana efisiensi dialihkan untuk Danantara.
“Publik itu kalaupun oke (setuju) ada efisiensi anggaran lebih memilih untuk membayar utang, daripada mendanai MBG ataupun untuk Danantara, yang kemudian itu menjadi langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian,” ungkap Eko, dalam Diskusi Publik INDEF bertajuk ‘Ekonomi Lebaran saat Cekak Anggaran’, Rabu, (19/3).
Menurut Eko, menjadi hal yang wajar jika masyarakat lebih mendukung penggunaan dana efisiensi dialihkan untuk membayar utang.
Pasalnya, berdasarkan informasi realisasi APBN KiTa Februari 2025 yang sudah di-takedown, posisi per 31 Januari 2025 posisi utang negara sudah mencapai angka Rp8.909,13 triliun. Bahkan, dalam siaran pers APBN Kita Januari 2025 tidak disajikan posisi per 31 Desember 2024.
Posisi Utang Negara Tembus Rp9.000 Triliun
Sebelumnya, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky melaporkan jika berdasarkan data pembiayaan utang dengan asumsi APBN Kita Februari tidak diubah, data yang disajikan antara lain pembiayaan utang hingga 31 Januari sebesar Rp153,36 triliun dan posisi utang mencapai Rp8.909,13 triliun.
Sementara paparan APBN KiTa Maret menyebut pembiayaan utang sampai dengan 28 Februari sebesar Rp224,3 triliun, yang telah mencakup data Januari, dan terdapat tambahan pembiayaan utang sebesar Rp70,94 triliun. Artinya, posisi utang dibanding 31 Januari, diperkirakan bertambah menjadi Rp8.980,07 triliun.
Hal lain yang perlu diperhatikan, telah terjadi pelemahan nilai tukar rupiah antara 31 Januari dengan 28 Februari, dari Rp16.312 menjadi Rp16.575, atau melemah sekitar 1,61%. Padahal, sekitar 29% dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing, di mana 90% nya adalah dolar Amerika. Sehingga ketika posisi utang dinyatakan dalam rupiah, maka ada tambahan nominal posisi utang.
“Penulis memprakirakan perhitungan tersebut berujung pada posisi utang Pemerintah sekurangnya telah mencapai Rp9.000 triliun per 28 Februari 2025,” tulis Awalil dalam pernyataan resmi, dikutip Rabu (19/3).
Tuntut Pemerintah Riset Mendalam
Dari uraian di atas, Eko kembali menjelaskan bahwa dilihat dari segi mana pun, tujuan efisiensi anggaran memang lebih tepat digunakan untuk melunasi utang negara ketimbang program MBG dan Danantara yang menurut publik tidak memberikan dampak langsung terhadap stabilitas perekonomian.
“Program ini (MBG) tidak efisien karena tidak selected targeted gitu ya, jadi semuanya dapet targetnya 82,9 juta anak itu dapat semua. Padahal mungkin yang diinginkan adalah anak sekolah di lingkungan terluar, yang miskin, itu yang didukung. Tapi kenyataannya kan nggak begitu cara mainnya (makan siang) untuk semuanya termasuk anak orang kaya,” jelas Eko.
Eko juga menyorot pendapat masyarakat yang menilai bahwa prioritas program MBG justru menyebabkan para orang tua yang bekerja dengan status pegawai kontrak di Kementerian/Lembaga kehilangan pekerjaan akibat efisiensi, yang ditujukan untuk program MBG.
Karena itu, ke depan pemerintah diminta untuk lebih dulu melakukan riset mendalam ketika merumuskan sebuah program yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Publik menuntut pemerintah untuk melakukan riset mendalam terlebih dahulu sebelum memulai menjalankan program. Mereka berharap program-program itu didahului dengan riset yang mendalam agar selaras dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.