c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

16 Januari 2025

21:00 WIB

Asa Industri Ritel Di Tengah Melempemnya Daya Beli

Pertumbuhan industri ritel belakangan masih diselimuti awan mendung. Melempemnya daya beli jadi sandungan menggairahkan bisnis yang terdampak covid-19.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Rikando Somba, Khairul Kahfi,

<p dir="ltr" id="isPasted">Asa Industri Ritel Di Tengah Melempemnya Daya Beli</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Asa Industri Ritel Di Tengah Melempemnya Daya Beli</p>

Pengunjung melihat produk sepatu di mal Grand Indonesia, Kamis (29/8/2024). Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Suasana sebuah super market yang berlokasi strategis di Grand Depok City (GDC) pada Selasa (14/1) siang, tampak sepi pengunjung. Sesekali terdengar jingle yang sengaja diputar buat memecah keheningan.

Terlihat beberapa orang berlalu lalang dengan nyaman di sana. Pembeli juga bisa cepat dilayani kasir karena tak ada antrean mengular. Pemandangan ini tampak kontras dibandingkan saat hari libur dan tanggal muda yang akan padat pengunjung.

Salah satu pengunjung setia super market itu sejak 2023, Tami (36) mengaku rutin belanja pekanan di sini. Mulai dari sekadar membeli snack ringan, buah-buahan, hingga keperluan dapur. Ada sejumlah alasan Tami sulit berpaling ke ritel lain, seperti lokasi yang dekat rumah sampai harga yang bersaing.

"Di sini kita bisa mengecek langsung produk yang ingin dibeli, bisa klaim voucher promo, dan bisa sekalian refreshing," kata Tami saat berbincang dengan Validnews, Jakarta, Rabu (15/1).

Serupa, Awita (29) juga gemar berbelanja langsung di ritel offline. Bedanya, ibu beranak satu ini telah beralih dari Super Indo Depok ke Lotte Grosir Bogor sejak 2024. Alasannya sederhana, karena lokasi yang lebih dekat dan fasilitas kantor berupa voucer belanja di ritel tersebut. Dalam sekali belanja, Awita bisa menghabiskan hingga Rp800 ribu.

"Kelebihan belanja langsung bisa melihat langsung kondisi produk, pilihan lengkap dan harga grosir, one stop buying atau ke satu tempat bisa dapat semua seperti sembako, camilan, lauk, sampai elektronik, ada poin yang bisa dikumpulkan dan ditukar dengan barang atau potongan harga," jelas Awita kepada Validnews.

Selain hari libur dan tanggal muda, Awita mengaku, Lotte Grosir Pakansari juga akan ramai pengunjung kala momen tahun baru, jelang puasa dan lebaran.

Lain lagi, Brillian (28) yang justru lebih memilih belanja ritel harian secara online via Astro. Meski sudah kenal di 2022, dia mengaku baru jadi pelanggan tetap di 2024.

Awalnya dia hanya beli produk kopi yang dijajakan pada etalase Astro Cafe. Karena terkesima dengan layanan gesit, bebas ongkir, dan harga bersaing, dia ikut mengajak sang istri untuk berbelanja juga di Astro, toh ada juga sembako, produk segar, snack, hingga skincare dan makeup, komplet.

"Nilai plusnya, Astro menjual beberapa barang hingga makanan yang tidak tersedia di toko ritel, namun hanya di e-commerce. Barang itu bisa sampai di depan rumah dengan waktu maksimal 1 jam dan free ongkir, tidak seperti di e-commerce biasa yang hanya menyediakan kurir ekspedisi untuk pengiriman," ungkap Brillian kepada wartawan.

Adu Inovasi
Kini, bisnis ritel memang berlomba terus suguhkan inovasi. Alfamart, misalnya, yang menawarkan pengalaman belanja secara langsung dan layanan antar belanjaan ke rumah lewat Alfagift. Begitu pula dengan Indomaret lewat Klik Indomaret-nya.

Transmart juga tak mau kalah dengan menerapkan konsep 4 in 1, yaitu konsep berbelanja sambil bermain, kuliner, dan hiburan untuk pengunjung.

Sedangkan, Super Indo tak hanya menawarkan produk fresh seperti ikan hidup, tapi konsumen juga dapat langsung meminta ikan tersebut dibakar atau digoreng di tempat. Super Indo juga memanjakan pelanggan setia melalui aplikasi My Super Indo dengan iming-iming peralatan masak eksklusif cuma-cuma.

Semua inovasi ini bisnis ritel lakukan demi memikat konsumen dan membangkitkan kembali bisnis yang sempat lesu parah terdampak covid-19. Namun patut diakui, jika melihat ke belakang pertumbuhan ritel masih diselimuti awan mendung. 

Pada 2019 atau sebelum pandemi, pertumbuhan ritel masih bisa mencapai 5-6%. Tapi begitu pagebluk melanda di 2020-2021, pertumbuhan ritel cenderung tiarap, sampai terkoreksi dalam sebesar 15-20%. 

Pada 2022-2023, saat perekonomian mencoba bangkit, industri ritel syukurnya ikut bertumbuh 4-5%. Di 2024, kinerja industri usaha ritel diproyeksi dapat kembali tumbuh, meski tidak terlalu signifikan. 

Nada bimbang pertumbuhan 2024 itu tak bisa disangkal lantaran industri usaha ritel mengalami tekanan sepanjang tahun. Imbasnya, dua pemain besar, yaitu PT Matahari Department Store Tbk dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) yang dilaporkan menutup sejumlah gerai. 

Baca Juga: Makan Tabungan, Akankah Jadi Fenomena Berlanjut?

Daya Beli Lesu
Salah satu penyebab pertumbuhan ritel masih seret adalah karena daya beli masyarakat yang berada dalam tren penurunan. Sekilas, kondisi ini bisa terendus dari kejadian deflasi yang sempat terjadi kepalang panjang sampai lima bulan lamanya, Mei-September 2024. 

Deflasi berkepanjangan juga pernah terjadi pada 1999 dan 2020, yang masing-masing terjadi selama tujuh bulan dan tiga bulan. Jika mau didalami, kejadian ekonomi yang paling kentara di 1999 adalah fase pemulihan Indonesia dari krisis ekonomi Asia 1997-1998, sementara di 2020 akibat pandemi covid-19 yang melumpuhkan ekonomi sedunia.

Secara tahunan, inflasi Indonesia di 2024 menembus 1,57%, atau menjadi yang terendah dalam sejarah. Berdasarkan catatan BPS, inflasi juga pernah tercatat rendah sebesar 1,68% pada 2020. 

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengamini telah terjadi pelemahan daya beli masyarakat pada 2024, yang dikomandoi oleh kelas menengah ke bawah. Selain itu, kebijakan pembatasan impor pemerintah juga berimbas pada kinerja industri ritel 2024 yang berada dalam tekanan.

Menurutnya, pegangan uang masyarakat kelas menengah-bawah yang relatif menjadi kian sedikit mengakibatkan penurunan daya beli. Alhasil, masyarakat kelas menengah-bawah cenderung membeli barang atau produk dengan harga lebih murah.

"Kecenderungan di atas juga memaksa masyarakat membeli barang dan produk impor ilegal yang harga jualnya sangat murah, akibat tidak membayar berbagai pajak dan pungutan impor lainnya secara resmi," kata Alphonzus kepada Validnews, Senin (13/1).

Fenomena barang dan produk impor ilegal yang marak mengakibatkan industri manufaktur nasional terganggu. Banyak di antaranya punya kondisi bisnis yang makin terpuruk.

Kendati demikian, Alphonzus pede menyampaikan, industri ritel 2024 masih bisa bertumbuh single digit atau di bawah 10%. Adapun eksosistem usaha ini sudah mengalami tekanan sejak awal tahun, dan makin tertekan saat memasuki low season setelah Idulfitri.

"Hal ini sebagaimana yang selalu terjadi setiap tahun dan memang sudah merupakan siklus, pola atau tren penjualan ritel di Indonesia," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Fetty Kwartati justru melihat pertumbuhan ritel 2024 mengalami pemulihan signifikan. Didorong pemulihan daya beli masyarakat, peningkatan konsumsi domestik, dan program seperti Belanja di Indonesia Aja (BINA) atau great sale, pemulihan terjadi. 

"Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, 2024 mencatat pertumbuhan yang lebih stabil, meski masih dihadapkan pada tantangan inflasi dan penyesuaian upah minimum," ungkap Fetty kepada wartawan, Selasa (14/1).

Untuk itu, perkiraannya, industri ritel 2024 dapat tumbuh mencapai 5-6%, didorong oleh MICE, event besar seperti Trade Expo Indonesia, konser-konser musik, sampai kampanye Pilpres dan Pilkada.

Fetty juga menyebutkan terdapat beberapa kategori produk terlaris di tahun lalu, seperti Makanan dan Minuman seperti kopi, teh, makanan siap saji; Produk Kesehatan seperti vitamin, suplemen herbal; FMCG berupa produk kebutuhan sehari-hari; serta Fesyen Lokal di mana brand lokal semakin diminati.

2025 Diramal Cerah?
Ke depan, Alphonzus memproyeksi kinerja industri usaha ritel RI 2025 masih akan tetap tumbuh dibandingkan dengan tahun lalu. Hanya saja tetap masih tidak signifikan atau mentok single digit. Faktor utama penghambat industri tahun ini berasal dari belum pulihnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah-bawah.

Senada, Fetty memperkirakan pertumbuhan ritel 2025 tetap positif, namun dengan tingkat moderat. Seiring dengan proyeksi ekonomi stabil di kisaran 5-5,1% dan tantangan daya beli yang signifikan.

Tantangan utama bagi ritel di tahun ini, antara lain daya beli yang tertekan. Kemudian, kebijakan yang kurang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha, sehingga dapat menambah beban operasional.

Lalu, biaya operasional, termasuk gaji karyawan yang terus meningkat sehingga memberi tekanan tambahan pada margin usaha, serta situasi global yang tidak menentu.

"Penjualan ritel diperkirakan akan tumbuh sekitar 5-6% pada 2025, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya," terangnya. 

Tak jauh berbeda, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Moga Simatupang memproyeksi, pertumbuhan ritel 2025 akan berada di kisaran angka 5%. Meskipun, optimisme pertumbuhan ini akan dibanyangi sejumlah hal

"Ada kekhawatiran dampak kenaikan PPN, UMR, dan inflasi yang berpotensi menggerus margin keuntungan dan peningkatan biaya operasional yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan sektor ritel," ungkap Moga kepada Validnews, Senin (13/1).

Di sisi lain, ia mengungkapan, pemerintah optimistis melihat target pertumbuhan ekonomi di atas 5,2% di 2025. Serta pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2024 yang tumbuh 4,95% (yoy), atau meningkat 1,50% (qtq).

Selain itu, Konsumsi Rumah Tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi setiap kuartal, yaitu 2,62% pada kuartal I-II/2024, serta 2,55% pada kuartal III/2024.

"Faktor-faktor pendukung pencapaian target tersebut, antara lain efek pembangunan infrastruktur, diversifikasi ekspor, dan konsumsi domestik yang kuat, serta kebijakan pemerintah yang berkelanjutan," jelasnya.

Adapun, salah satu angin segar perekonomian Indonesia dapat dilihat dari PMI Indonesia per Desember sebesar 51,2 poin, naik dibanding bulan sebelumnya. Kebangkitan aktivitas manufaktur ke zona ekspansi ini terjadi setelah kontraksi lima bulan beruntun.

Pemerintah akan terus mendorong perkembangan sektor ritel, salah satunya seperti pada akhir 2024, di mana data Survei Penjualan Riil BI mencatat IPR pada Desember 2024 yang naik sebesar 5,1% ke level 220,3 poin.

Demi mendukung pertumbuhan ritel, Moga menyampaikan, pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk promosi dan penawaran diskon besar-besaran, seperti program diskon. Pada akhir 2024, program semacam BINA Diskon, Epic Sale, sampai Harbolnas berhasil mencatatkan transaksi total sebesar Rp71,5 triliun.

Selain menebar diskon, pemerintah juga memberikan stimulus lain dengan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada 2025 untuk mendorong daya beli. Kebijakan tersebut didasarkan pada Permenaker 16/2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.

Baca Juga: Frugal Living, Gaya Hidup Hemat Yang Kini Trendi

Perlu Kepastian Daya Beli
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam menegaskan, untuk mendorong kinerja industri ritel tidak hanya serta merta diupayakan dari menaikkan UMP saja. Karenanya, perlu dibarengi dengan ketersediaan lapangan kerja yang mencukupi.

"Yang paling utama adalah ketersediaan tenaga kerja, lapangan kerja, dan berhentinya fenomena PHK," tegas Piter kepada Validnews, Rabu (15/1).

Lebih lanjut, kenaikan UMP pekerja lama bukan menjadi prioritas utama, karena yang paling dibutuhkan adalah kepastian pekerjaan. "Kalau terus mereka kena PHK, ya percuma UMP naik. Saya belum melihat itu," imbuhnya.

Secara makro, masyarakat membutuhkan arah kebijakan pemerintah yang akan berdampak positif terhadap perkembangan perekonomian secara keseluruhan maupun industri. Dia menyayangkan, hingga kini pemerintah belum mengambil kebijakan signifikan untuk perekonomian. Pemerintahan masih sibuk dengan konsolidasi organisasi karena kementerian kan ada yang dipecah, ada yang di-merger.

Padahal, arah kebijakan pemerintah ditambah kondisi perekonomian nasional, akan menentukan pertumbuhan ritel ke depan. Jika tidak ada perubahan, sulit berharap ritel akan membaik.

Sebaliknya, bila pemerintah memberikan kebijakan yang mampu meningkatkan kembali daya beli masyarakat, bakal menjadi kabar gembira bagi sektor ritel.

"Ritel sangat bergantung kepada daya beli masyarakat. Kalau sekarang ini kita mau memproyeksikan, akan bergantung kepada asumsi-asumsi yang kita bangun, kalau asumsinya pemerintah mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang terobosan, yang mampu memperbaiki daya beli, maka kondisi ritel akan membaik," ulas Piter.

Pasalnya, sektor ritel terhantam oleh daya beli masyarakat yang menurun di 2024. Hal ini disebabkan oleh gelombang PHK yang begitu luas, termasuk di sektor industri tekstil maupun industri lainnya.

PHK atau kehilangan pekerjaan otomatis akan membuat masyarakat mengalami penurunan daya beli dan berimbas pada dorongan untuk berbelanja menciut. Akhirnya, sektor ritel akan mengalami penurunan penjualan.

Ekspansi Ritel 2025
Terkait ekspansi usaha di 2025, Alphonzus melihat daya beli masyarakat kelas menengah-bawah yang berada di luar pulau Jawa dan banyak bergantung dengan Sumber Daya Alam (SDA), relatif lebih stabil dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah-bawah yang berada di Pulau Jawa.

"Kondisi tersebut akan mulai mendorong para pelaku usaha ritel untuk mengembangkan usaha di luar pulau Jawa yang selama ini belum mendapatkan prioritas utama dalam rencana strategi pengembangan usaha," kata Ketum APPBI ini.

Soal UMP, Alphonzus pun berharap, kenaikannya tetap dapat menopang daya beli masyarakat kelas menengah-bawah. Seiring dengan itu, dia berpesan, agar pemerintah jangan membuat kebijakan yang malah membebani masyarakat dan membuat kenaikan UMP menjadi sia-sia.

Secara khusus, APPBI mengapresiasi pemerintah yang tidak menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, dan menjadikan kenaikan PPN 12% terbatas hanya untuk barang mewah saja.

"Tantangan lain yang harus dihadapi oleh industri ritel pada tahun ini adalah low season yang lebih panjang karena Ramadan dan Idulfitri sebagai puncak penjualan ritel di Indonesia akan tiba lebih awal, yaitu pada sekitar bulan Maret," tuturnya.

Lebih lanjut, dia menyoroti, kategori usaha Hypermarket dan Department Store di 2025 masih akan mengalami tekanan, terutama di kota-kota besar. Akibat perubahan gaya hidup ataupun tren berbelanja masyarakat di kota-kota besar.

Sementara itu, Fetty mengatakan, pada 2025 sektor ritel justru cenderung menghadapi situasi yang lebih hati-hati terkait ekspansi, meskipun ada peluang di beberapa sektor.

Di sisi lain, Hippindo menyampaikan, kenaikan UMP dapat memengaruhi sektor ritel secara negatif. Misal, kenaikan gaji karyawan akan meningkatkan biaya operasional ritel, terutama yang bergantung pada tenaga kerja dengan upah rendah.

Untuk menutupi biaya tambahan itu, peritel akan menaikkan harga barang, yang berpotensi menekan daya beli konsumen lagi. Selain itu, peritel perlu meningkatkan efisiensi operasional dan produktivitas karyawan, dengan menggunakan teknologi dan sistem manajemen yang lebih baik.

Singkatnya, kenaikan harga dari peritel dapat menurunkan daya beli dan memaksa konsumen mencari alternatif yang lebih murah lagi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar