24 September 2024
13:03 WIB
Daya Beli Turun dan Kelas Menengah Anjlok, Ritel Mulai Ditinggalkan?
Masyarakat mulai mengurangi jumlah kunjungan dan volume ketika belanja ke toko atau supermarket. Bisnis ritel pun diprediksi hanya tumbuh 4,7-4,9% tahun ini.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Sejumlah pengunjung berjalan-jalan di mal Grand Indonesia, Kamis (29/8/2024). Antara Foto/Aprillio Akbar
JAKARTA - Tingkat daya beli rendah dan jumlah kelas menengah yang anjlok membuat masyarakat Indonesia belakangan ini tidak banyak belanja di toko ritel.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, dua masalah itu, daya beli dan kelas menengah menyusut, berdampak pada volume dan kunjungan belanja di ritel.
"Daya beli turun dan level menengah juga semakin anjlok, yang pasti berdampak pada besaran belanja, mereka masih belanja ke ritel, tapi besaran dan volumenya turun," ungkapnya saat ditemui di Jakarta, Senin (23/9).
Roy menyampaikan, daya beli menurun karena sudah empat bulan deflasi. Menurutnya, kondisi tersebut bukannya menunjukkan kelebihan produksi, mengingat PMI manufaktur RI juga menurun. Namun, deflasi menunjukkan pelemahan permintaan.
Deflasi adalah kondisi di mana harga-harga barang atau jasa secara umum mengalami penurunan. Ketua Aprindo menilai, harga yang menurun ini, sayangnya justru tidak mengerek permintaan.
Di ritel, Roy melihat, kelompok menengah atau orang-orang yang biasa berbelanja di minimarket atau supermarket, malah menurunkan nilai belanjanya. Dengan kata lain, masyarakat jadi mode menghemat.
Baca Juga: Knight Frank: Penurunan Kelas Menengah Berimbas Pada Sektor Ritel
"Mereka masih datang, tapi turun nilai kunjungan, baik nilai belanjanya dan kunjungan belanjanya. Nah kita berharap ini jangan terlalu lama, apalagi kita tahu BI Rate sudah diturunin dari 6,25% jadi 6%," tuturnya.
Secara umum, ketika BI Rate atau suku bunga acuan turun, biaya pinjaman atau kredit menjadi lebih murah. Oleh karena itu, Ketua Aprindo berharap suku bunga lain bisa diatur agar lebih kendor, seperti kredit motor dan rumah.
Selain itu, perlunya diskresi atau bantuan-bantuan untuk masyarakat kelompok menengah. Roy mencontohkan, diskon tarif listrik dan pemberian bantuan bagi para pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK), seperti yang terjadi di industri alas kaki dan tekstil.
"Karena mereka yang tadinya bekerja kemudian hilang pekerjaan. Juga perlu penciptaan lapangan usaha-usaha baru dan wirausaha," ucap Bos Ritel.
Apabila membuka lapangan kerja baru cenderung sulit, Roy menyarankan agar pemerintah mendorong tumbuhnya wirausaha baru di dalam negeri. Misalnya, pemerintah kan mau membangun industri gula dan bioetanol di Papua.
Nah, orang-orang sekitar industri nantinya perlu memiliki kegiatan, baik sebagai pekerja di pabrik ataupun membuka usaha sendiri seperti makanan minuman di daerah tersebut.
"Jadi mesti ada mitigasi kembali lagi dari pemerintah untuk mengaitkan masyarakat level menengah yang sekarang turun, maupun juga pelemahan daya beli," imbau Roy.
Baca Juga: Tak Ada Bantalan Sosial, Daya Beli Kelas Menengah Tertekan Harga Pangan Dan Kebijakan Pemerintah
Dia menambahkan, pemerintah jangan sampai membuat kebijakan yang menambah beban masyarakat lagi, seperti kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Adapun kenaikan PPN diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan maksimal diterapkan pada awal 2025.
"Kayak PPN ini loh yang mau naik jadi 12% per 1 Januari 2025. Ini enggak boleh dilakukan saat sekarang terjadi pelemahan daya beli, justru harus ditunda," ungkap Bos Ritel itu.
Di tengah lesunya daya beli masyarakat, penurunan kelas menengah, PHK, ada aturan baru soal penjualan rokok, Aprindo memproyeksikan pertumbuhan bisnis ritel tahun 2024 berada di rentang 4,7-4,9%.
Roy optimis bisnis ritel masih mampu tumbuh, meski bakal menantang. Dia memprediksi, menjelang akhir tahun ini penjualan ritel tidak terdongkrak momentum Pilkada, karena orang-orang belanja langsung ke manufaktur, bukan ke toko.
"Kita sih melihat masih antara angka 4,7% sampai 4,9% ya pertumbuhannya," tutup Roy.