c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

24 Oktober 2024

21:00 WIB

Mengurai Biang Kerok Penyebab Deflasi Beruntun

Polemik penyebab deflasi beruntun belum usai. Di sisi lain, pelemahan daya beli tetap terjadi.

Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma, Erlinda Puspita

<p id="isPasted">Mengurai Biang Kerok Penyebab Deflasi Beruntun</p>
<p id="isPasted">Mengurai Biang Kerok Penyebab Deflasi Beruntun</p>

Warga antre membeli barang kebutuhan pokok saat Gerakan Pasar Murah di halaman Masjid Jami Nurul Ikhlas, Kelurahan Sukadamai, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (3/10/2024). Sumber: AntaraFoto/Arif Firmansyah

JAKARTA - Sudah lima bulan beruntun Indonesia mengalami deflasi secara bulanan. Sejak Mei hingga September 2024, angka deflasi berturut-turut 0,03%, 0,98%, 0,18%, 0,03%, dan 0,12%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari sederet kelompok pengeluaran, kategori makanan, minuman, dan tembakau menjadi kelompok yang punya andil terbesar terhadap deflasi September 2024. Dengan rerata penurunan harga 0,59%, kelompok itu punya andil 0,17% dari deflasi periode tersebut.

Fenomena deflasi beruntun ini direspons positif oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, deflasi lima bulan berturut-turut terjadi karena menurunnya harga pangan.

“Jadi kalau di deflasi lima bulan ini terutama dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif,” ucap Sri Mulyani beberapa waktu lalu. 

Meski demikian, Bendahara Negara tak menjelaskan lebih jauh penyebab deflasi, apakah dikarenakan penurunan harga atau daya beli masyarakat yang terus tergerus. 

“Jadi kalau harga pangan stabil atau bahkan menurun, karena waktu itu memang sempat meningkat (tinggi), itu adalah hal yang positif,” imbuhnya.

Asal tahu saja, dalam penghitungan inflasi, kelompok pangan masuk dalam kelompok bahan makanan, minuman dan tembakau. 

Bobot hasil Survei Biaya Hidup 2022 (SBH2022) kelompok bahan makanan, minuman dan tembakau sebesar 28,00% dan bobot subkelompok makanan terhadap nasional adalah sebesar 22,53%.

Melihat Komoditas Penyumbang Deflasi
Sebagai lembaga yang mencatat, BPS menduga, fenomena deflasi lima bulan beruntun ini disebabkan faktor dari sisi penawaran (supply side).

“Fenomena deflasi 5 bulan berturut-turut diduga masih disebabkan faktor yang sama dengan bulan sebelumnya, yaitu dari sisi penawaran (supply side), jelas Direktur Statistik Harga BPS Windhiarso Ponco Adi P kepada Validnews, Kamis (24/10).

Dia menuturkan, andil deflasi disumbang oleh penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan, hortikultura (cabai merah, cabai rawit, tomat, daun bawang, kentang dan wortel), dan produk peternakan (telur ayam ras dan daging ayam ras).

Windhiarso mengatakan, penurunan harga pangan disebabkan baik karena biaya produksinya yang turun sehingga harga di tingkat konsumen ikut turun. Juga, karena seiring dengan panen (seperti panen cabai rawit dan cabai merah) sehingga pasokan berlimpah.

Dari sisi komoditas, BPS mencatat daging ayam ras mengalami penurunan selama lima bulan berturut-turut, Mei-September 2024. Komoditas utama yang menyumbang deflasi September 2024 di antaranya adalah cabai merah dengan andil deflasi 0,09%, cabai rawit dengan andil deflasi 0,08%, bensin dengan andil deflasi 0,04%, telur ayam ras dengan andil deflasi 0,02%, dan daging ayam ras dengan andil deflasi 0,02%.

Pada kesempatan berbeda, Deputi I Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menjelaskan, komoditas bawang merah menjadi yang paling dominan dalam menyumbang deflasi sejak Mei 2024.

Penurunan harga bawang merah, terangnya, tak lepas dari suplai komoditas tersebut yang sedang melimpah. Musim tanam dan musim panen yang nyaris bersamaan pun ditengarai menjadi penyebab produksi relatif tinggi.

“Sehingga harga relatif juga yang saya bilang agak rendah di tingkat petani, walau di sebagian tingkat pedagang juga masih di bawah harga acuan penjualan tingkat konsumen,” kata Gusti, yang berbincang dengan Validnews via telepon pada Rabu (16/10).

Dia menyebutkan petani bawang merah tengah berada di zona nyaman untuk berproduksi. Alhasil, supply bawang merah melimpah belakangan ini. Guna mengatasi oversupply, Bapanas pun beberapa waktu lalu telah melenggang ke Malaysia untuk melihat peluang ekspor bawang merah ke Negeri Jiran.

“Dari hadapan kita karena produksi tinggi, kita bisa mengekspor kelebihan produk tersebut dan sekaligus menjaga harga di tingkat petani relatif bagus,” imbuhnya.

Meski tidak masuk dalam lima komoditas penyumbang deflasi terbesar September 2024, Gusti menilai ada potensi sumbangan deflasi dari komoditas bawang merah untuk periode berikutnya.

“Sekarang yang agak dominan potensi menyumbang deflasi itu bawang merah. Sudah agak naik lagi dibanding bulan kemarin, tapi kalau dibanding tahun kemarin dia akan mungkin ada potensi menyumbang deflasi,” ungkapnya.

Selain bawang merah, cabai merah keriting juga tengah menjadi perhatian bagi Bapanas. Tak berbeda jauh dengan bawang merah, ada potensi oversupply pada komoditas tersebut.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian Andi Muhammad Idil Fitri mengungkapkan kepada Validnews, suplai cabai dan bawang merah sangat aman hingga akhir tahun 2024. Untuk cabai keriting, melimpahnya pasokan tak pas dari kondisi musim yang sesuai sehingga, proses produksi bisa berjalan secara optimal.

“Untuk bawang merah produksi optimal justru terjadi saat kemarau, yaitu Juli-September. Kelebihan bawang merah bisa disimpan lebih lama sehingga bisa mendukung pasokan di bulan berikutnya,” papar Andi, Kamis (17/10).

Daya Beli Turun
Berbeda dengan keterangan narasumber di kalangan pemerintah, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai sebaliknya. Di kacamatanya, deflasi yang terjadi sejak Mei 2024 lalu itu bukan akibat dari pasokan yang melimpah. Deflasi adalah sinyal kuat menurunnya permintaan konsumen secara signifikan.

Kepada Validnews, Media mengatakan penurunan itu terjadi secara gradual sejak awal 2024 dan merata pada berbagai sektor, mulai dari transportasi, makanan dan minuman, perdagangan, hingga pariwisata.

Dia mengatakan bahwa jika memang penurunan harga atau deflasi itu lebih banyak dipengaruhi oleh melemahnya permintaan. Hal tersebut menjadi bukti nyata konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB masih dalam kondisi tertekan.

“Ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2024 menjadi sekitar 4,8% hingga 5,1%, di bawah target pemerintah,” ucap Media.

Kondisi deflasi sejak Mei sampai September 2024 menjadi pekerjaan rumah bagi Prabowo Subianto yang baru saja dilantik pada 20 Oktober 2024 yang lalu. Diterangkan Media, deflasi sejatinya bisa menjadi angin positif andai disebabkan oleh oversupply. Artinya, kondisi produksi dan pasokan barang dalam status yang baik.

Sebaliknya jika penurunan harga tak paralel dengan naiknya pendapatan atau stabilitas daya beli masyarakat, angin positif deflasi hanya bisa dirasakan oleh kalangan tertentu.

“Jika penurunan harga tidak seimbang dengan kenaikan pendapatan atau stabilitas daya beli masyarakat, efek ini dapat terbatas pada sektor tertentu dan tidak mensejahterakan keseluruhan ekonomi,” katanya.

Terjadinya deflasi pada September 2024 pun sejalan dengan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada periode yang sama dibanding bulan sebelumnya. Meski masih terjaga di level optimis (>;100), yakni 123,5, tingkat IKK September 2024 mengalami penurunan jika dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai 124,4, tetapi sedikit lebih baik dibanding periode Juli 2024 di level 123,4.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso menjelaskan terjaganya IKK periode September 2024 tak lepas dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang juga berada pada level optimis.  

Bagaimana Dengan Beras?
Salah satu bahan makanan utama dan indikator inflasi atau deflasi tentunya beras. BPS mencatat produksi beras pada 2024 berpotensi mencapai 30,24 juta ton dan mengalami penurunan dibandingkan 2023. 

Produksi beras pada Mei 2024 adalah sebesar 3,71 juta ton dan mengalami penurunan produksi beras di bulan Juni (2,10 juta ton) dan Juli (2,05 juta ton). Produksi beras kembali mengalami kenaikan menjadi 2,95 juta ton di Agustus dan 3,05 juta ton di September (Angka September 2024 merupakan angka sementara). 

Direktur Statistik Harga BPS Windhiarso Ponco Adi P menyebutkan bahwa beras menjadi penyumbang utama deflasi pada Mei 2024 dengan andil deflasi sebesar 0,15% dan menjadi salah satu penyumbang utama inflasi pada bulan Juli dengan andil inflasi 0,04%%. Sementara pada Agustus turut andil dalam inflasi senilai 0,01%.

Dia menerangkan, kenaikan dan penurunan harga beras, umumnya dipengaruhi oleh faktor produksi. Pada semester II/2022, produksi beras menurun dibandingkan pada semester I. Akan tetapi, kenaikan harga beras pada semester II/2022 tidak mengalami peningkatan yang drastis. Windhiarso mengatakan, hal ini bisa dimungkinkan karena adanya kenaikan harga BBM yang tinggi. 

Retaliasi keduanya terlihat pada September 2022 saat komoditas bensin menjadi penyumbang utama inflasi dengan andil 0,89%, sedangkan beras menyumbang andil inflasi sebesar 0,04%.

Sementara itu, inflasi beras semenjak semester II/2023 hingga semester I/2024 mengalami kenaikan yang cukup drastis. Hal ini dikarenakan perubahan cuaca yang terjadi mempengaruhi produksi beras. 

PR Pemerintah Baru
Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap deflasi dan apapun penyebabnya?

Media menyatakan perlu perluasan bantuan sosial serta mendongkrak upah minimum untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk pelaku bisnis,  pemberian insentif pajak bagi industri padat karya, hingga memperluas akses pembiayaan amat diperlukan. Prioritas tentu terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) guna mendukung keberlanjutan sektor produktif.

Diversifikasi ekonomi menuju sektor-sektor selain komoditas juga penting guna mengurangi risiko ketergantungan Indonesia terhadap pasar global. 

“Sementara di sektor pangan, perbaikan distribusi dan infrastruktur penunjang akan mengatasi potensi oversupply dan memastikan stabilitas harga antarwilayah,” kata dia.

Apapun yang menjadi pilihan pertama langkah pemerintah terhadap deflasi, sejatinya gebrakan kebijakan ekonomi amatlah ditunggu. Perdebatan apa penyebab deflasi tidak lah penting ketimbang memperbaiki kondisi negeri yang tidak baik-baik saja. 

Angka pengangguran yang mencapai 4,82%, tergerusnya kelas menengah, dan keinginan menyasar pertumbuhan ekonomi 8% perlu tindakan konkret, riil. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar