18 Februari 2025
18:54 WIB
CELIOS Pede RI Tetap Bisa Transisi Energi Tanpa AS
Penarikan diri AS dari Perjanjian Paris dinilai tidak dapat menjadi alasan Indonesia mundur dari agenda transisi energi. Mundurnya RI dari transisi energi bisa menurunkan minat investasi.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
PT PLN Indonesia Power membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung melalui program Hijaunesia. Antara/HO-PT PLN IP
JAKARTA - CELIOS berpendapat, mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) tidak seharusnya menjadi alasan Indonesia gamang dalam melanjutkan misi transisi energi bersih.
Seperti diketahui, keputusan Donald Trump menarik diri dari Perjanjian Paris dinilai bakal memengaruhi berbagai pendanaan transisi energi, salah satunya melalui skema JETP.
Menanggapi dinamika yang terjadi, sebelumnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat memberi sinyal bahwa Indonesia akan kembali mengandalkan energi berbasis batu bara.
"Amerika aja keluar kok (Perjanjian Paris), dia yang membuat, apalagi Indonesia yang cuma ikut-ikut ini?" ujar Menteri Bahlil dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) di Jakarta, Selasa (11/2).
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara pun menganggap, pernyataan Menteri ESDM Bahlil tersebut dapat memicu kemunduran usaha banyak pihak untuk tetap menghijaukan energi nasional. Dan malah mendukung beberapa pihak di dalam negeri yang memang masih mendukung penggunaan batu bara.
"Saya pikir dia (Menteri Bahlil) hanya menunggangi situasi saja, mereka enggak pengen ada transisi energi. Yang menjadi bahan evaluasi kalau dari teman-teman serius bentuk dari transisi energi itu, bentuknya kan banyak," ujar Bhima kepada wartawan, Jakarta, Selasa (18/2).
Baca Juga: Hashim: JETP Cuma Omon-Omon, Hingga Kini Tak Ada Sepeserpun Diberikan Untuk RI
Lebih lanjut, Bhima mengambil contoh dari proyek transisi energi PLTP Ijen yang kebetulan didanai US International Development Finance Corporation (DFC) melalui platform JETP, namun dalam praktiknya memiliki pelanggaran dari segi sosial-ekonomi terhadap masyarakat sekitar.
Menurut Bhima, proyek transisi energi PLTP bisa digantikan dengan transisi energi yang lebih berkeadilan, bermanfaat, dan cocok diterapkan di Indonesia.
Bhima juga meyakini, tanpa Amerika Serikat, sejatinya masih banyak peluang kerja sama dengan negara lain yang dapat membuat misi transisi energi tetap berlanjut.
Adapun beberapa contoh yang dimaksud seperti masuknya Timur Tengah, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi untuk proyek floating solar. Dirinya juga menyorot perusahaan-perusahaan baterai layaknya LG dan Hyundai yang mengembangkan teknologi baterai untuk energy storage dari energi terbarukan.
Selain itu, ada pula China yang sebelum AS keluar dari Perjanjian Paris, diketahui menekan MoU dengan PLN bernilai US$54 miliar. Nilai investasi ini disebut dua kali lipat lebih besar dari yang diberikan JETP untuk membantu transisi energi. Tak ayal, Bhima menyebut jika 'kiamat JETP' bukan akhir dari transisi energi.
"Pemerintah seolah-olah melihat bahwa transisi energi itu sama dengan JETP atau Amerika Serikat. Nah ini yang pengen kita bantah, sebenarnya enggak ada JETP pun banyak transisi energi sebenarnya bisa berjalan," ujarnya.
Baca Juga: Jerman dan Jepang Akan Ambil Alih Pendanaan AS di JETP
Terkait sinyal yang menandakan Indonesia akan kembali ke energi berbasis batu bara, Bhima memandang hal tersebut sebagai suatu kemunduran. Terlebih, jika Indonesia memutuskan untuk ikut keluar dari Perjanjian Paris lantaran AS yang dipandang sebagai 'ketua' melakukan hal tersebut.
"Menurut saya, apologi itu enggak diperlukan yang membuat kita mundur ke belakang dan itu salah. Kalau kemarin dari Pak Bahlil sendiri bilang akhirnya 'yaudah, kalau Amerika cabut, kita cabut, kita balik lagi ke batu bara', ya menurut saya itu justru mundur. Bahkan lebih buruk dari sebelum adanya JETP, jadi Indonesia enggak maju ke mana-mana (soal energi)," imbuhnya.
Pentingnya Monitor
Di lain sisi, Bhima tidak menampik jika skema JETP memang memiliki sisi positif tersendiri, lebih tepatnya dalam hal monitor proyek. Sehingga terlihat realita praktik di lapangan untuk menemukan penyimpangan, seperti yang terjadi di PLTN Ijen.
Sementara jika tidak melalui platform JETP atau melakukan kerja sama transisi energi secara bilateral, sulit untuk memantau apa yang sebenarnya dilakukan negara mitra dalam teknologi yang digunakan.
Hal ini menurut Bhima ditemukan dalam praktik kerja sama transisi energi dengan Jepang yang menggunakan teknologi berisiko tinggi. Ada pula ekspor listrik energi terbarukan ke Singapura yang dirasa kurang tepat.
"Contoh kayak Carbon Capture Storage atau CCS. Indonesia cuma jadi 'sampah karbonnya' negara maju. Disimpan di Indonesia. Indonesia dapat manfaat apa? Terus ada lagi ekspor listrik energi terbarukan ke Singapura. Loh, di Indonesia aja masih kurang? Ini kok udah mau ekspor ke negara lain?" beber Bhima.
Baca Juga: Ekonom: Danantara Bisa Percepat Pembiayaan Transisi Energi
Karena itu, dia menyampaikan, kerja sama transisi energi yang dilakukan secara bilateral dengan negara lain ke depannya perlu perhatian secara spesifik, lebih berhati-hati, dan memberikan keuntungan nyata bagi Indonesia.
Lebih lanjut, jika Indonesia ikut memutuskan mundur dari agenda transisi energi, maka akan menurunkan minat investasi baru serta peran Indonesia dalam perekonomian global.
"Contohnya ada Apple. Apple itu request-nya adalah harus ada energi terbarukan di kawasan industri. Karena kita tidak menyiapkan itu, dia enggak mau investasi ke sini," ungkit Bhima.
Bhima juga menyorot kaitan transisi energi dengan upaya bergabungnya Indonesia ke OECD, yang mengutamakan komitmen iklim lebih kuat untuk mendatangkan investasi energi terbarukan.
Tak lupa, superholding Danantara yang diluncurkan dengan mengusung proyek-proyek berkelanjutan. Yang upaya ini akan bertolak belakang, apabila Indonesia kembali mengutamakan energi berbasis batu bara.
"Tujuan Danantara itu kan menyerap investasi baru untuk berkelanjutan. Jadi jangan sampai saling kontradiksi di sana terhadap pemerintah," pungkasnya.