18 Februari 2025
16:43 WIB
CELIOS Ungkap Temuan Ketidakadilan Dalam Proyek PLTP Ijen
Hasil terjun lapangan peneliti CELIOS mengungkap bahwa proyek PLTP Ijen menyalahi AMDAL dan menimbulkan kerugian ekonomis maupun sosial bagi masyarakat sekitar.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Petani memikul Kubis yang baru dipanen melintasi instalasi PLTP PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng, desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jateng, Sabtu (14/8/2021). Antara Foto/Anis Efizudin
JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkap temuan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen sebagai salah satu proyek transisi energi yang saat ini berjalan di Indonesia tidak memenuhi standar berkeadilan, baik secara sosial maupun ekonomi.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sejatinya PLTP merupakan proyek yang cukup kontroversial. Meski diterima di Eropa, namun praktik transisi energi ini menimbulkan banyak polemik di beberapa negara, termasuk Indonesia.
"Di Indonesia semua dari proyek PLTP atau panas bumi itu lokasinya memang berdekatan, satu dengan pemukiman masyarakat, dan kedua juga ada masalah konflik terorial, ada konflik soal akses terhadap tanah dan air," ujarnya dalam 'Masa Depan Panas Bumi di Bawah JETP-Studi Kasus PLTP IJen', Jakarta, Selasa (18/2).
Sekadar informasi, operasional PLTP Ijen berada di bawah naungan PT Medco Cahaya Geothermal, yang mendapat pendanaan dari US International Development Finance Corporation (DFC) melalui platform JETP.
Dalam proyek PLTP Ijen, diketahui terdapat sembilan framework yang mengutamakan soal perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup. Namun dalam praktiknya, proyek PLTP Ijen bertolak belakang dengan dokumen yang diterbitkan.
Baca Juga: Bonus Produksi Panas Bumi Sejak 2014 Hampir Tembus Rp1 Triliun
Di saat bersamaan, tim peneliti CELIOS juga mendapat 12 temuan kondisi nyata di lapangan yang bertolak belakang dengan izin AMDAL PLTP Ijen. Salah satunya, mengenai lahan pertanian produktif yang dirusak sehingga masyarakat setempat kehilangan sumber penghasilan dan merusak perekonomian yang tadinya berjalan.
Tim peneliti CELIOS Muhammad Husnudin mengungkapkan, awalnya ada 20 hektare lahan milik warga yang merupakan lahan produktif untuk pertanian kubis, namun kini mati akibat difungsikan sebagai kawasan PLTP. Penuturan warga, lanjutnya, petani setidaknya bisa menghasilkan 25 ton kubis/hektare dalam sekali panen.
"Harga kubis itu biasanya di antara Rp2.000-5.000 per kilogram. Kalau kita bayangkan, 25 ton kita kalikan saja dengan Rp2.000 dan kemudian kita kalikan dengan 20 hektare. Maka pendapatan warga sekitaran Ijen bisa mendapatkan uang sebesar Rp1 miliar, mungkin Rp2,5 miliar dalam sekali panen," beber Husnudin.
Dalam jangka waktu lebih lama yakni dua kali panen, masyarakat setempat dapat memperoleh pendapatan hingga Rp5 miliar.
Sayangnya dalam dokumen izin PLTP Ijen, lahan yang dimaksud masuk dalam bagian hutan sosial milik Perhutani, sehingga sejak awal tidak ada diskusi jelas terkait kompensasi ganti rugi yang diberikan.
Kerugian Ekonomis Pasca PLTP Ijen
Lebih lanjut Husnudin memaparkan, setelah konstruksi PLTP Ijen terbangun terdapat kerugian ekonomi selama 2019-2024 sebesar Rp10-25 miliar. Atau sejak lahan tidak bisa lagi digunakan warga untuk menanam kubis.
"Siapa yang mengganti ini? Tidak ada. Artinya warga kehilangan potensi ekonomi mereka. Kalau kita bayangkan dalam 30 tahun ke depan, Rp60 miliar hingga Rp150 miliar, warga di sekitar pembangunan PLTP Ijen itu kehilangan potensi ekonomi mereka," ujarnya.
Baca Juga: PLTP Co-Generation Jadi Jurus Pemerintah Optimalkan Pembangkit Geothermal
Lebih lanjut, tim peneliti juga menyorot ungkapan 'no one left behind' yang selalu disuarakan dalam setiap pembangunan proyek transisi energi termasuk PLTP Ijen, termasuk salah satunya soal pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Faktanya, serapan tenaga kerja yang ada di lapangan terlewat minim.
"Di kecamatan Ijen terdapat 7.402 orang yang dalam usia produktif. Kenyataannya, hanya 63 orang saja yang terserap dalam proyek. Dan dari 63 orang itu, rata-rata mereka masih (terkait) keluarga dengan pemerintah-pemerintah desa atau perangkat-perangkat desa," paparnya lagi.
Melihat kondisi yang terjadi, CELIOS merekomendasikan agar proyek PLTP Ijen maupun PLTP lain dikeluarkan secara permanen dari bentuk proyek transisi energi JETP, termasuk penghentian pendanaan oleh DFC.
"Dalam kasus ini, DFC perlu mengevaluasi kembali komitmen mereka terhadap pendanaan proyek yang telah terbukti gagal memenuhi standar sosial dan lingkungan yang layak," tegasnya.