c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

15 Agustus 2023

20:30 WIB

Centang Perenang Mengupayakan Ketahanan Pangan

Fenomena global dan lokal menyebabkan berbagai gangguan dalam rantai pasok pangan di Indonesia. Tahapan ketahanan pangan masih jadi tujuan

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Centang Perenang Mengupayakan Ketahanan Pangan
Centang Perenang Mengupayakan Ketahanan Pangan
Pembeli memilih ubi merah yang dijual di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Selasa (15/8/2023). Valid NewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Apakah Anda merasa sangat panas dan kerap kegerahan belakangan ini? Jangan heran, kondisi ini merupakan gejala umum dari munculnya musim kering atau El Nino yang tengah melanda. 

Sejauh ini, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) mengidentifikasi sesuai hasil prediksi, indeks El Nino semakin menguat. Dari yang awalnya masih lemah di Juli mulai menjadi moderat per Agustus.

“Makanya kami terus gencar mengimbau dan mengingatkan, dengan El Nino yang semakin moderat atau semakin menguat. Tentunya dampaknya akan menguat juga," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dikutip dari Antara di Tangerang (7/8).

Puncak fenomena El Nino diprediksi akan berlangsung pada Agustus-September. Kondisi ini akan berakibat pada musim kemarau yang lebih kering, dibanding kondisi kemarau saat tidak terjadi El Nino, seperti pada 2020, 2021, dan 2022.

Jika kondisinya semakin kering, dampak lanjutannya adalah lahan dan hutan menjadi mudah terbakar. Selain itu, produksi pangan mengalami gangguan lantaran air semakin kurang.

Sebelumnya, BMKG telah mewanti bahwa ada ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan imbas fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang mengakibatkan kekeringan. 

Situasi ini menurutnya berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional, utamanya beras yang produksinya berpotensi ambles 5%.

Adapun fenomena El Nino dan IOD Positif saling menguatkan. Oleh karena itu, membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah. 

Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.

"Pemerintah daerah perlu melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman," katanya, Jumat (21/7).

Meski membawa akibat tak baik di pertanian, tak demikian di sektor perikanan, perubahan suhu dan pola arus laut selama El-Nino dan IOD positif yang mendingin, biasanya berpotensi meningkatkan tangkapan ikan. 

“Peluang dari kondisi ini harus dimanfaatkan karena dapat mendukung ketahanan pangan nasional," tambahnya.

Tantangan pertanian juga makin besar karena ‘agenda alam’ ini dampaknya tak hanya menyasar Indonesia dan sekitarnya. 

Dampaknya ke seluruh dunia bisa sangat besar, tetapi taruhannya lebih tinggi untuk negara berkembang, yang lebih rentan terhadap perubahan harga dan produksi pangan serta energi. 

Hitungan ekonom, India dan Mesir termasuk di antara ekonomi yang secara keseluruhan paling rentan terhadap dampak El-Nino 2023. Untuk itu, sebagai langkah antisipatif, India mengeluarkan kebijakan larangan ekspor demi menjaga pasokan di dalam negeri.

Reuters melaporkan, pelarangan itu direspons eksportir utama beras dunia Thailand dan Vietnam dengan merenegosiasi harga kontrak penjualan sekitar setengah juta metrik ton untuk pengiriman Agustus. 

Para pedagang di kedua negara tersebut berusaha mendapatkan harga tertinggi di tengah pasokan beras global yang kian ketat.

Sebagai informasi, India adalah pengekspor beras terbesar dunia. Sementara, Thailand dan Vietnam masing-masing adalah eksportir terbesar kedua dan ketiga.

Produk lain yang terdampak El Nino 2023 adalah kakao dari Pantai Gading dan Ghana, gula dari India dan Thailand, serta kopi dari Vietnam dan India.

Di luar masalah produksi akibat El Nino, tantangan lainnya muncul dari keputusan Rusia untuk menangguhkan partisipasi dalam Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam (Black Sea Grain Initiative). Padahal sejak Agustus 2022, inisiatif ini telah mengirimkan lebih dari 32 juta metrik ton biji-bijian ke dunia, termasuk beberapa wilayah paling rawan pangan di Tanduk Afrika, Sahel, Yaman, dan Afghanistan.

Langkah Rusia menyerang infrastruktur ekspor Ukraina di Sungai Danube semakin memperburuk keadaan dan membuat harga komoditas gandum/terigu dan jagung meningkat. 

Sebagai pengingat, konflik Rusia-Ukraina 2022 sempat membuat harga pangan dunia meradang hebat karena harga komoditas dunia menjadi tidak stabil cukup lama.

Tren Harga Komoditas Pangan
Kepala Badan Pangan Nasional/NFA Arief Prasetyo Adi menjelaskan, secara umum harga komoditas pangan ke depan, baik yang berasal dari impor atau produksi dalam negeri, akan mengalami kenaikan. 

Dia menilai, kenaikan tersebut mau tak mau terjadi sebagai buntut dari tingginya berbagai variabel biaya pertanian di dunia. Ditambah dinamika yang berlangsung kini, harga akan semakin tinggi.

Karena itu, pemerintah mencoba menyesuaikan kondisi harga pangan secara terkontrol dan hati-hati di semua tingkatan, mulai dari produsen, pedagang, hingga konsumen. Penyesuaian Harga Acuan Pembelian (HAP) komoditas pangan pun coba mengakomodasi kesetimbangan saat ini, seperti gula, beras, hingga kedelai. 

“Supaya petani-peternak kita NTP-nya naik di atas 100 (poin). Lalu di hilir, kita jaga daya beli masyarakat dengan cara menjaga inflasi. Sehingga pertumbuhan (ekonomi) akan terus jaga di atas inflasi,” sebut Arief kepada Validnews dalam sambungan telepon, Jakarta, Kamis (10/8).

Kontrol juga dilakukan melalui penyaluran bantuan pangan beras secara langsung kepada masyarakat pada Maret-Juni 2023. Ini dilakukan agar dampak negatifnya kenaikan harga pangan tidak terlalu besar pada tingkat inflasi dan ekonomi nasional. 

Pemerintah juga berupaya meningkatkan produktivitas pangan di tingkat nasional. Menurutnya, kenaikan produktivitas ini strategis untuk menjaga stabilitas harga pangan. Suplai yang meningkat akan bisa cenderung menekan rendah beban biaya (cost) pangan per unit. 

“Kalau rata-rata panen padi 5,2 ton/ha bisa dinaikkan jadi 6 ton/ha, berarti cost per unitnya akan turun dan harganya lebih murah. Nah kita dorong produktivitas,” sambungnya. 

Pemerintah juga terus meningkatkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), mendorong kerja sama antar daerah, fasilitasi distribusi, hingga Gerakan Pangan Murah (GPM) di sejumlah titik. 

Hasilnya, inflasi harga bergejolak (volatile food) mengalami deflasi sebesar 0,03% (yoy) pada Juli 2023, menurun dari inflasi Juni 2023 yang 1,20% (yoy).

“Itu artinya, apa yang kita kerjakan sudah baik dan benar, tinggal kita lanjutkan,” ujarnya.

Ketersediaan pangan yang mencukupi dan aman, berkaitan erat dengan harga pangan yang relatif stabil di harga wajar. 

“Itu artinya stok dan keseimbangan harga relatif masih terkendali," tuturnya ketika melakukan pengecekan stok dan harga komoditas pangan di Pasar Sederhana, Bandung, Jumat, (14/7). 

Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menguraikan, semua fenomena di seluruh tempat tak dimungkiri akan menyebabkan berbagai gangguan dalam rantai pasok pangan di Indonesia. Industri pangan pun sepakat untuk terus mengantisipasi dampak negatif sejak dini.

“Namun demikian, tidak perlu dikhawatirkan berlebih meskipun tetap waspada,” terang Adhi kepada Validnews, Sabtu (12/8). 

Hal ini bisa dilihat dari harga gandum di dunia hari ini yang sudah cukup jinak setelah berbagai penyesuaian, begitu juga karena situasi supply-demand yang semakin seimbang. Kondisi ini berkebalikan saat harga komoditas ini terkena shock begitu hebat saat perang Rusia-Ukraina meledak di awal 2022.

Sebagai konteks, harga gandum dunia sempat melonjak ke level US$1175,25/bushel pada 28 Februari 2022, namun per 14 Agustus 2023 harganya mulai meluncur turun di kisaran level US$608,57/bushel.

Lebih lanjut, Adhi meyakinkan, harga komoditas ini masih terhitung tak terlampau bergejolak tinggi, meski Rusia keluar dari Black Sea Grain Initiative. Indonesia sudah tidak tergantung berat pada impor gandum dari Rusia-Ukraina. 

Sejak 2022, Indonesia sudah tidak mengimpor gandum dari Rusia, sementara dari Ukraina hanya setara 1,8% dari total impor. Sebelumnya, pada 2021, impor gandum Indonesia dari Ukraina-Rusia bisa mencapai 26,8%.  

“Yang tetap harus diwaspadai dampak tidak langsung. (Seperti) saat penghentian pasokan dari suatu negara, tetap akan mempengaruhi harga dunia,” sambungnya.

GAPMMI memprediksi, El-Nino akan berdampak besar pada komoditas beras. Karenanya, ia menganjurkan pemerintah untuk menyiapkan ketersediaan beras.  

Kebijakan Pangan Belum Pas
Dari sudut pandang kebijakan, pengamat pertanian di CORE Indonesia Eliza Mardian menilai, hingga kini orientasi kebijakan pangan Nusantara masih cenderung berkisar di sisi ketahanan pangan. 

Bukan swasembada pangan, dengan mengoptimalkan pangan produksi dalam negeri, termasuk mengembangkan pangan lokal.

Paling kentara, ini bisa terlihat dalam program pangan pemerintah yang masih berfokus pada komoditas pangan strategis. Proyek lumbung pangan atau food estate juga masih terpusat ke komoditas strategis seperti beras, bukan pangan lokal. 

“Jika pun pangan lokal seperti singkong, itu ditanam di tempat keliru yang enggak sesuai agroklimatnya,” ungkapnya kepada Validnews, Jumat (11/8).

Dia menguraikan, anggaran ketahanan pangan di APBN TA 2023 mencapai Rp104,19 triliun dengan sejumlah target output strategis. Seperti kawasan Padi/Fasilitas Penerapan Budidaya Padi seluas 229.800 Ha; kawasan Jagung/Fasilitas Penerapan Budidaya Jagung 40.000 Ha; (3) kawasan Kedelai/Fasilitas Penerapan Budidaya Kedelai 150.000 Ha; (4) kawasan Bawang Merah 5.000 Ha.

“Jadi memang kebijakan saat ini belum bisa mendukung kemandirian pangan. Dari pemerintahnya sendiri, anggaran (pangan) fokusnya ke pangan strategis, belum begitu banyak untuk pengembangan pangan lokal,” tegasnya.

Pada gilirannya, orientasi kebijakan ketahanan pangan yang tidak menyoal dari mana pangan itu berasal, membuat diversifikasi pangan nasional Indonesia malah beralih ke komoditas gandum. 

Menurutnya, produksi beras nasional tiga tahun belakangan relatif stagnan-menurun jika dibandingkan kondisi pada 2018. Beruntungnya Indonesia tidak mengalami chaos pangan. 

Dibanding produk olahan pangan lokal, produk pangan olahan gandum memiliki keunggulan pada penyajiannya yang lebih cepat dan mudah ditemukan. Ini menjadi salah satu alasan orang beralih ke gandum.

Diversifikasi Pangan
Ini bukan tak diamati pemerintah. Karenanya, mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum telah mulai dipikirkan. Setidaknya, sudah ada roadmap diversifikasi pangan 2020-2024, untuk meningkatkan produksi sumber karbohidrat selain beras. 

Namun, ditanya soal realisasi roadmap diversifikasi pangan 2020-2024, Arief belum bisa memberikan angka pasti. Diakui Arief, upaya penganekaragaman pangan masih memiliki tantangan cukup besar untuk bisa diterapkan maksimal di Indonesia. 

Pada dasarnya, masyarakat hari ini sudah cukup gandrung dengan penganan berbahan dasar gandum, karena terdorong dengan perubahan pola makan kekinian maupun pengaruh globalisasi. 

Idealnya, Arief sepakat bahwa pangan Indonesia mesti diupayakan berasal dari dalam negeri. Untuk menggapai cita-cita mandiri pangan, ketahanan dan kedaulatan pangan perlu dipenuhi produsen dalam negeri.

“Tapi karena globalisasi, agak susah dibendung (pola pangan gandum),” katanya.

Sasaran ini dituju dari  kampanye konsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA). Pemerintah menekankan, kenyang tidak harus dengan nasi, fungsi karbohidrat serupa bisa ditemui di kentang, talas, sorgum, ubi, hingga singkong.

Adhi pun mengamini, diversifikasi berperan sangat penting dalam roda pangan Indonesia, terutama agar tidak bergantung penuh dari satu jenis bahan baku saja. Industri mamin mengidentifikasi produk jenis tepung-tepungan mempunyai banyak alternatif, meski tantangannya juga disinyalir cukup besar. 

Di sisi lain, alternatif juga mesti dapat memberikan harga kompetitif kepada penggunanya. 

Sementara itu, Eliza menyebutkan diversifikasi pangan bisa dilakukan menggunakan tanaman jali atau hanjeli untuk mengganti beras yang potensi kandungan gizinya cukup setara. Saat ini varietas hanjeli sudah cukup berkembang, bisa dipanen cepat, dan cita rasanya mirip seperti ketan.

Meski diakui, realitanya tanaman dengan jenis buah lunak dan memiliki tekstur kenyal ini pamornya masih kalah dengan gandum di pasaran.  

Selain hanjeli, Indonesia juga bisa memanfaatkan sorgum yang merupakan jenis tanaman rumput-rumputan yang masih berkerabat dekat dengan padi dan jagung.

Eliza juga menyebut, tanaman jali dan sorgum juga cukup solid atau tahan menghadapi perubahan iklim yang semakin panas di Indonesia. 

Selain kedua biji-bijian tersebut, Eliza juga merasa Indonesia bisa melirik komoditas porang sebagai upaya mendivesifikasi pangannya. Apalagi produk olahan komoditas ini seperti mi shirataki dan beras instan sudah lebih dikenal masyarakat dan mudah dibeli di pasar. 

“Mi shirataki mudah ditemukan di supermarket. Selain itu, influencer juga berperan (mendorong konsumsi) mi shirataki, sehingga menjadi pengganti mi yang terbuat dari gandum,” sebutnya.

Butuh Terobosan Pertanian dan Hilirisasi
Soal dunia yang makin mendidih akibat perubahan iklim ke depan, Arief pun mendorong Kementan sebagai kementerian teknis untuk melakukan serangkaian terobosan pertanian. Pencapaiannya dapat dilakukan via penelitian-riset menggandeng BRIN serta stakeholders litbang lainnya. 

Mulai dari teknis pertanian hingga pemuliaan varietas tanaman yang tahan iklim ekstrem dan mitigasi setiap waktu.  

Kekhawatiran akan pangan juga terlihat dalam agenda United Nation Food Systems Summit (UNFSS) di Roma. Arief menggarisbawahi, semua negara serempak mengalami tantangan iklim, kekurangan air, diversifikasi pangan, hingga food loss-waste.

Meski begitu, beberapa negara pun Arief akui ingin belajar dari Indonesia karena torehan deflasi di tengah tantangan pertanian global. 

Pemerintah juga begitu bersyukur kecukupan pangan di dalam negeri masih tergolong normal keberadaannya.

“Mau makan nasi ada, telur ada, ayam ada, dan tidak sulit. Nah kita akan terus pertahankan itu, jadi mandiri dan daulat pangan itu kita harus benar-benar melakukan inovasi,” tukasnya.

Tak kalah penting, pemerintah juga menggandeng dunia usaha untuk menyukseskan hilirisasi pangan di Indonesia serta men-support upaya R&D yang dilakukan.

“Jadi (hilirisasi pangan) swasta jalan, BUMN jalan, Kementerian/Lembaga juga jalan,” harap Arief.

Eliza menanggapi ini, dengan menyerukan agar pemerintah harus berkeras mendorong pengembangan industri olahan berbagai pangan lokal yang bisa diproduksi massal dengan harga terjangkau. Pasalnya, dibandingkan beras, harga olahan seperti porang menjadi mi atau nasi saja masih cukup mahal. 

Logis jika masyarakat akan terus kembali memilih beras sebagai pangan utamanya karena harga. Pantauan Validnews, harga mi sirataki kering ukuran 250 gram dan beras porang 1 kg, masing-masing bisa dijual Rp38 ribu dan Rp198 ribu di marketplace. 

Sementara NFA mencatat, per 15 Agustus, beras dengan kualitas paling tinggi/premium di pedagang eceran rata-rata harga jual nasionalnya berkisar Rp13.820/kg. Bahkan kalau mau ditarik harga rata-ratanya di Agustus 2023, harga beras premium eceran di Indonesia dibanderol Rp12.310/kg.

“Semakin banyak pelaku usaha yang terus berinovasi, maka akan tercipta persaingan harga yang sehat, sehingga masyarakat akan diuntungkan dengan hal tersebut,” urai Eliza.

Pastikan Pasar
Yang tak bisa dilupakan adalah membuat pengusaha bergairah memproduksi olahan pangan lokal lewat jaminan pasar. Upaya itu bisa dimulai dari program posyandu PMT (Pemberian Makan Tambahan) yang didominasi pangan lokal.

Dalam skala mikro, sebenarnya inovasi olahan pangan lokal ini bukannya belum dilakukan di tingkat daerah. Biasanya, kaum ibu Pembinaan Kesejahteraan keluarga (PKK) begitu kreatif membalut inovasi pangan lokal di banyak kegiatan kewargaan.

Sayangnya, inovasi tersebut berakhir di perlombaan saja, tidak diproduksi dalam bentuk konsumsi keseharian.

Kalangan pengusaha di GAPMMI juga menyebut, industri pangan hilir bisa menerima komoditas porang, asalkan bisa diolah lebih lanjut dan memenuhi sesuai dengan karakteristik produk. 

Hari ini, sudah jamak produk turunan (derivative product) porang sebagai bagian dari penggunaan bahan baku lokal. 

“Namun memang harus dipastikan keberlanjutan di hulunya, tidak sesaat saja,” sebut Adhi.

Pelaku usaha juga mengingatkan, tak dapat menerima hilirisasi ini secara sporadis dan sesaat saja, sehingga skala bisnisnya bisa terus bersaing dengan sumber tepung lainnya. 

Terhadap centang perenang persoalan pangan, narasumber ini sepakat bahwa harus ada strategi jangka panjang. Kunci diversifikasi di industri pangan adalah terus berinovasi mencari sumber bahan baku dan reformulasi kerja sama.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar