c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

12 Agustus 2025

20:30 WIB

Siasat Mal Hadapi Serbuan Duet Rohana Dan Rojali

Duet Rohana-Rojali menjelma sebagai fenomena baru kunjungan mal di tengah kondisi pelemahan daya beli. Bukan buat belanja, mereka hanya datang untuk nanya dan lihat produk saja.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="ltr" id="isPasted">Siasat Mal Hadapi Serbuan Duet Rohana Dan Rojali</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Siasat Mal Hadapi Serbuan Duet Rohana Dan Rojali</p>

Pengunjung melihat produk mainan (Pop mart) di Central Park Mal, Jakarta, Senin (11/8). Validnews.ID/Hasta Adhistra.

JAKARTA - Brillian (29) sering melipir ke berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta. Tak selalu dengan niat berbelanja, dia justru lebih kerap datang hanya untuk melihat baju atau sepatu terbaru alias window shopping. Kadang juga dia mampir untuk sekadar makan siang dan kumpul bersama rekan kerja sambil menikmati secangkir minuman kekinian.

"Ke mal biasa buat hangout atau cuma buat ketemu teman. Jarang banget buat belanja," kata lelaki yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu kepada Validnews, Jakarta, Minggu (10/8).

Baca Juga: Ramai Fenomena Rojali-Rohana, OJK: Jadi Hal Wajar

Selain Brillian, Awita (30) juga kerap mengunjungi pusat belanja untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sambil cuci mata menengok pernak-pernik lucu. Menurutnya, kegiatan melihat warna-warni barang di mal termasuk healing, tanpa perlu belanja sama sekali.

"Cuma lihat, beli enggak. Uangnya mending ditabung," ungkap ibu rumah tangga ini kepada Validnews, Minggu (10/8).

Sebagai seorang pemilih ketika membeli barang, Awita tak segan menunda pembelian mainan ketika harganya tak sesuai budget dan memberi pengertian kepada anaknya. Hal serupa juga dilakukan ketika membeli sepatu anak di sebuah outlet di pusat perbelanjaan, menanyakan stok dan ukuran, lalu membandingkan dengan e-commerce. Dia akan membeli jika harga untuk produk sama di lokapasar bisa lebih murah karena promo, selisih uangnya ditabung.

"Kemarin aku cobain beli sepatu online. Enggak pakai antre, tetep dapat buy 1, get 1," terang Awita.

Selain belanja, dirinya juga mendatangi mal untuk olahraga pound fit yang diadakan rutin dan langsung pulang setelahnya. 

"Enggak mau jajan, karena sekali jajan bisa habis minimal Rp50 ribu. Cukup bawa minum di tumbler," ungkapnya.

Barangkali, Brillian dan Awita jadi contoh kecil dari sekian banyak rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya tanya (Rohana) yang menyerbu pusat perbelanjaan di Indonesia saat ini.

Memahami Rojali dan Rohana
Merebaknya Rojali dan Rohana hari ini seiring dengan maraknya PHK, sulitnya mencari lapangan kerja, dan ketidakseimbangan antara kenaikan gaji dan harga kebutuhan pokok. Namun demikian, fenomena ini bukan tren baru yang tiba-tiba muncul di mal.

Pengamat Bisnis Kafi Kurnia menjelaskan, Rojali dan Rohana merupakan fenomena yang aji mumpung beken lagi belakangan karena persepsi ekonomi. Fenomena ini hanya peralihan pola belanja masyarakat menjadi online.

Untuk Rohana, kebiasaan ini sudah terbentuk jauh sebelum masyarakat masif belanja digital, yakni survei harga barang langsung di mal tanpa intensi untuk beli. 

"Kalau Rojali... (Kegiatan) shopping mall kan memang menjadi (pengalaman) hiburan, karena waktu itu belum banyak mal. Ke Sarinah untuk apa? Untuk menikmati AC dan menikmati eskalator," ucap Kafi kepada Validnews, Sabtu (9/8).

Ketua Umum Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyampaikan senada. Ini bukan hal baru. Fenomena ini disebabkan perubahan fungsi pusat perbelanjaan hari ini yang lebih dari sekadar tempat belanja, namun pendidikan atau edukasi, sosial, hiburan, dan lain sebagainya.

Bahkan, dia mengakui, bahwa Rojali dan Rohana pada dasarnya selalu terjadi setiap saat. Kendati, intensitas atau jumlahnya tidak selalu sama sepanjang waktu dan sangat tergantung berbagai faktor. Adapun saat ini disebabkan faktor daya beli masyarakat yang lesu dan belum pulih, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.

"Akhir-akhir ini memang intensitasnya meningkat dikarenakan pengaruh daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah yang masih belum pulih dan adanya tambahan low season sehubungan Ramadan dan Idulfitri yang datang lebih awal," jelas Alphonzus kepada Validnews, Sabtu (9/8).

Baca Juga: Istana Jadikan Rohana-Rojali Sebagai Lecutan Benahi Ekonomi

APPBI bersyukur, melesunya daya beli tidak mengurangi minat masyarakat mampir ke mal. Walaupun takaran kemampuan beli konsumen menengah-bawah hanya cukup untuk barang atau produk yang harga satuannya rendah atau murah. Balik lagi, karena pegangan uang makin sedikit.

Pengunjung melihat produk fesyen di Central Park Mal, Jakarta, Senin (11/8). Validnews.ID/Hasta Adhistra.Masyarakat juga terpaksa mengurangi dan mengutamakan belanja untuk hal-hal penting dan utama. Sehingga pengeluaran belanja keperluan sekunder relatif berkurang. Di sisi lain, dirinya juga cukup lega karena Rojali-Rohana tak menjangkiti kelas menengah-atas karena faktor daya beli yang relatif lebih stabil. Alphonzus optimistis, pelemahan daya beli ini tidak akan berlangsung selamanya dan berangsur membaik seiring waktu.

Menurut data BPS, terjadi penurunan signifikan pada jumlah penduduk kelas menengah sebanyak 9,48 juta orang, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Penurunan ini diiringi oleh bertambahnya jumlah penduduk yang masuk dalam kategori kelompok antara kelas menengah dan rentan miskin (aspiring middle class) yang kini mencapai 137,5 juta orang atau 49,22% dari total penduduk Indonesia.

Berkembangnya Fungsi Mal
Alphonzus menerangkan, pusat belanja yang berlokasi di kota-kota besar sudah sejak lama punya variasi fungsi di luar belanja dan sengaja diarahkan begitu. Pasalnya, pusat perbelanjaan yang hanya mengedepankan belanja akan langsung berkompetisi dengan toko daring yang punya fungsi sama.

Lanskap pusat belanja juga makin berubah dengan kehadiran covid-19. Karenanya, kegiatan di mal sempat riuh kembali dengan interaksi sosial setelah pemerintah mencabut kebijakan PPKM di Indonesia.

"Nah, salah satu fasilitas publik untuk masyarakat melakukan interaksi sosial tersebut adalah pusat perbelanjaan. Jadi, pusat perbelanjaan yang tidak memiliki ataupun tidak mampu menyediakan fasilitas tersebut, tidak akan dipilih dan akan ditinggalkan oleh para pelanggannya," tegasnya.

Alphonzus menilai, pusat perbelanjaan harus dapat memiliki dan menyediakan tempat maupun fasilitas untuk meningkatkan journey dan experience kepada pelanggan. Adapun salah satu customer experience ataupun customer journey dapat diciptakan dari konsep gedung dan tenant campuran (mix).

"Tempat hiburan, rekreasi, taman bermain, oceanarium, sports dan lainnya adalah salah satu wujud dari upaya menciptakan customer experience ataupun customer journey dari sisi tenant mix," katanya.

Secara tidak langsung, Alphonzus menyampaikan, evolusi fungsi mal berlangsung karena keberadaan jumlah maupun kualitas fasilitas publik yang belum memadai di Indonesia. Secara keseluruhan, Alphonzus mengungkapkan bahwa jumlah pengunjung pusat perbelanjaan selama Januari-Juli 2025 di tengah ramainya fenomena Rojali dan Rohana masih meningkat 10% dibanding tahun sebelumnya.

Berdasarkan data 400 pusat perbelanjaan naungan APBBI, rata-rata kunjungan lebih dari 50 ribu orang per hari di setiap pusat perbelanjaan. Jika ditotal, jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan se-Indonesia berdasarkan hitungannya mencapai sekitar 20 jutaan orang per hari.

Namun, torehan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan itu masih berada di bawah target yang ditetapkan di tahun ini. APPBI sebelumnya menargetkan pertumbuhan kunjungan pusat perbelanjaan bisa mencapai 20-30% per tahun.

Dengan demikian, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan pada 2025 diprediksi hanya akan meningkat single digit dibandingkan dengan 2024 lalu.

"Rata-rata tingkat kunjungan dan penjualan pada tahun 2025 ini diprediksi akan tetap tumbuh dibandingkan dengan tahun lalu, meskipun tidak akan signifikan. Tingkat pertumbuhannya diprediksi hanya single digit saja atau dengan kata lain kurang dari 10%," urainya.

Soal variasi fungsi, Kafi mengatakan, tidak semua mal dapat menawarkan seabrek fasilitas yang serupa demi menambah jumlah pengunjung. Penyesuaian itu tergantung kepada lokasi, segmen, dan variasi. 

"Sekarang kan banyak mal melakukan promosi, terutama di weekend, untuk bazar murah. Kenapa? Karena kalau trafiknya enggak naik, dia dikomplain sama tenant. Makanya mal memberikan hadiah, misal kalau belanja di mal, ada kuponnya, nanti diundi, dapat mobil atau apa," terang Kafi.

Baca Juga: Di Ambang Kemunculan Kelas Menengah Baru

Dibanding menawarkan banyak fungsi, menurutnya, sebuah pusat perbelanjaan lebih baik memoles lokasi setidaknya lima tahun sekali agar lebih menarik pengunjung. Pasalnya, masyarakat saat ini menggandrungi tempat estetik dan terlihat menarik untuk diunggah ke media sosial atau Instagramable.

"Lima tahun sekali harus ada touch-up lah, harus ada pembetulan. Makanya, sangat penting misalnya, mal itu bisa buat selfie, Instagramable. Supaya orang datang ke mal, bukan hanya makan, bukan hanya ngadem, tapi juga bisa foto," katanya.

Pengunjung melihat produk fesyen di Central Park Mal, Jakarta, Senin (11/8). Validnews.ID/Hasta Adhistra.Kafi juga turut berpesan, idealnya event seperti bazar, festival kuliner yang ada pada pusat perbelanjaan dapat terus mengganti tema menarik per dua minggu dengan tenant top.

"Kayak misalnya festival bakmi yang terkenal, itu kan menghadirkan tenant-tenant terkenal. Kalau yang hadir itu tenant yang enggak terkenal, orang juga enggak akan mau," ungkap dia.

Selain festival kuliner dan bazar, Kafi pun turut menyoroti bahwa konser musik yang ada pada pusat perbelanjaan masih sangat menarik pengunjung. Salah satu konser musik ini dapat ditemui di kawasan Avenue of The Stars yang berlokasi di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan, di mana konsernya diadakan seminggu sekali.

Kafi menegaskan bahwa pusat perbelanjaan sebagai social hub atau menjadi pusat untuk bersosialisasi. Oleh karena itu, beberapa pusat perbelanjaan saat ini telah mengizinkan para pengunjung untuk membawa binatang peliharaan. Selain itu, pusat perbelanjaan juga kerap kali untuk menjadi tempat kumpul bagi dari berbagai komunitas.

Strategi Ritel Hadapi Rojali dan Rohana
Menyorot fenomena itu, CEO Erajaya Digital Joy Wahjudi mengatakan, Rojali dan Rohana merupakan bagian dari variasi perilaku belanja masyarakat. Kendati demikian, hal ini disebutnya tidak selalu mencerminkan tren keseluruhan penjualan, termasuk di gerai fisik. Karenanya, perusahaan terus memastikan setiap pengunjung mendapatkan pengalaman berbelanja yang baik saat melakukan pembelian segera atau di kemudian hari.

"Strategi mencakup penyelenggaraan promo tematik, program loyalitas, peluncuran produk eksklusif, serta peningkatan layanan purna jual dan pengalaman berbelanja di toko," kata Joy kepada Validnews, Jumat (8/8).

Erajaya menjalankan program promosi dan pemasaran secara rutin dan terencana dalam bentuk kampanye musiman seperti Lebaran, Back to School, Harbolnas, dan lainnya. Kemudian, peluncuran produk baru, hingga inisiatif mingguan di tingkat gerai.

Pengunjung melihat produk fesyen di Central Park Mal, Jakarta, Senin (11/8). Validnews.ID/Hasta Adhistra.Strategi itu disesuaikan dengan dinamika pasar serta perilaku konsumen di masing-masing wilayah operasional. Pihaknya juga mengevaluasi berkala upaya ini untuk memastikan efektivitas dan kesesuaian dengan kebutuhan pasar, yang hasilnya akan menjadi dasar pengembangan program berikutnya.

Baca Juga: APPBI Bersyukur PPN Tak Jadi Naik Di Tengah Low Season Panjang 2025

Selain mengoptimalkan gerai fisik, Erajaya Digital juga memanfaatkan kanal penjualan online melalui platform e-commerce dan omnichannel, seperti erafone.com, iBox.co.id, dan Eraspace. 

"Pendekatan ini memungkinkan pelanggan bertransaksi dengan fleksibel sesuai preferensi mereka, sekaligus menjaga kinerja penjualan secara keseluruhan," ucapnya.

Sepanjang semester I/2025, PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp568,29 miliar, atau naik 8,54% dari Rp523,57 miliar pada periode yang sama tahun lalu.  Peningkatan laba ini didorong oleh kenaikan penjualan sebesar 5,82% dibanding periode sama tahun lalu menjadi Rp35,04 triliun.

Meski kinerja penjualan utama berupa telepon selular dan tablet menurun 3,94% (yoy) menjadi Rp53,01 triliun, penjualan segmen lain menopang pendapatan. Seperti, penjualan aksesoris dan lainnya yang naik 51,12% (yoy) menjadi Rp8,98 triliun; lalu produk operator yang naik 69,01% (yoy) menjadi Rp1,55 triliun; dan komputer dan peralatan elektronik naik 33,74% (yoy) menjadi Rp2,57 triliun.

Perlu Dukungan Pemerintah
Meski bukanlah fenomena baru, bertambahnya Rojali dan Rohana harus dimitigasi. Alphonzus menyampaikan, pemerintah perlu segera mengatasi pelemahan daya beli masyarakat yang sudah berlangsung cukup lama dan belum pulih, sejak 2024 sampai saat ini.

"Kondisi yang telah terjadi cukup lama ini tidak bisa lagi diatasi dengan berbagai strategi yang memerlukan waktu untuk mendapatkan efek ataupun dampak positifnya, tetapi harus dilakukan melalui berbagai strategi yang berdampak langsung ataupun berdampak serta merta terhadap peningkatan daya beli masyarakat," tutur Alphonzus.

Sementara itu, Kafi mengatakan, dirinya dahulu pernah meminta kepada pemerintah agar menyurvei berapa banyak jumlah kebutuhan pusat perbelanjaan. Adapun, pusat perbelanjaan terbagi menjadi kelas atas, menengah, dan bawah.

Baca Juga: Asa Industri Ritel Di Tengah Melempemnya Daya Beli

Kafi melanjutkan, saat ini banyak mal, terutama di kelas menengah ke bawah, yang menempatkan porsi besar pada restoran dan area makanan. Hal ini secara tidak langsung dimanfaatkan pengunjung yang datang untuk sekadar makan atau mencari hiburan, bukan berbelanja.

"Kebanyakan mal itu kan semuanya lebih banyak restoran, tempat makan. Apa dia punya food hall-nya besar banget... Dia datang ya enggak belanja. Dia cuma makan, senang-senang," katanya.

Secara keseluruhan, Kafi menilai fenomena Rojali dan Rohana tidak akan cepat selesai. Oleh karena itu, pengelola mal perlu lebih kreatif dalam menciptakan daya tarik. "Contohnya, ada mal yang membuat festival burger. Kemudian mereka meng-hire influencer top. Mereka mengadakan pasar untuk pet, pasar makanan tapi makanannya spesifik," paparnya.

Menurutnya, pengelola mal harus mulai mengadakan acara-acara tematik dan mengembangkan kreativitas agar bisa bersaing dan menarik minat pengunjung.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar