11 November 2025
21:00 WIB
Dilema Energi Listrik Dari Sampah
Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) jadi senjata pemerintah untuk kelola sampah. Namun, akankah PT PLN dikorbankan untuk menyerap listrik dengan harga yang tinggi dari PLTSa?
Penulis: Yoseph Krishna, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Foto udara antrean truk di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi Jawa Barat, Rabu (15/10/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
JAKARTA - Tumpukan sampah di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, terlihat seperti bukit. Bahkan, bisa juga kita sebut bak setinggi gunung.
Timbulan sampah itu bukan hanya disumbang dari Kota Patriot atau kota Bekasi. Sampah menggunung itu juga berasal dari DKI Jakarta sejak pertama dioperasikan di Januari 1986 lalu, alias hampir sudah 30 tahun beroperasi.
Jangan heran juga jika bau tak sedap sudah terendus berkilo-kilometer radius dari Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Bagi akamsi alias warga sekitar, aroma itu mungkin sudah lazim mewarnai beragam kegiatan sehari-hari.
Namun, tentu tidak demikian bagi masyarakat luar yang sesekali melewati Bantargebang. Tak berkurangnya sampah di Bantargebang, jadi bukti nyata betapa daruratnya permasalahan sampah di Indonesia.
Berangkat dari hal ini, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Perpres 109/2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Regulasi itu jadi payung hukum atas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau yang kini dijenamakan Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) atau Waste to Energy (WtE).
Program ini dibesut bukan hanya sebagai solusi masalah sampah. Di saat yang sama, program ini juga jadi solusi memenuhi kebutuhan energi.
Baca Juga: Danantara: Target Groundbreaking Proyek Waste to Energy Di Kuartal II/2026
Kepala Negara nampak sangat serius menjalankan proyek itu. Sebagai bukti keseriusan, ada banyak kementerian/lembaga yang 'dipaksa' terlibat. Mulai dari Kemenko Bidang Pangan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), hingga PT PLN, ikut serta.
Bahkan, Kementerian Dalam Negeri juga diminta terlibat untuk mengatur pemerintah daerah pada proyek itu karena bakal ditugaskan mendistribusikan sampah ke fasilitas PLTSa. Kemenko Pangan, Kementerian LH, Kemendagri, sampai Kementerian ESDM langsung gerak cepat mengevaluasi dan verifikasi lapangan untuk melihat kesiapan pemda.
PSEL, PLTSa, WtE, atau apapun itu namanya, dinilai pemerintah sebagai solusi strategis dan jitu atas permasalahan sampah yang sudah makin mengkhawatirkan. Upaya revolusioner ini dijajaki Indonesia, berkaca dari kesuksesan pengaturan sampah mulai dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, China, dan Singapura.
Pemulung memilah sampah plastik di Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah Talumelito di Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (30/6/2025). Antara Foto/Adiwinata SolihinPemerintah juga sudah menyebutkan bahwa program ini akan dihelat di banyak provinsi. Banyak pihak optimistis menyambutnya, tetapi di sisi lain banyak juga yang tampak ragu. Apakah program ini benar-benar bisa jadi solusi mantap atas persoalan sampah? Lalu, bagaimana pemerintah melaksanakan program 'penyulapan' sampah menjadi sumber setrum ini nantinya? Apakah harga listrik akan lebih murah dengan energi dari sampah?
Ya, rangkaian pertanyaan di atas, ada di benak warga, baik yang skeptis ataupun yang memang belum tahu banyak soal proyek ini.
Tujuh Titik Awal PLTSa
Pemerintah pun sudah menjelaskan. Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan, Nani Hendiarti mengatakan, dari Rapat Koordinasi Tingkat Menteri, telah ditetapkan lokasi yang dianggap siap menjalankan proyek PLTSa, yakni Bogor Raya; Denpasar dan Badung; Yogyakarta Raya; Tangerang Raya; Semarang Raya; Bekasi Raya; serta Medan Raya.
PLN juga telah melaporkan langkah persiapan, termasuk Danantara yang sudah melakukan seleksi awal terhadap para pengembang teknologi.
"Saat ini, Danantara sedang melakukan kajian teknis dan keekonomian di masing-masing lokasi untuk selanjutnya melakukan pemilihan mitra pengembang," sebut Nani kepada Validnews, Jakarta, Senin (10/11).
Dari tujuh lokasi itu, Nani mengatakan ada dua titik yang telah siap, yakni Bali dan Bekasi. Sementara itu, yang lain disebutnya bakal segera menyusul.
Danantara Indonesia, jelas Nani, butuh sekitar dua bulan sejak Rakor Tingkat Menteri digelar pada 24 Oktober 2025 lalu itu untuk memproses dan memilih calon mitra pengelola PLTSa. Termasuk, mitra yang menyediakan teknologi pembakaran sampah.
Baca Juga: Danantara Indonesia Beberkan Kebutuhan Investasi Untuk PLTSa
Setidaknya, ada lima hal yang menjadi pertimbangan terpilihnya tujuh titik itu. Di antaranya, mulai dari besaran timbulan sampah dan kedaruratan; kesiapan lahan; komitmen kepala daerah dan kelembagaan; kelayakan teknis dan logistik; sampai signifikansi strategis dan citra nasional.
"Signifikansi dan citra nasional ini karena kawasan pariwisata utama dan pusat aktivitas ekonomi menuntut solusi cepat pengelolaan sampah," tambahnya.
Managing Director Investment Danantara Indonesia, Stefanus Ade Hadiwidjaja mengamini bahwa saat ini sudah ada tujuh lokasi prioritas yang menyatakan kesiapan serta tengah dalam proses verifikasi dan evaluasi untuk menjalankan PLTSa, melalui kajian kelayakan teknis dan keekonomian.
"Setiap proyek diverifikasi secara menyeluruh, dari ketersediaan lahan (bebas sengketa), akses air dan infrastruktur transportasi, serta dukungan APBD dan kesiapan armada pengangkut," kata Stefanus kepada Validnews, Senin (3/11).

Membasmi Sampah dengan Insinerator
Soal cara mengolah sampah menjadi energi, memang bukan hal yang baru. Pasalnya, pembakaran sejatinya juga bukan hal baru dalam upaya memberantas sampah.
Sejak dahulu, masyarakat Indonesia sudah terbiasa membakar sampah di halaman rumah, mulai dari dedaunan kering hingga sisa sampah dapur. Hingga akhirnya, kegiatan itu menimbulkan keresahan lingkungan.
Dari keresahan tersebut, muncul tren 'membakar tanpa asap', yakni dengan menimbun sampah di dalam tanah. Akan tetapi, tetap saja, ada dampak lingkungan dari tren tersebut.
Kini, di era modern, teknologi pembakaran sampah berkembang menjadi lebih terarah dan terkendali melalui adanya insinerator. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (PUSKEP UI), Ali Ahmudi Achyak menjelaskan, insinerator sederhananya merupakan teknologi membakar sampah.
Baca Juga: Danantara Umumkan 24 Perusahaan Mitra Waste to Energy
Prinsip dasarnya, mengubah sampah menjadi residu padat dan gas melalui proses pembakaran di dalam reaktor. Dia menjelaskan, ada dua jenis insinerator yang umum dikenal, yakni reaktor terbuka dan reaktor tertutup.
Pada insinerator dengan reaktor terbuka, sampah dibakar langsung dan menimbulkan asap. Jenis sampah yang dibakar juga sangat memengaruhi emisi yang dihasilkan.
"(Misal), kalau yang dibakar Ubi Cilembu, ya asapnya bau ubi. Tapi, kalau yang dibakar itu pampers bekas atau botol plastik, ya tentu baunya berbeda. Dari bau saja sudah terasa, apalagi kandungannya," terang Ali saat berbincang dengan Validnews, Selasa (11/11).
Seorang warga berjalan di dekat tumpukan sampah di Jalan Raya Jakarta Bogor, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/4/2025). AntaraFoto/Fathul Habib SholehAsap dari pembakaran terbuka ini mengandung berbagai gas berbahaya, seperti metana, karbon monoksida, dioksin, dan fluorine. Gas-gas tersebut muncul karena sampah yang dibakar sering kali bercampur antara bahan organik dan nonorganik yang mengandung zat kimia berbahaya.
Untuk mengatasi hal itu, berkembanglah insinerator dengan reaktor tertutup. Pada sistem ini, pembakaran dilakukan pada suhu tinggi, antara 400-700 derajat celsius, sehingga residu yang tersisa sangat sedikit, bisa di bawah 10% atau ada juga yang hanya tersisa 2,5%.
Proses pembakarannya juga dirancang agar gas buang tidak langsung dilepaskan ke udara, melainkan diolah atau diuraikan di dalam sistem reaktor itu. Dengan demikian, insinerator tertutup dinilai menjadi langkah modern untuk mengurangi timbunan sampah sekaligus meminimalkan pencemaran udara.
Namun, penerapan teknologi ini tetap membutuhkan pengawasan ketat, terutama bila digunakan untuk sampah campuran yang berpotensi menghasilkan zat kimia berbahaya.
Insinerator Untuk PLTSa
Dari teknologi insinerator, lahirlah konsep PLTSa yang menggabungkan proses pengolahan limbah dengan produksi energi. Prinsip dasar PLTSa sebenarnya mirip dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Di PLTU, bahan bakar, seperti batu bara, pelet, atau BBM, dibakar di dalam boiler untuk memanaskan air sehingga menghasilkan uap panas bertekanan tinggi sebagai penggerak turbin, yang pada gilirannya memutar generator dan menghasilkan listrik. Proses serupa juga bisa terjadi dalam PLTSa. Bedanya, bahan bakar yang digunakan bukan batu bara, melainkan sampah yang dibakar di dalam insinerator.
"Ketika sampah dibakar dengan suhu sangat tinggi, panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk dua hal, menggerakkan turbin secara langsung, atau memanaskan air seperti dalam sistem PLTU," jelas Ali.
Baca Juga: Wamen ESDM Jamin Gas Buang PLTSa Tidak Merusak Lingkungan
Secara teknis, ada dua pendekatan utama dalam pemanfaatan insinerator untuk PLTSa. Pertama, pembakaran langsung di ruang insinerator. Proses ini menghasilkan tekanan dan suhu tinggi dari proses pembakaran yang kemudian digunakan untuk langsung menggerakkan turbin, mirip dengan mekanisme Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
Kedua, pemanfaatan sampah sebagai bahan bakar tambahan (co-firing). Dalam proses ini, sampah berperan seperti batu bara untuk memanaskan boiler, menghasilkan uap yang kemudian memutar turbin.
Kedua sistem ini sama-sama mengandalkan energi panas hasil pembakaran untuk menghasilkan listrik, namun perbedaannya terletak pada cara konversi energi panas menjadi energi gerak. Dia pun menyorot pentingnya desain reaktor tertutup dalam sistem insinerator untuk mengurangi emisi gas buang.
"Kalau reaktornya tertutup, gas yang dibuang tidak terlalu banyak. Pasti ada (yang lepas terbuang), tapi bisa sangat direduksi. Karena gas itu dibakar ulang di dalam sistem sampai habis," ungkapnya.
Dengan teknologi ini, PLTSa tidak hanya berfungsi mengurangi volume sampah hingga jadi residu, tapi juga mampu mengubah sisa pembakaran menjadi sumber energi listrik. Namun, seperti halnya teknologi energi lain, penerapannya memerlukan pengawasan ketat agar emisi dan residu kimia tetap terkendali.
Stefanus menambahkan, insinerator terbukti menjadi teknologi pembakaran termal terkendali dan sebagai solusi dominan pada lebih dari 75% PLTSa dunia.
Karena itu, Danantara Indonesia memastikan PLTSa yang bakal dibangun di tanah air bakal menggunakan teknologi sama yang sudah terbukti ampuh di banyak negara. Desain fasilitas PLTSa pun dirancang tertutup, higienis, dan minim bau tak sedap. Area sekitar PLTSa nantinya juga dapat difungsikan sebagai ruang publik hijau.
"Kami ingin fasilitas WtE menjadi simbol tata kelola lingkungan yang modern, bersih, aman, dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar," tegas Stefanus.

Beban Baru PLN?
Soal harga, pemerintah mematok tarif listrik dari PLTSa sebesar US$20 sen atau sekitaran Rp3.320 per kilowatt hour (kWh); dengan asumsi kurs Rp16.000 per dollar Amerika. Meski demikian, angka ini masih berkali lipat jauh lebih tinggi dibanding listrik dari PLTU batu bara yang sangat murah berkisar US$4-7 sen atau Rp664-1.162/kwh dan masih menjadi andalan PLN.
Sebagai 'pemain tunggal' penyaluran listrik nasional, PLN pun diwajibkan untuk membeli listrik yang nantinya dihasilkan oleh PLTSa. Tak dapat dimungkiri, kewajiban ini bakal menjadi beban tambahan untuk perusahaan pelat merah tersebut.
Masalah muncul karena harga listrik yang dihasilkan dari PLTSa jauh di atas kemampuan beli PLN. Ali menjelaskan, struktur kelistrikan nasional masih sangat bergantung pada batu bara, yang menyumbang sekitar 57% pembangkit listrik di PLN. Harga listrik PLN pun dipatok dengan dasar biaya batubara, yang jauh lebih murah.
"Kalau harga batu bara masih sekitar Rp800.000 per ton, sementara harga biomassa Rp1,2 juta saja sudah megap-megap," sebut Ali membandingkan.
Perdebatan soal harga jual listrik dari sumber energi terbarukan berkali mengemuka. Ali mengingatkan, hal serupa sempat terjadi beberapa waktu lalu pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Saat itu, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) meminta US$12 sen/kWh, tetapi PLN hanya mampu membeli US$6 sen/kWh yang pada akhirnya menemui titik tengah US$8-9 sen/kWh. Dengan tarif listrik dari PLTSa yang dipatok sebesar US$20 sen/kWh, PLN ditaksir bakal merasa terbebani karena angka harganya itu jauh berada di atas kemampuan perusahaan.
"Pertanyaannya, mampukah PLN membeli listrik semahal itu? Kalaupun dipaksa, PLN mau jual ke masyarakat berapa? Jangan-jangan masalah sampah selesai, tapi harga listrik naik dan masyarakat yang kena getahnya," tekan Ali.
Baca Juga: Bos Danantara: PLN Bakal Dapat Subsidi Untuk Serap Listrik Dari PLTSa
Oleh karena itu, Akademisi dari Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan pemerintah harus hadir membantu PLN lewat skema subsidi atau kompensasi jika memang serius ingin menggarap proyek PLTSa. Dia mengimbau, jangan sampai PLN sebagai perusahaan milik negara yang berperan melayani kebutuhan setrum nasional dipaksa menanggung selisih harga listrik dari energi terbarukan tanpa dukungan fiskal negara.
"Gunakan dong skema subsidi, skema kompensasi. Ini komitmen pemerintah. Jangan paksa PLN sebagai entitas bisnis yang harus cari untung, tapi juga disuruh melayani masyarakat dengan harga sosial," ujarnya.
Ali menilai langkah ini penting agar transisi energi RI menuju sumber yang lebih ramah lingkungan tidak menjadi beban bagi PLN maupun masyarakat. Lagi, dia mencontohkan kebijakan BBM Satu Harga membuat Pertamina harus menanggung beban besar karena menjual bahan bakar di bawah harga keekonomian. Hal serupa jangan sampai terulang pada PLN.
"Kalau pemerintah memang konsisten ingin mendorong PLTSa, biarkan PLN membeli listrik pada harga dasar yang mampu dibayar, misalnya US$12 sen per kWh. Selisihnya dibayar pemerintah melalui subsidi. PLN mendistribusikan listriknya, tapi negara menanggung selisih biayanya, itu yang bijaksana," paparnya.
Manfaat Ekonomi PSEL
Meski masih ada perdebatan soal tarif listrik yang terlalu tinggi dan berpotensi bikin PLN boncos, pemerintah terus berkelit di balik narasi manfaat ekonomi dan sosial dari proyek PSEL.
Kemenko Pangan mengklaim, PLTSa skala kawasan metropolitan salah satunya bisa menciptakan potensi lapangan kerja langsung dari operasi fasilitas, maintenance, laboratorium, logistik, serta administrasi.
Sejumlah pemulung memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Medan, Sumatera Utara, Selasa (8/4/2025). AntaraFoto/Yudi ManarNani mengatakan, terdapat juga potensi penciptaan lapangan kerja tidak langsung dalam bentuk rantai pasok, pengangkutan, jasa pendukung, serta sektor informal yang terintegrasi.
"Karena skemanya menggunakan pendekatan multilokasi dengan investasi besar dan masa operasi jangka panjang, potensi serapan tenaga kerja dinilai signifikan, namun angka resmi masih dalam proses pemodelan bersama Danantara, K/L teknis, dan pemerintah daerah, agar berbasis desain kapasitas tiap PSEL dan skema kerja sama yang disepakati," jabar Nani.
Baca Juga: Prabowo Target 2 Tahun Bangun Fasilitas Pengolah Sampah Jadi Listrik
Dia juga menyebut, investasi yang cukup besar bakal mendorong perbaikan tata kelola persampahan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Jadi, pembangunan dan operasional PLTSa ke depan bakal menumbuhkan green jobs dan multiplier effect bagi perekonomian daerah.
Stefanus juga menaksir, setiap proyek PSEL bisa membuka 3.500-4.500 lapangan pekerjaan langsung dan tidak langsung pada saat pembangunan. Kemudian saat operasi, PLTSa digadang-gadang dapat menciptakan 270-330 pekerjaan langsung maupun tidak langsung.
Di samping lapangan kerja, terdapat pula potensi penambahan kapasitas energi terbarukan dari total bauran listrik nasional, serta mendorong investasi hijau di tanah air.
Dari sisi sosial dan lingkungan, proyek PSEL diharapkan bisa menekan emisi gas rumah kaca 50-80% dibanding metode Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang selama ini berlangsung. Timbunan sampah di TPA pun dia yakini bisa berkurang drastis hingga 90%.
"Juga termasuk meningkatkan kualitas udara dan kesehatan masyarakat, serta menjadi proyek percontohan bagi kota hijau dan berkelanjutan di Indonesia," tandas Stefanus.