c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

24 Mei 2023

20:58 WIB

Nurida Rahmanilah: Merajut Mimpi Anak Pemulung

Perjalanan panjang Nurida dalam bertahan hidup membawanya kepada pentingnya pendidikan. Dia pun mendirikan Saung Baca Garpu untuk anak-anak yang tak mampu

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rendi Widodo

Nurida Rahmanilah: Merajut Mimpi Anak Pemulung
Nurida Rahmanilah: Merajut Mimpi Anak Pemulung
Nuridah Rahmanilah pendiri Saung Baca Garpu berpose dengan murid-murid di Duren Sawit, Jakarta Timur , Kamis (4/5/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Riuh rendah suara bocah terdengar dari sebuah bedeng berukuran 3x4 meter yang terletak di sebuah permukiman kumuh. Halaman bedeng tersebut, langsung mengarah ke tempat pemakaman umum (TPU) di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Tidak terdengar jelas, apa yang keluar dari mulut-mulut kecil tersebut. Suaranya bersahut-sahutan.

Perlahan suara anak-anak itu tergantikan dengan bunyi air hujan yang turun menimpa atap seng yang menutupi bangunan tersebut. Nyaring, berisik, menutupi suara-suara lainnya.  

Saat hujan turun makin deras, beberapa anak berlarian keluar dari bedeng menenteng kertas dan tas di bahu menuju rumah masing-masing yang tak jauh dari bedeng. Sisanya memilih tetap di dalam bedeng untuk meneduh, sekalipun beberapa titik bocor sehingga membasahi terpal yang menjadi alas duduk mereka.

Beberapa anak yang tetap di bedeng, umumnya berusia lebih tua dari anak-anak lainnya. Mereka patuh mengikuti arahan si pengajar sekaligus pendiri Saung Baca Garpu (Gabungan Remaja Peduli) Nurida Rahmanilah untuk merapikan alas terpal, agar tidak semakin basah terkena air hujan.

Satu dua anak terakhir menyelesaikan tugas belajarnya untuk dinilai Nurida. Mereka kemudian berhambur keluar bedeng, sebelum hujan tambah deras sehingga mereka harus terperangkap lebih lama di dalam bedeng.

Nurida kemudian merapikan setumpuk kertas dan buku pembelajaran murid-muridnya, sambil diselingi tawa dan candaan dari anak-anak yang masih tersisa. Lepas tawa terakhir, Nurida menatap anak-anak perempuan belasan tahun yang duduk di dekatnya, seraya bertanya pertanyaan yang acapkali dilontarkannya.

"Kalian, cita-cita mau jadi apa?" Terdiam, kelima anak itu saling melempar pandang bingung mencari jawaban. Hanya mampu melemparkan senyum, sampai satu suara menjawab, "Gak tau,".

Baca juga: Berbagi Cuan Dengan Pemulung Wangi

Keluar Dari Ruang Sempit

Jawaban seperti itu sebenarnya bukan hal baru bagi Nurida. Anak didiknya ini kerap menjawab jawaban serupa tiap kali ditanya apa cita-citanya atau mau jadi apa saat dewasa nanti.

Blank. Anak-anak itu seakan tak punya banyak keinginan. Bermimpi saja mungkin tak berani. Mereka seolah pasrah, masa depannya akan berakhir di permukiman kumuh, melanjutkan jejak orang tua mereka sebagai pemulung.

Nuridah pun memaklumi. Dia yang lahir di pemukiman pemulung, dulu juga begitu. Memandang dunia adalah ruang sempit yang serba terbatas.

Terlahir di lingkungan kurang beruntung pada 1993, Nurida, menghabiskan masa kecilnya 'loncat' sana-sini mengikuti orang tuanya yang merantau di Jakarta sebagai pemulung. Sampai di titik akhirnya, orang tuanya memilih kembali ke kampung halaman di Kalimantan lewat program transmigrasi pemerintah ke Kalimantan pada 1998.

Namun hanya sekian tahun saja di Kalimantan, orang tua Nurida kembali rindu mengadu nasib di Ibu Kota. Pasangan suami istri itu pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta pada tahun 2004.

Kali ini, membawa uang di tangan dan juga menenteng Nurida. Mereka berharap Jakarta akan lebih jinak, sambil membawa harapan masa depan yang lebih baik dibanding sebelumnya.

Ternyata sama saja, nasib baik belum menghampiri mereka. Mereka masih menjadi pemulung di ibu kota. Setiap hari, di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, mereka memungut dan mengumpulkan sampah-sampah demi beberapa rupiah. Nurida yang sudah sekolah, bahkan tidak jarang ikut membantu kedua orang tuanya memulung.

Setiap minggu, saat sekolah libur, Nurida akan mengikuti orang tuanya menjadi pemulung supaya bisa makan. Tidak jarang bahkan dia sampai 'menginap' di jalanan agar dapat memenuhi target yang dibidik. Kebiasaan itu terus berlanjut sampai akhirnya dia lulus sekolah menengah pertama (SMP) pada 2009.

Alasan ketiadaan biaya pun membuat Nurida melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kami, sekolah informal untuk anak-anak pemulung.

Di sana, dia diajari macam-macam, termasuk keterampilan seperti bermain angklung. Dia cukup mahir memainkan alat musik tersebut dibanding anak-anak lainnya. Tak heran, sisa waktu Nurida usai sekolah pun dihabiskan untuk mengajari anak-anak lainnya bermain angklung. Sesekali dia mengajari teman-temannya membuat kerajinan kertas alias paper quilling dan membuat sabun.

Sampai akhirnya menjelang waktu kelulusan, gurunya di Sekolah Kami berinisiatif mendaftarkannya untuk mengikuti ujian kesetaraan paket C, supaya Nurida setidaknya memiliki ijazah yang setara dengan pendidikan menengah atas lainnya.

Mencari kerja pun dirasa lebih mudah ketimbang menggunakan ijazah SMP saja. Guru yang sama juga mengajak Nurida untuk mendaftar di Balai Latihan Kerja (BLK), agar memiliki kemampuan mumpuni yang dibutuhkan dunia kerja. Nilai tambah inilah, pikirnya, yang secara perlahan bisa membawa secercah harapan mengubah nasib di Ibu Kota.

Namun tiba-tiba harapannya pupus. Sang guru malah membawanya ke Panti Sosial Bina Remaja. Sejenak Nurida berpikir, kenapa si guru membawanya ke tempat ini bukan ke BLK seperti yang dijanjikan? Apa yang sudah dia perbuat? Kenapa harus ke tempat ini? Segudang pertanyaan lainnya yang bergumul di kepala Nurida.

"Saya kan gak bermasalah," katanya sambil tertawa, Selasa (23/5).

Baca juga: PUPR Uji Coba Hibah Rumah Bagi Masyarakat Miskin

Tergerak Dari Pengalaman Sendiri

Walaupun tidak mendapatkan pelatihan seperti yang diharapkan sebelumnya di BLK, tetapi Nurida masih berpikir positif dan mengambil 'hikmah' dari tempat barunya ini.

Setidaknya, di panti sosial, dia punya kamar sendiri, lebih luas dibanding kosan sempit yang ditinggalinya bersama beberapa teman perantau selama 3 tahun sebelumnya.

Di tempat ini, Nurida bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai daerah lain. Di sinilah, dia baru menyadari, dunia adalah ruang yang benar-benar luas. Di sini pula, Nurida mengetahui fakta kalau sebenarnya dapat bersekolah dan mendapatkan pendidikan gratis hingga jenjang SMA, sesuatu yang disesalkan akibat ketidaktahuannya sendiri.

Dari sana, dia pun berani tergerak untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi: strata satu! Sempat berpindah kerja beberapa kali, mulai dari buruh pabrik garmen, admin kantor kecil, hingga menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri pun dilakoni, demi membiayai kuliahnya.

Maklum, jenjang perguruan tinggi saat ini masih belum ada yang gratis. Sekalipun ada beasiswa, dia merasa kecil kemungkinan dirinya diterima, dengan bermodal ijazah paket kesetaraan. Dia merasa, banyak saingan yang jauh lebih unggul darinya.

Kurang dari empat tahun, dia menyelesaikan pendidikannya sambil bekerja sampingan sana-sini dan mendapat gelar sarjana pendidikan sekolah dasar. Selama itu pula dia mendapat banyak kawan baru untuk saling bertukar ilmu, wawasan, dan pandangan.

Uniknya, setelah menggenggam gelar sarjana, Nurida justru kembali terseret ke masa lalunya yang memiliki keterbatasan pada akses pendidikan.

"Bagaimana kalau membuat tempat membaca dan belajar bagi anak-anak yang ada di kawasan pemulung?" tanyanya dalam hati.

Dia berharap, tidak ada lagi anak-anak sepertinya yang tak tahu, ada banyak akses ke pendidikan yang lebih tinggi.

Bersama enam kawannya dengan latar belakang berbeda, Nurida memantapkan hati untuk membuka ‘sekolah’ sederhana buat anak-anak yang kurang beruntung. Untuk lokasinya, pilihan jatuh pada kawasan pemukiman kumuh di belakang TPU Pondok Kelapa yang banyak dihuni oleh pemulung.

Bermodalkan uang hasil patungan, mereka menyewa sepetak bedeng untuk menjadi basecamp mereka dan anak-anak yang ingin membaca dan belajar sejumlah keterampilan dasar. Tempat tersebut pun mereka beri nama ‘Saung Baca Garpu’.

Baca juga: 5 Ton Sampah Di TPA Basirih Berkurang Karena Pemulung

Mengisi Kekurangan Sekolah

Oh iya, sejak didirikan tahun 2016, Saung Baca Garpu sejatinya sudah menyajikan sejumlah buku bacaan anak-anak hasil urunan setiap anggotanya. Sayang, anak-anak di sana ternyata masih belum banyak yang bisa membaca, bahkan yang usianya sudah menginjak 12 tahun atau setara kelas 6 SD.

Nurida pun bertanya-tanya, kenapa anak-anak itu tidak bisa membaca di usia yang cukup dewasa? Alasannya beragam, tetapi yang paling banyak adalah ketidakmampuan mereka dalam memahami pembelajaran di sekolah.

Banyaknya distraksi yang didapat, membuat sekolah hanya menjadi tempat anak-anak itu mendengarkan, tanpa pernah benar-benar bisa menyerap ilmu. Merasa prihatin, Nurida memutuskan untuk mengubah kondisi ini. Tujuannya satu, masa depan anak-anak yang mayoritas dari keluarga pemulung itu, bisa menjadi lebih baik.

Dia pun akhirnya mengadakan pembelajaran di Saung yang didirikannya. Untuk menambal kegagalan menerima pelajaran di sekolah, dia memilih mengajarkan kembali materi-materi yang diterima siswa di sekolah sebagai bahan ajar. Dia berharap, setidaknya kemampuan anak-anak ini dalam menulis, membaca, dan berhitung bisa meningkat.

Nurida memastikan, kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya, digelar secara gratis, tanpa biaya sepersen pun! Anak hanya perlu datang dan mengikuti pelajaran yang diberikan.

Tercatat 42 anak bergabung saat pertama kali saung tersebut didirikan. Karena tak ada kelas-kelas permanen, pembelajaran pun dilakukan bergilir. Setiap harinya dia dan keenam temannya datang mengajar ke Saung, mulai dari jam 2 siang hingga 4 sore, Senin sampai Jumat.

Saat ditanya, apa target pribadi yang dia inginkan dari aksinya ini. Nurida tegas menjawab, tidak menginginkan imbalan apa-apa.

Dia hanya ingin, anak-anak ini memiliki kemampuan dasar dan mimpi yang lebih tinggi. Dia ingin menyadarkan anak-anak ini, jika dunia sangat luas dan mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan, selain hanya pasrah menerima nasib hidup di balik tumpukan sampah.

Baca juga: Terapkan Ekonomi Sirkular Lewat Kampanye Conscious Living

Membantu Tanpa Agenda Tertentu

Sampai saat ini, dia pun masih berjuang mewujudkan hal tersebut. Beberapa kali dia menanyakan soal cita-cita, belum banyak yang berani bicara mengungkapkan keinginannya, meski beberapa lainnya sudah mulai berani berangan-angan menikmati hidup yang lebih baik kelak.

"Tidak apa, kakak-kakak di sini akan membantu sebisanya," ucap Nurida menanggapi anak-anak yang masih malu mengutarakan keinginannya.

Janji membantu, memang serius dilakukan Nurida dan kawan-kawannya. Beberapa anak, misalnya, dibantu hingga mengikuti paket kesetaraan, dicarikan beasiswa, dan akses-akses ke dunia pendidikan lainnya.

Namun, niat baik pun bukan tanpa tantangan saat dijalankan. Pandang minor seperti kecurigaan orang tua anaknya diajari hal-hal buruk atau kekhawatiran aksinya disusupi ‘agenda’ tertentu masih sesekali terdengar.

“Mana ada orang yang meluangkan waktu sedemikian rupa dan menyediakan ragam peralatan tulis secara cuma-Cuma, hanya untuk mengajar anak pemulung?” begitu kecurigaan yang ia tangkap.

Meski begitu, Nurida meyakinkan kalau ia tidak melakukan hal-hal buruk atau negatif. Untuk meyakinkan, orang tua yang anaknya belajar pun diminta menyaksikan langsung ke Saungnya.

Perlahan, orang tua anak-anak tersebut mulai luluh, menerima keberadaan Saung yang hadir untuk membantu membuka masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Nurida juga bisa membuktikan, dirinya hanya menginginkan anak-anak ini setidaknya punya pilihan.

Saat ini tercatat sudah ada 77 murid yang belajar di Saung Baca Garpu, dari jenjang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga SMA. Hingga hari ini juga, Nurida dan keenam temannya masih terus berupaya meningkatkan kesejahteraan pendidikan anak-anak pemulung didikannya.

Mencurahkan segenap materi dan energi dari kantong sendiri, perjalanan Nurida mungkin masih panjang berliku. Namun setidaknya, denyut mimpi Nurida akan selalu ada di balik hiruk pikuk Ibu Kota yang sering kali acuh tak acuh terhadap orang-orang yang terpinggirkan


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar