c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

06 Mei 2023

18:00 WIB

Pendidikan Buat Mereka Yang Terpinggirkan

Pendidikan adalah hak dasar yang harus ditunaikan dengan baik oleh negara. Sayang, pendidikan di Indonesia sejauh ini belum berkeadilan buat mereka yang terpinggirkan

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Satrio Wicaksono

Pendidikan Buat Mereka Yang Terpinggirkan
Pendidikan Buat Mereka Yang Terpinggirkan
Kegiatan belajar mengajar yang di ikuti oleh anak-anak kampung pemulung di Saung Baca Garpu, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (4/5/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Suara hujan yang jatuh ke atap seng, begitu nyaring terdengar. Akan tetapi, kebisingan itu sama sekali tidak membuyarkan konsentrasi belasan anak yang sedang mengerjakan tugas dari sang guru.

Mereka tetap terlihat asyik menulis dan mengisi lembar kerjanya masing-masing. Waktu itu, tinggal tersisa beberapa murid saja. Yang lainnya, sudah pulang selepas tugas mereka diperiksa oleh sang guru.

Secara bergiliran, satu per satu anak-anak itu maju ke depan, menghadap pengajar yang siap memeriksa tugas mereka. Kalau ada yang salah, jawaban mereka akan langsung dikoreksi.

Jangan bayangkan ruang belajar yang nyaman. Tidak. Penggalan kisah ini terjadi di sebuah bedeng sederhana beralaskan terpal. Namun, di sinilah, anak-anak pemulung bisa menimba ilmu. 

Namanya Saung Baca Garpu yang berlokasi di kawasan Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Uniknya, mereka yang 'bersekolah' di sana bukanlah anak-anak putus sekolah atau tidak bersekolah sama sekali. Sebaliknya, mereka adalah para murid yang justru masih aktif mengenyam bangku pendidikan formal.

Yap. Keberadaan saung belajar itu ada untuk memberikan pembelajaran ekstra bagi mereka yang kurang memahami pelajaran yang diberikan di seoklahnya masing-masing. Ini adalah cara Nuridah Rahmanilah, sang pendiri, agar anak-anak pemulung juga punya kemampuan yang sama dengan anak sebaya lainnya yang bisa les atau menjalani kursus untuk menambah pembelajaran.

Nuridah miris, mendapati fakta, masih ada siswa kelas V dan VI SD yang masih belum bisa membaca dengan lancar.

"Kalau disuruh baca saja anak-anak ini kadang suka ketakutan (karena tidak bisa membaca). Padahal yang saya suruh adalah membaca, bukan menebak-nebak kata loh," cetus Nuridah saat ditemui Validnews di Saung Baca Garpu, Kamis (4/5).

Nuridah merasa, meski pendidikan di Indonesia saat ini telah jauh berbeda, tetap saja, masih ada ketimpangan pendidikan yang terasa.

Terpikir oleh Nuridah, bagaimana bisa anak-anak ini bisa memahami materi pengajaran, jika kemampuan baca dan hitung dasar sebagai pengantar pengajaran saja, tak terlalu dikuasai. 

Ironisnya lagi, kondisi yang tak hanya ditemui pada satu-dua anak ini, ditemukan di wilayah perkotaan.

Di benaknya, bagaimana kondisi anak-anak di pelosok daerah yang sangat kurang mendapat fasilitas belajar mengajar. Maka timbulah pertanyaan besar; Ada apa dengan dengan sistem pendidikan di Indonesia? 

Bangku yang Terbatas
Patut diingat, amanat pendidikan adalah hak sejatinya telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi dasar Indonesia itu menyebut, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Singkatnya, adalah tugas pemerintah untuk memfasilitasi seluruh warganya mendapatkan pendidikan yang layak. Memang, saat ini, pemerintah sudah konsisten menyisihkan 20% koceknya saban tahun, demi menggenjot kualitas di sektor pendidikan

Sayangnya, kenyataan tidak seindah harapan. Sudah sekian lama seperlima belanja APBN dipatok untuk sektor pendidikan, masih saja terdengar ada sejumlah anak yang tidak bisa mengenyam bangku sekolah, bahkan tersisih dari dunia pendidikan.

Jika pun bisa mengenyam pendidikandari sekolah yang sudah banyak digratiskan, kualitasnya pun secara umum masih jauh dari ideal.

Tak usahlah membandingkannya dengan negara maju. Melansir data UNICEF saja, pada 2015 kurang dari separuh siswa berusia 15 tahun di Indonesia ternyata memiliki tingkat kemahiran membaca minimum. Lalu, hanya kurang dari sepertiga yang mempunyai tingkat kemahiran dalam matematika.

Kondisi pada tahun ini mungkin sudah membaik. Namun yakinlah, perbaikan yang terjadi tak begitu signifikan. Buktinya, masih harus ada orang-orang seperti Nuridah yang merasa miris dan merasa berkepentingan untuk menggenjot kualitas pendidikan anak-anak kelas bawah.

Catatan saja, dari 46 juta remaja di Indonesia, hampir seperempatnya ternyata tidak bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, atau tidak tersentuh beragam pelatihan. 

Mirisnya lagi, kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah yang tertinggal atau miskin, ini juga terjadi di daerah yang dianggap lebih maju seperti Jakarta dan sekitarnya.

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji berpendapat salah satu faktor yang membuat kondisi ini terjadi adalah bangku sekolah yang terbatas. Saat ini, masyarakat berbondong-bondong untuk memasukkan anak mereka ke sekolah negeri agar tidak harus membayar uang sekolah yang tak murah. Namun, ketersediaan bangku di sekolah negeri cukup terbatas.

Akibatnya, mereka yang tidak bisa masuk negeri, harus rela untuk memilih sekolah swasta. Masalahnya, uang sekolah yang tak murah di sekolah swasta membuat pening kepala banyak orang tua.

Buat mereka yang ekonominya terbatas, pilihannya hanya dua, bersekolah di sekolah swasta dengan mutu rendah tapi dengan biaya yang lebih murah, atau sama sekali putus sekolah.

"Pertanyaannya, kenapa setiap kali musim penerimaan murid baru orang tua selalu bingung cari sekolah dan biayanya?" tanya Ubaid saat berbincang dengan Validnews, Selasa (2/5).

Apalagi, dengan sistem zonasi yang berlakukan saat ini, di mana anak hanya bisa memilih sekolah negeri berdasarkan domisili atau kartu keluarganya. Otomatis, bangku sekolah di satu wilayah, bisa saja diperebutkan jauh lebih banyak dari ketersediaan bangku sekolah

Bangku yang terbatas itu, diperebutkan dengan nilai akademik dan usia. Untuk yang terakhir, makin tua umur seseorang siswa, makin punya kans yang lebih besar untuk diterima di sekolah pilihannya.

Singkatnya, dengan sistem zonasi, makin ’menempel’ rumah seorang calon siswa, plus makin tua umurnya, makin berpeluang untuk mendapatkan bangku di sekolah tujuan. 

Sebaliknya, untuk mereka yang nilai akademiknya atau prestasi lainnya masuk kategori ’biasa-biasa’ saja, plus jauh dari sekolah, peluang pun makin mengecil.

Adilkah? Sangat bisa diperdebatkan. Buktinya, teramat banyak keluhan yang terlontar dari orang tua siswa atas sistem penerimaan seperti ini.

Nuridah sendiri bercerita, kebanyakan anak-anak yang datang di Saung Baca Garpu adalah anak-anak pemulung yang kurang mampu dan sulit untuk mendapatkan akses pendidikan.

Selain karena bangku sekolah negeri yang terbatas, mayoritas anak-anak tersebut juga pendatang dan tidak memiliki kartu keluarga Jakarta. Artinya, hanya mimpi bisa bersekolah di sekolah negeri yang menganut sistem zonasi. 

Jangan tanya lagi soal pilihan bersekolah di sekolah swasta yang cenderung mahal. Alhasil, banyak yang pasrah menyerah.

Peran Komunitas
Di sinilah peran komunitas seperti Saung Baca Garpu dibutuhkan untuk mengisi kekosongan yang ada. Tidak hanya Saung Baca Garpu, saat ini, ada banyak komunitas lain yang punya visi misi sejenis, mendorong anak-anak dari keluarga tak mampu untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Pertanyaannya selanjutnya, apakah keberadaan komunitas-komunitas itu mampu membantu mengatasi permasalahan pendidikan yang ada?

Ubaid menjawab, iya. Menurutnya, komunitas dan organisasi sangat membantu permasalahan pendidikan yang ada. Hanya saja keberadaan mereka seolah tak dianggap. 

Mereka tidak diberikan akses formalitas secara leluasa oleh pemerintah, alih-alih mendapat bimbingan dari negara.

Contohnya, meski mereka bisa memberikan keterampilan pada anak-anak kurang mampu, tetapi tidak bisa memberikan sertifikat yang diakui, sebagai bekal melanjutkan ke jenjang pendidikan formal dan seterusnya.

"Mereka adalah masyarakat yang menggunakan sumber daya yang mereka miliki saja dengan inisiasinya, untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pendidikan. Tetapi, ya itu, anak yang belajar di situ tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal dan seterusnya," timpal Ubaid.

Berorientasi Nilai
Melihat hal ini, pengamat pendidikan Indra Charismiadji bahkan tak segan menilai, mutu pendidikan di Indonesia memang masih buruk. Bahkan, dia mengatakan, salah satu yang terburuk di dunia.

Dari pengamatannya, saat ini, di sekolah formal pun, murid sekedar belajar tanpa memahami inti dan maksud dari pembelajaran. Alih-alih mengamalkannya, murid hanya jadi penghafal pelajaran saja. 

Menurutnya, ini adalah buah dari sekolah yang hanya berorientasi pada nilai dan ijazah.

"Kita ini tidak mempunyai sistem pendidikan nasional. Kita punyanya sistem 'pendudukan' nasional, yang isinya hanya menyuruh anak duduk di sekolah. Padahal pendidikan itu harusnya lebih luas dari itu," ucap Indra.

Dia membandingkannya dengan Finlandia yang hanya memiliki jam belajar sekitar 3-4 jam setiap harinya. Belum lagi jumlah mata pelajaran tidak terlalu banyak seperti di Indonesia, yang bisa mencapai belasan mata pelajaran. 

Meski demikian, mutu pendidikannya adalah salah satu yang terbaik di dunia.

Menurutnya, Finlandia memiliki porsi yang seimbang antara sekolah, rumah, dan lingkungan. Dengan begitu, anak-anak tidak melulu berpaku pada mendapatkan nilai bagus di sekolah, tetapi ditempa dengan ilmu supaya dapat melahirkan orang dewasa dan sumber daya manusia yang cakap.

Sementara itu, di Indonesia, usai sekolah biasanya anak masih harus pergi mengunjungi tempat les untuk memperoleh pelajaran tambahan dan nilai bagus. Porsi ini menurutnya jelas tidak seimbang.


PR Besar
Karenanya, dia menyarankan pemerintah untuk melakukan perubahan besar-besaran supaya dapat memperbaiki sistem dan mutu pendidikan di Indonesia. 

Tidak melulu menekankan soal nilai akademik, tetapi juga bisa mengedepankan hal lainnya seperti keterampilan, etika, dan karakter.

Perubahan pola pikir, lanjutnya, juga harus dilakukan para orang tua yang sejauh ini cenderung tidak cakap untuk mengajari anak keterampilan-keterampilan hidup, karena beranggapan hal-hal tersebut sudah diperoleh di sekolah. Padahal, dia merasa, sekadar mengajak anak untuk berdialog dan berdiskusi, sudah dapat merangsang keterampilan.

Di luar itu, kegiatan ekstrakurikuler juga acap kali diabaikan atau hanya jadi pemanis semata. Bahkan, tak jarang orang tua dan pengajar di sekolah kegiatan ekstrakurikuler dapat mengganggu anak mendapatkan nilai akademik yang bagus.

"Semisal dengan bermain sepak bola, ini bisa menumbuhkan kemampuan memecahkan masalah pada anak, belajar tentang pantang menyerah, mengajarkan tentang memiliki motivasi untuk berprestasi, belajar kontrol diri, belajar inisiatif, meningkatkan kepercayaan diri, hingga belajar etika," ucapnya.

Sayangnya, dia melihat orang tua dan pemerintah tidak suka kegiatan seperti ini. ”Mereka lebih suka nilai anak bagus. Ini yang membuat mutu pendidikan kita buruk dan SDM kita tidak kompeten," tandas Indra.

So, sampai kapan perdebatan soal sistem pendidikan Indonesia yang banyak kelemahan ini berlangsung?  

Rasanya, tak perlu menunggu Indonesia berusia seabad pada 1945 untuk menyadari ada yang salah dari semua ini.

Jangan sampai di masa yang digadang-gadang sebagai masa Indonesia Emas itu, anak-anak Indoensia buah dari sistem pendidikan saat ini, justru bergumam mengutip puisi Taufik Ismail, ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar