29 Juli 2022
21:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Berbicara tentang sampah dan limbah di Indonesia, mungkin bisa dikatakan tidak ada habisnya. Meski dampak secara negatif terus menghantui, semua pihak perlu mengetahui peluang ekonomi yang membentang dari sampah juga tidak kalah menarik.
Tidak percaya? Ini hitungannya. Pemerintah melalui KLHK mengestimasi total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 17%-nya atau sekitar 11,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastik.
Akan tetapi, sistem pengumpulan sampah plastik dan kertas, turut berkontribusi masing-masing lebih dari Rp1 triliun dan Rp7,3 triliun dalam mendukung ekonomi sirkular selama 2019-2020. Asumsinya harga plastik senilai Rp2.400/kg, sedangkan harga kertas Rp3.500/kg.
KLHK mensinyalir, potensi ekonomis tersebut diperoleh melalui Bank Sampah, Tempat Pengelolaan Sampah reuse, reduce, dan recycle (TPS 3R), tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), pusat daur ulang (PDU), sektor informal (pemulung/pelapak), dan social-entrepreneur.
Ironinya, pemulung dan beberapa profesi di atas masih dianggap sebelah mata berbagai kalangan.
Sebaliknya, dengan potensi cuan yang diestimasi, profesi pemulung layak bersanding dengan profesi kebanyakan.
CEO Duitin Adijoyo Prakoso merasa, hari ini proses bisnis pemulung kebanyakan masih kurang efektif. Kegiatan tawar-menawar barang bekas antara pemulung dan pemilik barang juga kurang begitu efisien.
Belum lagi, proses di atas tidak menggaransi terjadinya transaksi di titik akhir. Padahal, proses keliling mencari barang juga tidak bisa dianggap enteng.
Lantas, perusahaan rintisan yang tercetus pada Februari 2019 ini, mencoba mempertemukan kontributor (pemilik sampah) dan picker (pemulung) sebagai misi utama. Dengan begitu, upaya meningkatkan skala bisnis industri daur ulang di dalam negeri bisa tercapai.
“Nah, kalo Duitin, mengajak (pemulung) daripada keliling enggak tentu mending pakai aplikasi. Karena kita bikin radius dari titik order (penjemputan barang),” ujar sosok yang enggan mengungkap nama panjangnya ini saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Selasa (26/7).
Dengan ide yang sama, dirinya hendak menawarkan konsep ‘pemulung online’ di Indonesia. Lewat formalisasi profesi juga, harapannya, pemulung dan keluarganya bisa meningkatkan taraf kesejahteraan hidup.
Duitin menggarisbawahi, proses bisnis yang dijalani berkonsep sociopreneur. Sembari mengoptimalkan bisnis sampah daur ulang dan lingkungan, berdampak pada jutaan pemulung di Indonesia.
“Kita tahu, pemulung masih dalam sektor informal. (Lewat Duitin) kan kita harus menghargai umur dan profesi yang dimiliki,” sebutnya seraya mengungkapkan, tengah mengoneksikan profesi pemulung dalam BPJS Ketenagakerjaan.
“Pemulung itu profesi yang enggak harus kumel. Picker harus ganteng, cantik, wangi, berani ngobrol dan menyapa (kontributor). Saya saja bangga jadi picker,” tukasnya lagi, sambil terkekeh.
Tantangan Mengubah Pola Pikir
Dibanding hal-hal teknis yang dilalui Duitin selama 3,5 tahun beroperasi, Adijoyo Prakoso mengungkapkan, mengubah pola pikir pemulung dan kontributor jadi tantangan utama yang terus dihadapi.
Di sisi kontributor, proses pemilahan sampah dari rumah jadi kegiatan yang memberatkan nan merepotkan. Maklum, Duitin menstandardisasi sampah daur ulang yang dapat diterima secara spesifik.
Tak jarang, Duitin mendapat keluhan kontributor untuk memilah sampah sebelum dijual kepada pemulung. “Dari data kami, hanya 1,2% orang yang mau mendaur ulang, itu kesulitan yang kami hadapi di kontributor,” terangnya.
Ia mengajak masyarakat untuk merenungi proses dasar industri daur ulang, yakni pemilahan. Proses pemilahan juga, kilahnya, dapat menurunkan jumlah impor sampah untuk kebutuhan industri daur ulang ke dalam negeri.
Asal tahu, sampah-sampah ini dibutuhkan oleh industri spesifik dalam kegiatan bisnisnya. Mengacu UN Comtrade, total impor produk sisa, potongan dan skrap, dari plastik (Kode HS 3915) asal dunia ke Indonesia pada 2021 mencapai 164.522,95 ton atau senilai US$79,57 juta.
Jumlah impor itu naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya181.767,11 ton atau senilai US$63,03 juta.
Pada 2021, asal impor produk ‘sampah’ plastik ini ke Tanah Air utamanya berasal dari Belanda sebanyak 67.783 ton (US$36,38 juta); Belgia sebesar 17.113 ton (US$8,71 juta); Australia sekitar 16.121 ton (US$8,11 juta); Singapura sebesar 17.246 ton (US$7,56 juta); dan Amerika Serikat 20.727 ton (US$6,07 juta).
Adijoyo Prakoso menilai, hal ini begitu aneh. Sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia, semestinya impor sampah plastik ini tidak perlu ada manakala bahan baku plastik olahan sudah dipilah sejak awal.
“Beberapa negara Eropa paling tinggi ekspor sampah ke Indonesia,” sebutnya.
Namun Adijoyo Prakoso terus bersikap optimis, upaya yang dilakukan Duitin lambat laun mampu menciptakan kebiasaan dan kebudayaan baru di masyarakat, untuk memilah sampah yang dipunya pribadi masing-masing.

“Insyaallah, memilah sampah bakal jadi kebiasaan dan kebudayaan,” ungkapnya.
Tantangan selanjutnya adalah mengajak pemulung tradisional, untuk mulai membuka diri terhadap fenomena internet. Duitin meyakini, penetrasi teknologi bakal meningkatkan nilai tambah profesi pemulung itu sendiri.
Ia bersyukur, sejumlah orang sudah bersedia menjadi picker. Mulai dari kalangan mahasiswa, pekerja lepas yang punya waktu sisa, hingga pemulung. Bahkan, ada satu grup pemulung besar di Bandung yang sudah memiliki platform dan unit bisnis sendiri.
“Di Yogyakarta, ada juga pemulung yang sangat terbuka untuk masuk ke dunia ini, walaupun enggak mengerti dia minta diajari,” sebutnya.
Terkait aplikasi, hingga kini Duitin telah diunduh oleh 150 ribu kontributor dan sekitar 1.500-2.000 picker organik. Diakuinya, jumlah picker di atas masih inkonsisten. Hanya ada 157 yang aktif setiap bulannya.
Sementara itu, Duitin sendiri memiliki picker in-house alias memang organik bekerja di perusahaan ini, sebanyak 12 orang.
Kondisi ini pun, yang masih membuat potensi daur ulang bergerak pelan. Sebagai contoh, potensi daur ulang dari order kontributor di wilayah Jakarta saja baru terjamah 30%.
Omzet Memulung
Ditanya mengenai omzet hasil memulung, Adijoyo Prakoso ogah memberikan secara terang-terangan. Namun selama dua tahun terakhir, berdasarkan estimasinya, Duitin sudah berhasil membeli sampah dari kontributor senilai Rp300 juta; dengan rata-rata harga barang rendah.
Tidak sampai di situ, nilai limbah daur ulang bakal melonjak signifikan dari proses pemilahan spesifik. Dengan demikian, skala ekonomis dari barang daur ulang bisa melonjak tajam.
“Tapi (Rp300 juta) itu harga kecil belum kita jual (ke industri lanjutan). Bisa dibayangkan kalau harga bisa naik sampai tiga kali lipat, ya tinggal dihitung saja,” ungkapnya.
Ilustrasinya, jika kontibutor menjual barang daur ulang senilai ‘A’, maka bergeser di pengepul harganya bisa mencapai ‘A+’, bergeser lagi ketika masuk proses pencacahan ‘A++’, dan begitu seterusnya.
Dia membeberkan, dari setiap pembelian air mineral kemasan di berbagai tempat, harga beli dari air minum itu sendiri hanya berkontribusi sekitar 20-40% dari harga jual. Di titik ini, dirinya mengajak masyarakat berpikir bahwa ada nilai ekonomis yang terbuang sia-sia dari kegiatan ‘buang sampah’.
Sekali lagi, ujarnya, proses pemilahan dapat mengeluarkan nilai asli dari sampah. Masih belum bergeser dari contoh botol air mineral bekas; plastik, tutup botol, dan label dengan jenis plastik yang berbeda-beda itu mempunyai harga jualnya masing-masing.
Kisah sukses ini juga dialami salah satu picker Duitin asal Sukabumi, Mang Jajang yang hingga kini berhasil menjemput lebih dari 3,6 ton sampah bernilai dari kontributor. Dengan begitu, Mang Jajang juga telah berhasil memaksimalkan potensi ekonomis sampah ini, agar tidak teronggok di TPA saja.

Ekspansi Usaha
Ke depan, Duitin sudah menyasar yang hendak dicapai. Pertama, Adijoyo Prakoso ingin meningkatkan potensi daur ulang jauh lebih besar dari yang ada hari ini; yang baru melingkupi penyerapan daur ulang atau hulu.
Setidaknya, proses edukasi yang masif saat ini akan maksimal ketika rantai produksi dari pemrosesan hingga pendauran tingkat lanjut. Terpenting, budaya pemilahan bisa dilakukan adlam tataran yang lebih mikro di rumah.
Sementara pada tataran yang lebih komprehensif, Duitin berinisiatif memiliki aplikasi Duitin Gerai yang menjual-beli barang harian dengan limbah daur ulang; Duitin Pabrik, pabrik pengolahan daur ulang; dan seterusnya.
“Nah sekarang kita belum keseluruhan, pengennya ada pabrik, pencacah, dan seterusnya. Itu yang akan kita garap dengan masuknya para investor,” serunya.
Nantinya, aplikasi yang komprehesif juga bisa menyinkronkan lini bisnis daur ulang dari tingkat hulu sampai hilir. Untuk menuju ke sana, perusahaan ini bertekad untuk memancangkan kaki-tangan penyerapan sampah daur ulang di beragam lokasi di Jawa-Bali dalam kurun waktu 1-3 tahun ke depan.
Hingga kini Duitin baru beroperasi di pulau Jawa dan Bali, itu pun masih jangkauannya masih di kota-kota besar. Seperti DKI Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang Selatan, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali.
Selanjutnya, Adijoyo Prakoso mengungkapkan, pihaknya elah berhasil masuk inkubasi bisnis yang digembleng langsung oleh IKEA hingga dua tahun mendatang.
Perusahaan ini berhasil dilirik dan menempati posisi ke-10 dari 1.800 kandidat perusahaan rintisan lain yang mengajukan program inkubasi. Ke depan, selain berniat jadi rujukan industri mencari sampah berkualitas, Duitin juga ingin jadi agregator sampah terpilah ke perusahaan lanjutan.