c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

16 Oktober 2025

13:24 WIB

Terancam Sunset Industry, Hulu Migas RI Hadapi 4 Tantangan Berat

Sejumlah tantangan dihadapi industri migas, seperti penurunan produksi, kepastian regulasi, transisi energi, hingga infrastruktur dan komersialisasi. Migas terancam jadi sunset industry.

Penulis: Yoseph Krishna

<p>Terancam <em id="isPasted">Sunset Industry,&nbsp;</em>Hulu Migas RI Hadapi 4 Tantangan Berat</p>
<p>Terancam <em id="isPasted">Sunset Industry,&nbsp;</em>Hulu Migas RI Hadapi 4 Tantangan Berat</p>

Ilustrasi - Pegawai Pertamina meninjau fasilitas proyek RDMP Balikpapan, Kalimantan Timur. RDMP Balikpapan nantinya akan menjadi kilang minyak terbesar di Indonesia. Antara/HO-Pertamina

JAKARTA - Pakar Ekonomi Bisnis dan Energi Rinto Pudyantoro mengungkapkan, industri hulu migas, terutama di Indonesia, saat ini menghadapi empat tantangan besar untuk menghilangkan stigma 'sunset industry'. 

Rinto menerangkan, keempat tantangan tersebut berupa penurunan produksi dan cadangan (declining reserves and lifting), ketidakpastian regulasi dan fiskal, tekanan transisi energi dan isu lingkungan, hingga tantangan komersialisasi dan infrastruktur.

"Jadi, empat poin ini yang paling besar, menurut saya ini tantangan yang paling seru, yang paling berat sebetulnya," ucap Rinto dalam sebuah sesi diskusi yang digelar Satuan Kerja Khusus Pelksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, Rabu (15/10).

Baca Juga: Lampaui Target, Bahlil: Lifting Minyak September Tembus 619 Ribu BOPD

Soal tantangan declining, dia mengingatkan, fase ini sudah menjadi keniscayaan pada industri hulu migas di Indonesia. Secara natural, produksi minyak dan gas bumi akan menurun seiring sumber daya yang terus disedot ke permukaan bumi.

Upaya peningkatan produksi, sambungnya, ujungnya hanya menjadi langkah tepat untuk menahan laju declining. Kalaupun ada peningkatan, dipastikan jumlahnya sedikit dan bakal kembali turun di kemudian hari.

"Karena memang kita berada pada fase declining, tidak mungkin kita naik mendadak," jelasnya.

Dia menyampaikan, penurunan produksi migas tak lepas dari status lapangan atau sumur minyak yang sudah uzur. Di lain sisi, tidak ada masifikasi kegiatan eksplorasi yang signifikan menemukan cadangan baru.

"Tingkat penurunannya bisa 15-20% per tahun, tadi saya sampaikan Indonesia di fase declining itu sampai sekitar 600-an ribu barel minyak per hari (BOPD). Di sisi lain, kebutuhan energi kita meningkat setiap tahun 7% kurang lebih," tambahnya.

Baca Juga: Investasi Hulu Migas RI Tembus US$7,19 Miliar Sepanjang Semester I/2025

Rinto mengatakan, satu-satunya solusi untuk menjawab tantangan tersebut di masa yang akan datang ialah memasifkan kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas).

"Nah ini kepada teman-teman SKK Migas, ini berapa banyak jumlah eksplorasi yang sekarang atau tahun ini coba dilakukan atau spending-nya berapa itu bisa diukur," bebernya.

Kepastian Regulasi-Fiskal Migas
Tantangan kedua, mengenai regulasi dan fiskal oleh pemerintah yang turut menjadi pertimbangan bagi raksasa-raksasa migas dunia sebelum memutuskan berinvestasi pada sektor hulu migas Indonesia.

Bagi masyarakat awam, kebijakan pemerintah untuk sektor migas mungkin tidak begitu dipedulikan. Tapi bagi investor, setiap kebijakan punya peranan penting dalam pengambilan keputusan investasi.

"Bagi investor, perubahan regulasi itu menjadi sangat penting karena berhubungan dengan perhitungan keekonomian dan perhitungan investasi," imbuh Rinto.

Baca Juga: Industri Hulu Migas RI Butuh Keberpihakan Pemerintah

Akademisi dari Universitas Pertamina itu menyebut, investor migas amat sensitif terhadap kebijakan baru atau perubahan regulasi yang dilakukan pemerintah. Terlebih, migas merupakan sektor padat modal atau butuh investasi tinggi.

"Bagi beberapa investor itu bisa lihat karena investasi itu sangat individual dan kalau kita bicara hulu migas, itu jumlah investasinya biasanya tinggi-tinggi, besar, biasanya sangat sensitif terhadap regulasi," tutur Rinto.

Tren Transisi Energi
Tantangan ketiga, tak lain dan tak bukan adalah transisi energi yang jadi tantangan besar industri hulu migas. Kampanye transisi energi menyuarakan peralihan penggunaan energi berbasis fosil menuju energi terbarukan.

Ada tekanan dari dunia untuk mengikuti pola tersebut dan harus dijalankan oleh Indonesia, dalam rangka perbaikan iklim global dan menyukseskan target Net Zero Emission (NZE) yang dipatok pada 2060 atau lebih cepat.

Baca Juga: Sumbangsih Hulu Migas Pada Penerimaan Negara Melorot Nyaris 23%

Untuk mencapai ketahanan energi sesuai dengan yang diidamkan Presiden Prabowo Subianto, pengurangan konsumsi energi fosil menjadi hal yang tak dapat ditawar. Diikuti dengan peralihan menuju energi yang lebih bersih.

"Kemandirian dan ketahanan energi itu hanya bisa dicapai, selain kita mengurangi penggunaan energi fosil, juga melakukan transisi energi, lalu berubah ke gas dulu baru kemudian ke EBT," terang Rinto.

Soal Infrastruktur
Tantangan Keempat, aspek komersialisasi dan infrastruktur. Aspek tersebut jadi tantangan mengingat temuan gas bumi yang lebih banyak dari temuan minyak bumi dari kegiatan eksplorasi beberapa tahun terakhir.

Baca Juga: Pakar Ingatkan Industri Hulu Migas Butuh Eksplorasi Intensif

Di lain sisi, pipa transmisi gas bumi belum sepenuhnya tersambung dari Sabang sampai Merauke. Pipa tersebut merupakan infrastruktur vital dalam menyalurkan gas bumi dari sumber produksi menuju pusat permintaan.

"Penemuan kita itu sekarang kebanyakan gas. Nah, gas itu punya masalah men-deliver atau menyampaikan atau menggerakkan hasil gas itu ke konsumen, itu ada problem," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar