17 Juli 2025
14:10 WIB
Simulasi DEN: Tarif AS 19% Bisa Naikkan PDB dan Serap Tenaga Kerja RI
DEN menyimulasikan penurunan tarif AS ke Indonesia dari 32% menjadi 19% dapat menaikkan PDB RI 0,5%, serapan tenaga kerja tumbuh 1,3%, kesejahteraan masyarakat naik 0,6%, dan lonjakan investasi 1,6%.
Editor: Khairul Kahfi
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan. Instagram/@luhut.pandjaitan
JAKARTA - Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyimulasikan penurunan tarif AS ke Indonesia dari 32% menjadi 19% dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun simulasi ini disertai dengan penyesuaian tarif impor Indonesia terhadap sebagian besar produk dari AS.
Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario penurunan tarif atas produk Indonesia yang diekspor menuju AS dapat memberikan dampak ekonomi yang jauh lebih positif
"(Akibat penurunan tarif AS ke 19%) Produk domestik bruto (PDB) diprediksi naik sebesar 0,5%, didorong oleh peningkatan investasi dan konsumsi. Penyerapan tenaga kerja tumbuh sebesar 1,3%, sementara kesejahteraan masyarakat meningkat sebesar 0,6%," urainya dalam keterangan resmi, Jakarta, Kamis (17/7).
Baca Juga: Kena Tarif 19%, BI Ramal Pertumbuhan Ekonomi RI 4,6-5,4% Pada 2025
Simulasi yang sama juga memperkirakan lonjakan investasi hingga 1,6%, yang menunjukkan potensi relokasi industri global ke Indonesia, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, furnitur, serta perikanan.
Luhut juga menekankan, Indonesia menjadi negara dengan tambahan tarif AS paling rendah dibandingkan negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS dan di antara negara ASEAN lainnya.
"Ini tentunya memberikan kesempatan yang besar bagi (ekonomi) Indonesia,” jelas Luhut
Dia melanjutkan, penurunan tarif ini membuka peluang besar bagi industri padat karya di tanah air seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), alas kaki, serta furnitur untuk memperluas akses pasar di AS dengan hambatan biaya yang lebih rendah.
Selain mendorong ekspor, DEN juga meyakini, kebijakan tersebut juga berpotensi menarik minat investor asing untuk merelokasi industri ke Indonesia, demi memanfaatkan keunggulan tarif dalam mengakses pasar AS.
Baca Juga: Kritik Kesepakatan Tarif RI-AS 19%, Ekonom: Bentuk Modern Pemerasan
DEN juga melihat kesepakatan ini sebagai pijakan penting untuk mempercepat agenda deregulasi dan menurunkan biaya logistik serta produksi di dalam negeri (high cost economy).
"Dengan demikian, bukan hanya ekspor yang terdorong, tetapi juga daya saing ekonomi nasional secara menyeluruh," sebutnya.
Pelonggaran Impor Untuk AS Tak Rugikan Indonesia
DEN mendorong sinergi lintas kementerian untuk mengoptimalkan momentum ini demi perluasan basis pelaku ekspor nasional. DEN juga berkomitmen untuk mendampingi pemerintah dalam memantau implementasi kebijakan ini agar seluruh manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan pelaku usaha.
“DEN percaya bahwa arah kebijakan ekonomi nasional yang tepat dan berbasis data akan menjadi kunci dalam mengakselerasi pertumbuhan inklusif dan berdaya saing di era global,” katanya.
Untuk itu, DEN mengapresiasi atas keberhasilan diplomasi ekonomi Indonesia dalam menyepakati penurunan tarif tambahan terhadap produk ekspor ke AS menjadi 19%. Luhut menilai, keberhasilan ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mampu mengamankan kepentingan nasional dalam forum negosiasi internasional.
Penyesuaian tarif Indonesia terhadap produk AS merupakan bagian dari langkah kebijakan yang bersifat strategis untuk memperkuat rantai pasok, menarik investasi berbasis nilai tambah, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai mitra dagang yang dihormati.
“Kita tidak sedang memberi karpet merah untuk pihak luar, tetapi justru membuka jalan yang lebih besar bagi produk dan pelaku usaha Indonesia untuk bersaing di pasar global. Ini adalah diplomasi ekonomi dengan visi jangka panjang yang jelas, yang berlandaskan kepentingan nasional,” ujarnya.
Baca Juga: Ketimpangan Tarif 19% Dari AS Bisa Tekan Fiskal Dan Moneter RI
Dalam kesepakatan tersebut, Luhut juga menepis anggapan pembebasan semua halangan tarif dan nontarif bagi produk AS yang masuk ke RI sebagai peluang kemunduran bagi ekonomi nasional.
Dibanding itu, dia mengakui, Indonesia mengambil langkah strategis dengan menyederhanakan tarif terhadap sebagian besar produk impor dari AS, sebagai bagian dari pendekatan timbal balik yang terukur dan menguntungkan kedua belah pihak.
"Kebijakan ini bukanlah konsesi sepihak, melainkan strategi untuk membuka peluang investasi, mendorong transfer teknologi, dan memperluas akses pasar ekspor Indonesia secara lebih kompetitif," tegasnya.
Momentum Perkuat Industri Dalam Negeri
Terpisah, Menaker Yassierli mengatakan, penetapan tarif dagang AS 19% terhadap Indonesia menjadi momentum untuk memperkuat ketangguhan industri dalam negeri.
"Saya melihat ini adalah momentum kita untuk memperkuat industri dalam negeri, dengan memastikan bahwa pasar dalam negeri itu adalah memang menjadi peluang bagi industri-industri kita dalam negeri untuk bisa dioptimalkan," kata Yassierli melansir Antara, Kamis (17/7).
Adapun penetapan tarif 19% untuk produk-produk Indonesia yang masuk ke AS, dibarengi dengan pembebasan semua halangan tarif dan nontarif bagi produk AS yang masuk ke RI.
Baca Juga: Tarif Resiprokal 19%, Prabowo: Puas Kalau 0%
Saat ditanya apakah dengan terbukanya keran impor produk AS ke Indonesia akan memengaruhi potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terutama untuk industri padat karya, Yassierli mengaku tetap optimistis dengan berbagai kolaborasi pemerintah demi meningkatkan produktivitas bangsa.
"Kami kan ada program untuk gerakan produktivitas, jadi malah saya melihat ini adalah momentum yang semakin baik untuk kita launching, bagaimana yang paling penting itu adalah memperkuat resiliensi industri dalam negeri kita," kata Yassierli.
"Nanti, juga kita dengar arahan dari beliau (Presiden Prabowo Subianto), kemudian akan dijelaskan lagi oleh Pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto), dengan melibatkan kementerian lain yang terkait," imbuhnya.
Selain itu, Menaker menilai tarif baru yang dikenakan AS kepada Indonesia cukup signifikan.
"Sebelumnya, kan ada kekhawatiran kita, pasar Amerika itu kemudian membuat kita kalah bersaing karena tarifnya tinggi. Sebelumnya tarifnya 32%. Artinya kan itu (penurunan) signifikan. Artinya tetap kita optimis," ujarnya.