16 Juli 2025
17:07 WIB
Ketimpangan Tarif 19% Dari AS Bisa Tekan Fiskal Dan Moneter RI
ketimpangan tarif dinilai membuat ekspor stagnan dan impor dari AS melonjak, dan dikhawatirkan dapat menggerus laju pertumbuhan berdasarkan postur perhitungan PDB.
Penulis: Siti Nur Arifa
Foto udara aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (9/4/2025). AntaraFoto/Andry Denisah
JAKARTA - Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut, ketimpangan tarif dagang 19% yang disepakati antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) berpotensi menekan kondisi fiskal dan moneter di tanah air.
Hal tersebut, menurutnya, dilatarbelakangi oleh dampak di berbagai sektor akibat Amerika Serikat yang cenderung akan mendominasi pasar dalam negeri melalui keran impor. Sedangkan dari sisi ekspor, Indonesia tidak melakukan upaya penguatan atau tidak adanya kebijakan berimbang.
“Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter pun akan semakin tertekan,” imbuhnya dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (16/7).
Baca Juga: Tarif Resiprokal RI Jadi 19%, APINDO Ingatkan Pemerintah Tetap Waspada
Lebih detail, Syafruddin menyebut banjirnya barang-barang impor berpotensi melemahkan industri dalam negeri, terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, bahkan gejala deindustrialisasi dini.
Akibatnya, pemerintah bukan tidak mungkin harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi, sementara ketimpangan pasar bisa menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, memicu inflasi berbasis impor, dan meningkatkan volatilitas harga pangan.
“Semua ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas ekonomi makro yang justru tergerus akibat skema dagang yang tidak imbang,” tambahnya.
Menjelaskan lebih jauh, Syafruddin juga mengingatkan kesepakatan dagang yang membuka keran impor secara besar-besaran dari AS tanpa memperkuat daya saing ekspor, justru berisiko menjadi beban terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dirinya menyebut, ekspor yang stagnan dan impor yang melonjak dari AS dikhawatirkan dapat menggerus laju pertumbuhan berdasarkan postur perhitungan PDB.
“Dalam kerangka perhitungan PDB di mana pendapatan sama dengan konsumsi ditambah dengan investasi, belanja pemerintah, serta neraca ekspor-impor (Y = C + I + G + X – M), jika ekspor (x) stagnan akibat tarif sepihak 19% dan impor (M) melonjak karena akses penuh produk AS terhadap pasar domestik, maka kontribusi sektor eksternal dapat menyumbang posisi negatif, atau dalam hal ini menggerus laju pertumbuhan secara keseluruhan,” urai Syafruddin.
Utamakan Kepentingan Nasional
Terpisah, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan yang benar adalah kebijakan yang menyeimbangkan antara kepentingan ekspor, impor, dan pembangunan industri domestik.
Menurutnya, Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk menjaga kedaulatan energi dan pangan, memperkuat industri manufaktur, serta memperluas pasar ekspor nontradisional agar tidak tergantung pada AS.
Achmad menilai, bahkan jika AS menurunkan tarif menjadi 10% atau 5% sekalipun, selama memberikan syarat bahwa RI harus membeli lebih banyak produk mereka, maka kesepakatan tersebut tetap tidak dianggap sebagai win-win solution.
“Mengapa? Karena menambah impor tanpa memperkuat produksi domestik hanya akan memperbesar defisit neraca transaksi berjalan dan meningkatkan tekanan utang luar negeri,” imbuhnya.
Baca Juga: Kritik Kesepakatan Tarif RI-AS 19%, Ekonom: Bentuk Modern Pemerasan
Akhirnya, Achmad menegaskan penurunan tarif dari 32% menjadi 19% oleh AS bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan hasil kompromi tekanan yang sarat pemerasan sekaligus bentuk-bentuk ketidakadilan global yang hanya menguntungkan AS secara eksklusif.
Sedikit mengingatkan, tarif 19% berlaku terhadap produk RI yang masuk AS, namun Indonesia justru membebaskan semua halangan tarif dan nontarif bagi produk AS yang masuk ke RI. Ditambah lagi, terdapat kesepakatan Indonesia berkomitmen membeli energi dari AS senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan 50 jet Boeing Co.
Achmad kembali menekankan, dalam melakukan diplomasi ekonomi pemerintah Indonesia seharusnya bertumpu pada negosiasi setara dan strategi perdagangan yang memperkuat industri dalam negeri, bukan menambah ketergantungan.
“Dalam dunia perdagangan global hari ini, negara yang menang bukanlah negara yang membeli lebih banyak agar tidak dipalak tarif, melainkan negara yang mampu memanfaatkan pasar luar negeri untuk memperkuat ekonomi domestik dan mensejahterakan rakyatnya. Inilah prinsip kedaulatan ekonomi yang harus terus diperjuangkan oleh para pengambil kebijakan di negeri ini,” pungkasnya.