16 Juli 2025
19:33 WIB
Kena Tarif 19%, BI Ramal Pertumbuhan Ekonomi RI 4,6–5,4% Pada 2025
Kesepakatan tarif 19% dinilai akan mendukung kinerja ekspor RI. Namun, kebijakan tarif AS juga menimbulkan ketidakpastian ekonomi global.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024). Antara Foto/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan membaik pada semester II/2025 usai pengumuman hasil kesepakatan tarif dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang ditetapkan 19%.
Secara keseluruhan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2025 berada dalam kisaran 4,6-5,4%. Kisaran ini merupakan proyeksi baru yang dirilis BI pada pertengahan Mei 2025. Sebelumnya, BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,7% hingga 5,5%.
"Di samping membaiknya permintaan domestik, perbaikan ini juga didukung oleh tetap positifnya kinerja ekspor sejalan dengan hasil perundingan tarif dengan Pemerintah AS. Berbagai respons bauran kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia juga meningkatkan keyakinan pelaku ekonomi yang pada akhirnya akan mendorong kegiatan ekonomi," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Juli 2025 di Jakarta, Rabu (16/7).
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Bisa Di Bawah 4,87%
Dalam kaitan ini, stimulus fiskal ditempuh pemerintah untuk perlindungan sosial dan implementasi program-program unggulan dalam Asta Cita.
Di samping menjaga stabilitas, kebijakan Bank Indonesia juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penurunan BI-Rate, pelonggaran likuiditas, serta peningkatan insentif makroprudensial kepada perbankan guna mendorong kredit/pembiayaan ke sektor-sektor prioritas.
"Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, bersinergi erat dengan kebijakan stimulus fiskal dan sektor riil pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tegas dia.
Perry mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu terus didorong di tengah prospek perekonomian global yang melemah.
Pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh investasi nonbangunan terkait kegiatan di sektor transportasi. Kinerja ekspor cukup baik ditopang oleh ekspor berbasis sumber daya alam dan produk manufaktur. Sementara itu, konsumsi rumah tangga masih perlu ditingkatkan, tecermin pada penjualan eceran yang melambat.
Secara sektoral, Lapangan Usaha (LU) Pertanian tetap tumbuh ditopang oleh kinerja subsektor LU Perkebunan dan dukungan program Pemerintah, sedangkan kinerja beberapa LU utama lainnya seperti LU Industri Pengolahan serta LU Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum belum kuat.
Secara spasial, ekonomi di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) masih tumbuh di atas 5%, sedangkan wilayah lainnya belum meningkat.
Ketidakpastian Ekonomi Global
Kendati demikian, Bank Indonesia memproyeksikan ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat pasca pengumuman kenaikan tarif efektif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke beberapa negara maju dan berkembang.
"Kebijakan kenaikan tarif resiprokal AS yang direncanakan berlaku mulai 1 Agustus 2025 diprakirakan akan memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya di negara maju," ujar Perry.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang dalam tren menurun di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara tersebut.
Kinerja ekonomi China juga diprakirakan belum kuat, di tengah berbagai strategi diversifikasi ekspor. Sementara itu, kinerja perekonomian India diprakirakan tetap baik didukung permintaan domestik.
Baca Juga: BI Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 4,6-5,4% Pada 2025
"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 masih belum kuat sekitar 3,0%," ungkapnya.
Perry menilai tekanan inflasi AS masih menurun, sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi arah penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan.
Sementara itu, pergeseran aliran modal keluar dari AS ke Eropa dan negara berkembang, serta komoditas yang dianggap aman seperti emas, terus berlanjut sejalan dengan meningkatnya risiko ekonomi AS, termasuk risiko fiskal.
Perkembangan ini mendorong berlanjutnya pelemahan indeks mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju (DXY) dan negara berkembang (ADXY).
"Ke depan, kewaspadaan serta respons dan koordinasi kebijakan yang lebih kuat diperlukan guna memitigasi ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi, serta menjaga ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," tutupnya.