c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

16 Juli 2025

11:49 WIB

Kritik Kesepakatan Tarif RI-AS 19%, Ekonom: Bentuk Modern Pemerasan

Tarif 19% diberlakukan terhadap produk RI yang masuk AS. Sebaliknya, Indonesia berjanji membebaskan semua halangan tarif dan nontarif bagi produk AS yang masuk ke tanah air.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p>Kritik Kesepakatan Tarif RI-AS 19%, Ekonom: Bentuk Modern Pemerasan</p>
<p>Kritik Kesepakatan Tarif RI-AS 19%, Ekonom: Bentuk Modern Pemerasan</p>
Ilustrasi - Aktivitas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Antara Foto/Aditya Pradana Putra/aa.

JAKARTA - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritik keras kesepakatan di balik keputusan tarif resiprokal 19%, yang baru saja diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk Indonesia.

Meski terlihat ‘berhasil’ menekan secara signifikan angka tarif dari 32%, rupanya kebijakan tarif baru yang diberikan hanya berlaku sepihak. Di mana tarif 19% berlaku terhadap produk RI yang masuk AS, namun sebaliknya, pemerintah Indonesia justru berjanji membebaskan semua halangan tarif dan nontarif bagi produk AS yang masuk ke RI.

“Seperti cerita rakyat tentang raja yang meminta upeti emas dan berlian sebelum memberi izin dagang, inilah bentuk modern dari pemerasan. Ancaman (kebijakan tarif) 32% menjadi alat tekanan, dan penurunan ke 19% dijual dengan harga yang jauh lebih mahal,” ujar Achmad dalam pernyataan tertulis, Jakarta, Rabu (16/7).

Baca Juga: Trump Turunkan Tarif Resiprokal Untuk Indonesia Jadi 19%

Adapun maksud pemerasan yang diungkap Achmad, menjurus pada syarat dan kesepakatan bahwa Indonesia berkomitmen untuk membeli energi dari AS senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan 50 unit jet Boeing Co.

Padahal, pengalihan energi yang bersumber dari AS justru dikhawatirkan hanya akan membuat biaya angkut semakin membengkak, ketimbang impor energi dari negara yang sebelumnya sudah dilakukan, semisal Singapura dan Timur Tengah.

Belum lagi untuk produk pertanian, RI sendiri belakangan ini ‘memamerkan’ upaya dan keberhasilan dari program swasembada pangan.

Semestinya, Achmad menuturkan, tarif digunakan untuk melindungi kepentingan nasional dan memperkuat posisi tawar domestik. Namun, kesepakatan antara RI-AS justru membuat Indonesia membeli lebih banyak dari AS hanya demi tarif yang menurutnya masih tetap tinggi.

“Kesepakatan ini bukan cerminan kemitraan strategis setara, melainkan bentuk ketidakadilan struktural,” imbuhnya.

Mengorbankan Devisa
Menyorot ketidakseimbangan neraca dagang antara kedua negara yang selalu dibicarakan Trump, Achmad menyebut, AS kali ini mendapat keuntungan ganda lantaran tidak hanya berpeluang menurunkan defisit perdagangannya dengan menjual lebih banyak ke Indonesia, namun tetap memungut tarif impor 19% dari barang RI.

Baca Juga: Hadapi Kebijakan Tarif, AS Masih Jadi Mitra Dagang Utama Produk Halal RI

Dia menekankan, negosiasi perdagangan yang adil adalah nol persen versus nol persen, di mana barang RI bebas masuk pasar AS, begitupun sebaliknya, sembari menjaga keseimbangan neraca dagang lewat diversifikasi dan peningkatan nilai tambah domestik.

“Namun, dalam kasus ini, Indonesia justru menyerahkan dua instrumen sekaligus, pasar dan devisa, tanpa imbal balik strategis jangka panjang,” ujar Achmad.

Ilustrasi perang dagang China, Amerika dan Indonesia. Shutterstock (Edited)/Dok

Di saat bersamaan, Trump juga menetapkan kebijakan, jika ada produk dari negara ketiga dengan tarif lebih tinggi yang akan diekspor ke AS melalui Indonesia alias transshipment, maka tarif 19% juga akan ditambahkan pada produk tersebut.

“Apabila terjadi transshipment dari negara dengan tarif yang lebih tinggi, maka tarif tersebut akan ditambahkan ke tarif yang dibayarkan Indonesia,” ujar Trump dalam pernyataannya di Gedung Putih, melansir Bloomberg.

Baca Juga: Prabowo Berencana Mau Lobi Langsung Trump Soal Tarif Impor 32%

Lebih jauh, Achmad bahkan mengatakan bahwa narasi defisit neraca perdagangan yang dimiliki AS terhadap Indonesia sejatinya 'menyesatkan'.

Dia setuju bahwa Amerika memang defisit dagang sekitar US$18 miliar dengan Indonesia. Namun, defisit tersebut nyatanya adalah bagian dari dinamika rantai nilai global yang kompleks, salah satunya banyak ekspor produk Indonesia ke AS mengandung komponen impor AS atau negara lain.

Achmad menegaskan, menggunakan defisit bilateral sebagai alasan tarif bukan saja cacat logika, tetapi juga mengabaikan hakikat rantai pasok global.

“Lagi pula, tujuan ekspor Indonesia adalah menjaga pertumbuhan ekonomi domestik, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat devisa, bukan menyeimbangkan defisit perdagangan AS,” tekannya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar