27 Maret 2024
11:27 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto menyampaikan, semua pihak mesti menyadari fenomena kenaikan harga di momen HBKN tidak terjadi sepanjang periode Ramadan hingga Lebaran. Dia menggarisbawahi, sebetulnya tidak mungkin kenaikan harga musiman terjadi setiap hari selama periode ini.
Fenomena ini pun dapat dijadikan strategi bagi masyarakat untuk menghindari tekanan kenaikan harga lebih lanjut kepada daya belinya. Paling mudah, masyarakat bisa menghindari kegiatan belanja di tanggal ganjil sepekan terakhir jelang Idulfitri. Pola ini, disebutnya terjadi pada Lebaran sebelumnya.
“Kenaikan harga itu hanya di hari-hari tertentu, biasanya itu sudah mulai harus benar-benar mengantisipasi dari H-7, H-5, dan H-3 (lebaran) karena krusial orang akan banyak berbelanja. Seperti itu ya pattern-nya kemarin,” paparnya dalam diskusi publik daring, Jakarta, Selasa (26/3).
Selain untuk masyarakat, pedoman sederhana ini juga dipakai oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam merencanakan operasi pasar bahan pokok pada hari-hari tersebut. Ekonom pun mewanti agar operasi pasar yang nantinya dilakukan juga dilakukan ‘asal ditebar’, yang penting pasar dipenuhi suplai barang.
Oleh karena itu, tujuan operasi pasar bisa menjadi lebih optimal menyasar harga barang menjadi turun dan konsumsi masyarakat menjadi semakin meningkat. Ujungnya, operasi pasar yang diterapkan menjadi lebih efektif dan efisien.
Pasar yang jadi target operasi juga bisa dipilih dengan teliti agar bisa semakin berdampak. Eko pun optimistis, operasi pasar terukur yang dilakukan saat hari-hari ganjil sepekan jelang lebaran dapat berdampak signifikan karena memperhatikan pola harga di momen-momen penting.
Baca Juga: Mendag Zulhas Pastikan Harga Bapok Tak Naik Jelang Lebaran
“Kalau di Jawa itu ada pasar-pasar tertentu yang ramai seperti Pasar Pon atau Pasar Wage itu dapat dilihat. Pada momen itulah sebenarnya intervensi harga (operasi pasar) bisa memungkinkan dilakukan atau harus dilakukan kalau ada barangnya,” tambahnya.
Menanggapi itu, Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menambahkan, masyarakat juga ikut aktif berperan dalam menjaga harga barang stabil lewat manajemen permintaan belanja lebaran. Misalnya, bisa menjadwalkan pembelian bahan pangan lebih awal sekitar 2 pekan atau 10 hari jelang lebaran.
Khususnya, produk pangan yang dapat awet dan tahan lama di media simpan seperti kulkas. Jadwal pembelian yang sama juga bisa diterapkan pada produk sandang atau baju baru sepekan sebelumnya.
“Sehingga bisa mengurangi peak demand pada 5-7 hari terakhir ini (Ramadan)… Selain (mengindari) ramai, juga harganya kemungkinan naik, terutama untuk produk pangan,” terang Berly.
Tren ‘Mantab’ Menguat Jelang Lebaran 2024
Di sisi lain, Eko menuturkan, tabungan masyarakat kelas menengah-bawah terus menunjukkan tren penurunan dan semakin menipis dalam beberapa tahun terakhir, terutama jelang lebaran Idulfitri. Pada 2022, masyarakat sempat memiliki tabungan di atas Rp2,5 juta; turun menjadi Rp2 juta pada 2023; serta diprediksi menurun lagi ke kisaran Rp1,9 juta di 2024.
“Itu menggambarkan makin banyak masyarakat Indonesia menghadapi lebaran 2024 ini makan tabungan (mantab). Syukur-syukur kalau masih punya tabungan ya, kalau enggak punya tabungan dan makan tabungan ini kemungkinan akan banyak pinjam,” kata Eko.
Baca Juga: Ekonom: Fenomena Makan Tabungan Masih Akan Berlanjut Tahun Ini
Per Februari 2024, BI mendata, proporsi pengeluaran konsumen terhadap pendapatan mencapai 73,0%; proporsi pembayaran cicilan/utang terhadap pendapatan mencapai 10,3%; dan proporsi pendapatan konsumen yang disimpan dari pendapatan mencapai 16,7%.
Adapun tendensi masyarakat untuk meminjam juga disinyalir akan melonjak karena momen mudik lebaran di kampung halaman yang hanya setahun sekali terlaksana, ditambah faktor sosial dan budaya. Tak heran, kegiatan mudik 2024 diproyeksi akan mencetak mudik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, sementara ini belum terlihat dari survei mudik 2024 yang dilaksanakan pemerintah, ekspektasi besaran duit yang akan dibawa pemudik nantinya. Meski, indikator dini efek ekonominya bisa terlihat dari pilihan moda transportasinya.
Jika mulai bergeser dari kendaraan pribadi menjadi transportasi darat umum atau berubah dari kelas penumpang eksekutif menjadi ekonomi bisa mengindikasikan pelemahan ekonomi. “Nah itu mungkin ada tanda-tanda perlambatan daya beli juga,” terangnya.
Powered by Froala Editor