10 Januari 2024
20:58 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Rikando Somba
JAKARTA - Direktur Celios Bhima Yudhistira menyampaikan, fenomena masyarakat yang makan tabungan atau "mantab" masih akan berlanjut pada 2024. Fenomena ini pun menjadi kontradiksi dengan pernyataan pemerintah yang mengklaim bahwa kondisi ekonomi masih baik-baik saja.
Hal itu disorotinya berdasarkan perkembangan proporsi pengeluaran responden yang dikeluarkan BI per Desember 2023. Sepanjang Januari-Desember 2023, rasio tabungan atas pendapatan masyarakat turun dari 16,7% jadi 15,7%; lalu rasio konsumsi naik dari 73,6% jadi 74,3%; sedangkan cicilan naik dari 9,7% jadi 10%.
“Kalau porsi tabungan masyarakatnya makin menipis, artinya masyarakat melakukan konsumsi dengan mengambil uang dari tabungan, terutama untuk (masyarakat) kelas menengah ke bawah,” jelasnya kepada Validnews di Jakarta, Rabu (10/1).
Meski total pengangguran nasional menurun, Bhima mengingatkan, sektor informal di Indonesia masih besar sekitar 60%, kemudian ada sekitar 12,3% pekerja tidak dibayar. Lebih lanjut, penilaiannya, keberadaan lapangan pekerjaan ini pun malah tak menjamin dan jadi tidak berkualitas.
“Nah kalau tidak berkualitas, maka upah yang diterima oleh para pekerja itu tidak mampu untuk membayar kebutuhan hidupnya,” katanya.
Selanjutnya, selain masalah upah lapangan kerja, Bhima pun memaparkan, masyarakat Indonesia juga alami jeratan pinjaman online (pinjol) yang masif. Secara implisit, kondisi ini juga menunjukkan sebenarnya konsumsi masyarakat masih tertekan.
Baca Juga: Uang Kelas Menengah Tergerus Buat Makan, Pemerintah Diminta Perhatian
Pendapatan kerja yang tak mampu menopang konsumsi, mau tidak mau memaksa para pekerja ini terjebak pinjol, kendati sudah bekerja. Paling miris, banyak pekerja yang malah jadi korban pinjol ilegal berbunga tinggi.
“Itu juga indikator sebenarnya, ekonomi enggak baik-baik saja, konsumsi sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya.
Kemudian, dia juga menyoroti inflasi Indonesia pada 2023 yang tergolong rendah di kisaran 2,61% (yoy). Semua pihak mesti menyadari, jika ditelisik lebih dalam, komponen inflasi inti sebesar 1,8% (yoy) Bhima anggap terlampau kecil.
Lagi-lagi, inflasi yang terbilang kecil itu mengonfirmasi terjadinya pelemahan dari sisi permintaan. Pergerakan inflasi tahun lalu lebih disebabkan dari sisi pasokan, bukan karena masyarakat yang banyak belanja sehingga terjadi inflasi.
“(Inflasi terjadi) lebih ke arah pasokan, misal pupuk mahal, akhirnya harga gabah dan berasnya naik. Jadi lebih karena sisi pasokan yang mendesak inflasi, bukan dari sisi permintaan,” paparnya.
Tak heran, model inflasi seperti ini cenderung tidak sehat bagi perkembangan makroekonomi Indonesia. Pasalnya, inflasi yang sehat didorong dari sisi permintaan. Sekali lagi, tanda-tanda ini juga menggambarkan bahwa konsumsi masyarakat tertekan.
“Jadi kalau melihat fenomena lebaran, pandemi mulai reda, dan aktivitas mulai normal. Tapi konsumsi masyarakatnya dan sebagian pendapatan masyarakat, sebenarnya bisa dibilang belum pulih dibandingkan prapandemi,” urainya.
Baca Juga: Wamenkeu: Konsumsi Masyarakat Kunci Ekonomi 2024 Tumbuh 5,2%
Pemerintah pun diharapkan dapat merespons berbagai tanda kelesuan ini tidak hanya lewat bantuan sosial. Namun juga mengendalikan inflasi dari sisi pasokan secara lebih serius, sehingga harga beras, cabai dan banyak komoditas pangan lainnya tidak naik terlalu tinggi.
Tak ketinggalan, pemerintah juga harus menciptakan lapangan kerja berkualitas, dengan upah yang lebih bagus sembari kebijakan pengupahannya akomodatif berpihak pada daya beli para pekerja rentan.
“Jangan kayak sekarang, udah lihat konsumsi rumah tangganya sedikit tertekan, tapi formulasi upah minimum pemerintah kecil sekali kenaikan untuk 2024 ini,” terangnya.
Hasilnya, tekanan masyarakat atau pekerja untuk makan tabungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. “Sayangnya makan tabungan juga enggak cukup, akhirnya masyarakat juga harus pinjam ke pinjol, misalnya. Tren itu masih akan terjadi di 2024,” bebernya.
Bebani Ekonomi 2024
Sementara ini, Bhima memaparkan, fenomena penurunan konsumsi ini akan berdampak minimal terhadap capaian pertumbuhan 2023. Proyeksinya pertumbuhan ekonomi akan finis di kisaran 5%.
Namun, dia menggarisbawahi, bahwa kondisi sama yang berlanjut akan membuat capaian pertumbuhan ekonomi di 2024 akan semakin berat dan terancam.
“Ekonomi tumbuh kisaran 5% di 2023, tapi yang berat di 2024,” sebutnya.
Dalam skala lebih kecil, dia mensinyalir, momen pemilu bisa jadi sentimen negatif kelompok masyarakat paling atas untuk menahan dan mengurangi kegiatan konsumsi. Hal ini terjadi sebagai bentuk mitigasi risiko politik di Indonesia.
“Kalau untuk masyarakat menegah-bawah, (konsumsi) masih banyak yang andalkan bansos,” pungkasnya.