01 Maret 2023
16:30 WIB
Penulis: Dr. (Kand.) Erni Rahmawati, S. Sos., S. S., M. Krim., M. Pd.
Editor: Rikando Somba
Kasus penganiayaan yang dilakukan Mario (20) pada David (17) hari Senin (20/2/2023) sepertinya tidak hanya memunculkan pembahasan mengenai kekerasan remaja. Karena keberadaan orang-orang penting dalam hubungan kedua remaja ini, maka isu tersebut seolah membentuk cabang dan berhubungan dengan masalah lainnya terkait kekayaan ayah Mario, Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan II.
Salah satu itu yang utama kemudian mengemuka adalah asal muasal harta kekayaan 56 M Rafael dan kepemilikan Jeep Wrangler Rubicon yang tidak terdaftar di LHKPN KPK dengan status saat ini “masa pajak habis.”
Terlepas dari flexing atau tindakan mempertontonkan kekayaan yang sering dilakukan Mario dalam akun media sosialnya, yang tentunya menimbulkan sentimen tersendiri bagi publik, isu kekayaan Rafael sebenarnya dapat dianggap kurang relevan dengan kasus penganiayaan yang terjadi. Namun, respon lanjutan itu tentunya menjadi konsekuensi logis dari sebuah tindakan yang menyimpang dari norma hukum dan sosial yang diakui.
Dalam peristiwa ini, keberadaan media yang menguatkan nuansa “trial by the press,” menjadikan pemberitaan sebagai sarana kritik rakyat. Pemberitaan yang diangkat tidak hanya bertujuan untuk mengangkat gosip baru sebagai buah bibir masyarakat, tapi juga berfungsi untuk menjadi faktor pendorong maksimalisasi kerja sistem peradilan pidana (SPP) dan negara untuk mengatasi kasus Mario-David dan masalah lain yang terkait.
Walau masih jauh dari penarikan kesimpulan atau penjatuhan putusan, secara kriminologis, penulis melihat bahwa tindakan Mario dapat dikategorikan sebagai kejahatan kekerasan.
Baca juga: Rafael Alun Trisambodo Undur Diri Dari ASN DJP Kemenkeu
Teivāns-Treinovskis et al. (2016) menyatakan bahwa kejahatan kekerasan adalah tindak pidana di mana kekerasan pribadi menjadi modus operandi, sebagai cara untuk mencapai tujuan kriminal dan sebagai unsur motivasi. Kejahatan kekerasan dikategorikan sebagai tindak pidana ketika memenuhi kriteria tertentu seperti modus operandi pelakunya (adanya kekerasan fisik, percobaan kekerasan fisik, atau ancaman penggunaan kekerasan fisik); adanya unsur kesengajaan, dan; adanya korban yang menjadi sasaran.
Dalam semua kejahatan kekerasan, pelaku melakukan penolakan tegas untuk memedulikan kepentingan korbannya, baik nyawa, kesehatan, atau integritasnya.
Kejahatan kekerasan juga adalah bagian dari kejahatan jalanan (street crime). Sanchez (2019) menyatakan bahwa kejahatan jalanan adalah tindakan yang dapat terjadi baik di ruang publik mau pun privat dan, termasuk di dalamnya, adalah kekerasan interpersonal dan kejahatan properti. Menurut Hasan, et al. (2020), kejahatan jalanan didominasi oleh kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, kejahatan terhadap harta benda, kejahatan terhadap keamanan dan ketertiban umum, kejahatan terhadap kesusilaan, dan kejahatan narkotika. Karena bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, setiap peningkatan tren kejahatan ini memiliki dampak langsung pada masyarakat sehingga menimbulkan keresahan.
Hasan et al. juga menyatakan bahwa, berdasarkan tindakannya, kejahatan jalanan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) kejahatan yang melibatkan kekerasan, seperti pembunuhan, perkosaan, penyerangan/penganiayaan, perampokan, dan penculikan (predatory street crime), dan; 2) kejahatan terhadap harta benda dan tanpa kekerasan, seperti kejahatan narkoba (nonpredatory street crime).
Studi menemukan bahwa kejahatan jalanan didominasi oleh masyarakat kelas bawah. OESD (n. d.) mendefinisikan kejahatan jalanan sebagai kejahatan yang dilakukan secara tidak proporsional (artinya, kekuatan pelaku dan korban tidak seimbang), dilakukan oleh dan terhadap orang-orang di kelas bawah, dan biasanya terjadi di ruang publik. Sedang Barkan (2020) menjelaskan, bahwa statistik jumlah penangkapan dan jumlah studi mengenai kejahatan jalanan menunjukkan bahwa individu dari kelas bawah jauh lebih mungkin melakukan kejahatan jalanan daripada individu dari kelas atas. Hal ini berkaitan dengan efek kemiskinan yang di dalamnya menghasilkan kemarahan, frustrasi, kebutuhan ekonomi, dan kebutuhan untuk dihormati.
Dengan pola asuh yang buruk dan ditambah oleh masalah lainnya, anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah cenderung mudah terlibat dalam perilaku menyimpang atau pelanggaran hukum ketika remaja dan dewasa.
Baca juga: Korban Penganiayaan Anak Pejabat Berharap Perlindungan LPSK
Dalam kasus Mario-David, tindakan yang dilakukan Mario jelas merupakan kejahatan kekerasan dan berarti pula kejahatan jalanan karena melibatkan penganiayaan. Dalam hal ini, kejahatan jalanan yang dilakukan bersifat predatory. Namun, walau pun hubungan pelaku-korban dalam kejahatan jalanan ini telah sesuai dengan pernyataan OESD, bahwa terdapat perbedaan kekuatan antara Mario dan David, mau tidak mau, timbul sebuah pertanyaan, mengapa kekerasan ini justru dilakukan oleh individu dari kelas atas?
Hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan mengenai karakteristik pelaku kejahatan kekerasan atau kejahatan jalanan tersebut. Apakah ada teori kriminologi yang tepat untuk memandang masalah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba mengajukan dua teori yang sekiranya dapat menjelaskan kasus ini. Pertama, teori kekuasaan Max Weber yang dipadu dengan beberapa pandangan ahli lain. Teori ini penulis gunakan untuk menjelaskan kejahatan yang terjadi.
Dalam teorinya, Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan yang ada pada individu atau sejumlah orang untuk dapat mencapai kehendaknya dalam suatu tindakan sosial, meski pun mendapat perlawanan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Terkait dengan itu, Etzioni menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi sebagian atau semua perlawanan, untuk merubah para pihak yang menempatkan diri sebagai oposisi (dalam Santoso, 2002).
Dalam pandangan Weber, kesempatan (chance atau probability) merupakan konsep inti. Kesempatan dapat dimiliki karena adanya faktor ekonomi, kehormatan, kekuatan partai politik, atau apa saja yang menjadi sumber kekuasaan individu.
Kesempatan bagi individu dari kelas tinggi tentunya lebih besar dibanding individu dari kelas yang lebih rendah. Selanjutnya, Etzioni melihat bahwa asset/milik/modal yang dimiliki seseorang (misalnya uang, benda berharga, kekuatan fisik, dan pengetahuan) dapat digunakan oleh pemiliknya untuk menunjang kekuasaan. Aset juga sering disebut sebagai kekuatan potensial atau sumber kekuasaan.
Sifat aset kurang lebih stabil. Sedangkan sifat kekuasaan dinamis atau prosesual (proses yang berkesinambungan). Maksudnya, walau pun aset yang dipunyai individu tidak berkurang, kekuasaan yang dimilikinya dapat berubah karena hal-hal tertentu (Etzioni, dalam Santoso, 2002). Karena itu, kekuasaan tidak selalu bertahan karena ada saatnya masyarakat tidak setuju atau melakukan perlawanan, baik secara terbuka atau terselubung (Scott, dalam Santoso, 2002).
Dari pembahasan tersebut, dapat dilihat bahwa teori kekuasaan ini dapat digunakan untuk memandang kasus penganiayaan Mario terhadap David.
Dalam hal kekuatan, dapat kita lihat adanya indikasi dimana Mario merasa memiliki kekuasaan yang membuatnya superior atas David, yaitu kekuatan fisik, ekonomi, sosial, dan politik. Superioritas ini tidaklah baru muncul ketika penganiayaan terjadi, namun diawali dengan berbagai perilaku yang mengarah pada pertunjukan kekuatan, seperti flexing di media sosial.
Sebenarnya, selain kekuatan fisik, sumber kekuasaan lainnya tidak dimiliki Mario secara langsung, namun milik ayahnya. Namun, bagaimana pun, hal inilah yang membuatnya melihat korban sebagai pihak yang lebih subordinat sehingga ia memiliki kesempatan untuk melakukan penekanan tanpa perlawanan yang berarti. Ditambah pula, Mario merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi perlawanan dan membuat pihak yang tidak setuju dengannya (saksi-saksi yang ingin menolong Mario) tidak dapat berbuat apa-apa.
Walau pun proses penyidikan masih berlangsung, untuk memahami beberapa hal, seperti: apakah isi aduan Agnes (15) pada Mario?; perilaku semacam apa yang menjadi masalah dalam hubungan Agnes dan David?; atau bagaimana proses emosional yang dialami Mario karena pesan dan panggilannya tidak digubris oleh David dalam jangka waktu tertentu, sikap Mario telah memperlihatkan bahwa ia memiliki intensi yang tidak baik sejak kedatangannya di depan rumah teman David.
Selanjutnya, ketika pada akhirnya peristiwa pemukulan terjadi, terdapat pengabaian pada hak kesehatan, nyawa, dan integritas korban. Hal ini dapat dilihat dengan berlanjutnya penganiayaan yang dilakukan, dan semakin keras ketika korban sudah tidak berdaya. Adanya permohonan saksi yang mengingatkan Mario untuk memedulikan nyawa David pun tidak digubrisnya. Bahkan dalam pemberitaan, mengemuka bahwa pelaku menantang siapa pun yang ingin melaporkannya kepada pihak berwajib.
Baca juga: KPK Jadwalkan Klarifikasi LHKPN Rafael Alun Sambodo
Tetapi, sesuai dengan pandangan Scott (dalam Santoso, 2002), seberapa besar pun kuatnya kekuasaan yang dimiliki individu, perlawanan muncul dan memiliki dampak yang serius bagi Mario dan keluarganya. Perlawanan ini tidak hanya datang dari relasi korban, namun juga dari masyarakat luas yang dipandu oleh media massa.
Berbagai pemberitaan dan laporan media atas kasus ini telah menjadi penguat akan adanya kritik masyarakat sehingga menjadi unsur pendorong bagi maksimalisasi kinerja aparat peradilan pidana, terutama kepolisian, untuk segera menindak tegas kejahatan ini.
Selain itu, perlawanan masyarakat juga memberikan tekanan bagi negara untuk melakukan tindakan lanjut karena kasus ini telah melibatkan pejabat negara. Hal ini, salah satunya, dapat saja disebabkan oleh tangkapan publik terhadap flexing yang dilakukan Mario. Dalam hal ini, perilakunya yang arogan menjadi bumerang bagi dirinya dan keluarganya. Sebagai lanjutan, perlawanan tersebut menghasilkan rentetan keputusan dari beberapa lembaga yang terkait dengan kehidupan Mario dan ayahnya, seperti di-DO-nya Mario dari Program Studi Ekonomi Universitas Prasetya Mulya, dipecatnya Rafael dari jabatan yang dipegangnya, dan diperiksanya kekayaan Rafael oleh KPK karena terindikasi melakukan pencucian uang.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Etzioni mengenai sifat kekuasaan yang dinamis, dimana perubahan kekuasaan dapat terjadi walau aset yang dimiliki tidak berubah. Terkait kondisi finansial dan material Rafael saat ini, walau pun tidak atau belum terjadi perubahan secara signifikan, kekuasaan yang dimilikinya telah menurun secara drastis.

Kedua, yang juga cocok dikenakan kepada kasus ini adalah teori Social Bonding (ikatan sosial) yang diajukan Hirschi pada 1969. Teori ini digunakan untuk menjelaskan pencegahan kejahatan.
Chen (2021) menyatakan bahwa ikatan sosial dapat digambarkan sebagai keberhasilan lembaga sosial dan profesional dalam mencegah atau menghalangi individu untuk melakukan tindakan ilegal. Dalam hal ini, ikatan sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku individu. Karena itu, orang bertindak “taat hukum atas dasar kesadaran bahwa jika ia melakukan hal yang sebaliknya (melanggar hukum), ia akan melanggar nilai-nilai pribadi dan kepekaan kolektif” (Simpson, dalam Chen, 2021).
Hirschi (dalam Chriss, 2007) menyatakan bahwa “semakin kuat ikatan seseorang dengan anggota masyarakat lainnya, semakin percaya mereka pada nilai-nilai masyarakat konvensional; dan semakin banyak mereka menyumbang dan terlibat dalam jalur kegiatan konvensional, semakin kecil pula kemungkinan bagi mereka untuk menyimpang.”
Hirschi melihat bahwa “nilai-nilai pribadi dan kepekaan kolektif” tersebut ditunjukkan melalui empat elemen kontrol sosial informal, yaitu keterikatan (attachment), komitmen (commitment), keterlibatan (involvement), dan kepercayaan (belief). Keempat elemen tersebut bersifat fundamental karena dapat mempengaruhi karakteristik dan perilaku individu lainnya. Keempat elemen tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu.
Chriss (2007) melihat bahwa keterikatan memiliki fungsi integrasi. Keterikatan merupakan aspek afektif atau emosional dari ikatan sosial. Dalam pengertian ini, keterikatan bersifat mempersatukan ikatan sosial individu secara umum. Ikatan yang kuat antara anak dan keluarga atau pertemanan (yang tidak merepresentasikan norma penyimpangan) dapat mencegah penyimpangan.
Selanjutnya, komitmen memiliki fungsi penting dalam pencapaian tujuan bersama. Individu yang telah menginvestasikan sumber daya, waktu dan energi dalam mencapai tujuan (yang diterima secara sosial) akan merasa lebih merugi jika ia melakukan perilaku menyimpang dibandingkan dengan individu yang menginvestasikan sedikit pengabdian dalam mengejar tujuan tersebut. Contohnya, anak yang rajin belajar akan merasa lebih merugi ketika ia mencontek dibanding anak yang tidak belajar (Wickert, 2022).
Unsur keterlibatan berfungsi dalam membangun kemampuan beradaptasi setiap anggota kelompok. Individu yang secara intensif terlibat dalam kegiatan konvensional (seperti sekolah atau bekerja) memiliki sedikit waktu dan kesempatan untuk terlibat dalam perilaku menyimpang. Aktivitas tersebut juga memperkuat disiplin diri yang diperlukan untuk melawan dorongan perilaku menyimpang (Wickert, 2007).
Baca juga: DPR Soroti Kekayaan Pejabat Pajak
Terakhir, unsur kepercayaan dalam hubungan sosial. Hal ini mengacu pada kepercayaan dan validitas nilai dan norma masyarakat umum (mainstream). Semakin banyak nilai dan norma ini diinternalisasi, semakin sulit untuk dilanggar (Wickert, 2021). Hasilnya, bisa dicontohkan dengan keadaan dimana anak yang percaya dengan ikatan sosialnya memiliki kesadaran untuk tidak melakukan pelanggaran atau penyimpangan, bahkan, ketika orang tuanya jauh secara fisik di saat dorongan itu muncul (Chriss, 2007).
Dalam permasalahan dimana anak melakukan pelanggaran hukum, Hirschi percaya adanya krisis dalam hubungan antara anak dengan lingkungan sosial terdekatnya hingga ia tidak lagi memiliki kesadaran untuk menjaga kepercayaan kelompok dengan mempertahankan sikap yang diterima secara sosial. Ini disebabkan ketidakmampuan keempat elemen yang ada, mengikatnya secara sosial dengan perilaku normatif.
Dalam kasus Mario, walau pun baru merupakan asumsi, perilaku yang bersangkutan memperlihatkan adanya kemungkinan putusnya ikatan sosial yang seharusnya dapat mencegahnya dari perbuatan melanggar hukum.
Jika saja keempat elemen ikatan sosial tersebut dapat memberikan kesadaran internal padanya untuk tidak melakukan penyimpangan bahkan ketika dirinya tidak diawasi oleh lingkup sosial primernya, mungkin saja peristiwa penganiayaan itu tidak terjadi. Bahkan, lebih jauh lagi, jika norma sosial yang berlaku dalam kehidupan Mario adalah, termasuk di dalamnya, pengajaran bahwa mempertontonkan kekayaan adalah sebuah perilaku yang tidak disetujui, mungkin saja Mario tumbuh sebagai pribadi yang tidak arogan.
Pada akhirnya, sebesar apa pun kekuasaan yang dimiliki individu, tetap akan memiliki batas.
Sikap superioritas yang ditunjukkan secara terbuka, hingga sampai melanggar hukum, takkan dapat bebas tanpa ada konsekuensi yang menyertainya.
Dalam hal ini, kekuatan media massa sudah menjadi wadah bagi dieksposnya tindakan yang melanggar batas normatif, sekaligus tempat untuk menampung pendapat publik, yang pada akhirnya menjadi pendorong bagi SPP dan negara untuk melakukan tindakan yang paling tepat.
Tentunya, dalam kasus ini, diharapkan tindak lanjut yang telah dilakukan oleh SPP dan negara tetap konsisten dalam tujuannya melakukan hal yang benar, dan sama sekali tidak terkait dengan penal populism – sebuah kebijakan penghukuman yang keras yang diambil berdasarkan tren sikap masyarakat untuk kepentingan politis semata (ICJR, 2019). Karena, jika demikian adanya, terdapat kemungkinan bahwa sikap tegas tersebut bersifat sangat relatif, dan dengan demikian, sesuai argumen Etzioni, kekuasaan yang dimiliki pelaku (masih) memiliki kekuatan untuk mengatasi perlawanan yang muncul saat ini, bahkan bisa saja pada akhirnya mampu mengubah sikap para oposan.
Untuk mengatasi hal ini, konsistensi kekuatan media massa tetap diperlukan sebagai alat untuk menyadarkan masyarakat bahwa tindak yang sewenang-wenang tidak boleh ditolerir hanya karena pelakunya adalah orang yang memiliki otoritas, dan dengan demikian harus diberi sanksi yang setimpal.
Mungkin saja, dengan dorongan tersebut, negara dan lembaga yang terkait dapat melakukan tindakan terbaiknya, dan melakukan perubahan yang berarti bagi pencegahan munculnya kasus-kasus semacam ini di masa depan.
Referensi
Barkan, S. E. (2020). Social Problems: Continuity and Change. FlatWorld.
Chen, S. (2021). Extending Social Bond Theory to Occupational Crimes: Assessing the Role of Opportunity. University of Maryland.
Chriss, J. J. (2007). The Functions of the Social Bond. Cleveland State University.
Hasan, I. et al. (2020). Street Crime during Covid-19 Pandemic in Perspective of Routine Activity Law Theory and it Influence on Indonesian Criminal Law. International Journal of Science, Technology & Management, 46-54.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). (2019). Kebangkitan Penal Populism di Indonesia. https://icjr.or.id/kebangkitan-penal-populism-di-indonesia/.
Open Education Sociology Dictionary (OESD). (n. d.). Street Crime. In sociologydictionary.org. Retrieved November 21, 2022 from https://sociologydictionary.org/street-crime/.
Poloma, M. M. (1979). Contemporary Sociological Theory. MacMillan Publishing, Co.
Sanchez, S. (2019). Street Crime, Corporate Crime, and White-Collar Crime. In Burke, et.al. (Ed.), SOU-CCJ230 Introduction to the American Criminal Justice System (p. 51-54). Open Oregon Educational Resources.
Santoso, T. (2002). Teori-Teori Kekerasan. Ghalia Indonesia.
Teivāns-Treinovskis, J. et al. (2016). Country’s Development and Safety: Violent Crimes in Crime Structure. Journal of Security and Sustainability Issues, 6(2), 227-233. http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2016.6.2(3).
Wickert, C. (2022, April 18). Social bonds theory (Hirschi). https://soztheo.de/theories-of-crime/control/social-bonds-theory-hirschi/?lang=en#attachment.