16 Januari 2024
20:19 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Perdagangan Ritel Indonesia saat ini dinilai berada dalam kondisi kritis. Berbagai regulasi dan masalah regulasi akhir-akhir ini disebut telah menghambat industri secara keseluruhan.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah mengatakan, pihaknya melihat bahwa pertumbuhan retail saat ini jalan di tempat dan sulit bergerak keluar dari dampak pandemi covid-19.
“Banyak hambatan-hambatan, contoh di Indonesia ini adalah modern trade bukan general trade. Jadi modern trade ini sudah rapi bayar pajak, tokonya jelas, karyawannya juga. Namun, pada saat pengurusan perizinan untuk impor, kita legal ya, tapi itu sangat sulit mendapatkan produk-produk. Terutama untuk teman-teman retail sektor brand luar negeri," curhatnya dalam acara Press Conference Asosiasi Ritel dan Ekosistem, Selasa (16/1).
Selain itu, ia juga menyebutkan hambatan lainnya seperti proses perizinan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun atau maraknya praktik impor barang secara ilegal disebut telah memporak-porandakan perdagangan ritel dalam negeri.
Baca Juga: Pemerintah Segera Perketat Impor Barang, Ini Kisi-Kisi Aturannya!
Sebagai contoh pendirian 1 toko supermarket ataupun sebuah mall memerlukan perizinan hingga lebih dari 50 perizinan. Karena itu, proses ekspansi menjadi sangat lambat dibandingkan negara tetangga lainnya, seperti Vietnam dan Kamboja.
"Sebuah mall ternama yang dalam 8 tahun melakukan ekspansi ke Negara ASEAN, terbukti hanya bisa mendirikan 5 mal saja di Indonesia. Tertinggal jauh dibandingkan di Vietnam yang berhasil mendirikan 30 mal, dan di Kamboja sebanyak 10 mal," kata Budihardjo.
Akibat hal ini akhirnya banyak investasi yang seharusnya bisa masuk ke Indonesia akhirnya berpindah ke negara lain seperti Vietnam karena regulasi yang diterapkan lebih pro investasi.
Ia memberi contoh, sebuah Department Store ternama di Asia, hanya berhasil membuka 1 toko saja dalam kurun 8 tahun. Sementara dalam waktu yang sama, Departemen Store tersebut berhasil mendirikan 35 mal, 230 toko di negara lain dalam bentuk supermarket, hypermarket, dan beberapa line ritel lainnya.
"Apabila hal ini terus berlangsung dan tidak ada solusi dari pemerintah, maka asosiasi ritel dan ekosistemnya yang menaungi lebih dari 10 juta karyawan ini akan terus bertumbangan," katanya menegaskan.
Dampak Kebijakan Pengetatan Impor
Di samping itu Budihardjo juga menemukan bahwa penerapan kebijakan impor yang diimplementasikan salah satunya ke dalam peraturan pengetatan impor untuk barang branded berdampak pada sektor-sektor tertentu, dan mengakibatkan banyak peluang menjadi hilang.
"Peluang ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia menjadi menguap ke udara karena saat ini banyak toko-toko yang menjual barang branded mulai kosong dan kehabisan stok," ucap dia.
Sebuah toko elektronik di Indonesia, misalnya, kini memiliki jumlah SKU hanya 60% dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Harga barang branded di Indonesia didapati lebih mahal 40% dibandingkan di Singapura dan Malaysia. Opsi berbelanja ke luar negeri kemudian banyak dipilih konsumen dalam negeri karena lebih murah dan pilihannya lebih lengkap.
"Itu artinya Indonesia kehilangan peluang menjadi destinasi berbelanja bagi turis asing, karena harga-harganya mahal. Praktik jasa titip atau jastip yang tidak membayar pajak dan impor illegal menjadi semakin menjamur," sebut Budihardjo.
Baca Juga: Neraca Dagang Merosot, Kemendag Perketat Impor dan Permudah Ekspor
Sektor UMKM pun, lanjutnya akhirnya turut terdampak karena pengetatan impor bahan baku sehingga produksi produk dalam negeri juga terdampak.
"Selama ini kita ketahui bersama bahwa peritel pun telah banyak berperan dalam membantu UMKM dan produsen lokal dalam jaringan ekosistem rantai pasok tersebut," tekannya.
Budihardjo berkesimpulan pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang baik namun kurang tepat dalam mengatasi permasalahan impor ilegal ini. Sehingga dampak yang serius dialami oleh pelaku impor legal.
"Pada beberapa kali dengar pendapat terbuka, kami juga sudah menyampaikan kondisi di lapangan namun peraturan tetap diterbitkan," ujar Budihardjo.
Impor ilegal ini, menurutnya merugikan banyak pihak. Dari sisi pemerintah, tidak ada pemasukan pajak impor dan PPN. Pengusaha dalam negeri yang berusaha secara legal dan mengikuti regulasi malah kesulitan mendapatkan barang. Akibatnya, para pelaku tidak hanya sulit untuk berkembang, tetapi Juga sulit untuk bertahan di pasar.
"Dari sisi konsumen, barang impor ilegal ini tidak memenuhi syarat keamanan konsumen sesuai regulasi," imbuhnya.
Langkah Tegas Impor Ilegal
Untuk itu ia berharap peraturan-peraturan yang mempersulit impor yang legal dipermudah, agar bisnis tetap berkembang. Pemerintah perlu untuk mengambil langkah-langkah tegas dan menyeluruh terhadap impor ilegal.
Cara yang efektif dilakukan adalah melibatkan pengawasan ketat terhadap jalur masuk impor ilegal dan melakukan inspeksi menyeluruh terhadap barang yang beredar di pasar.
Baca Juga: Siap-Siap, Pemerintah Bakal Perketat Impor Kosmetik Hingga Pakaian
Serta, pentingnya penindakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam peredaran barang impor ilegal, mulai dari penjual, distributor, hingga importir.
Ia sendiri memohon bantuan pemerintah untuk segera mengambil tindakan konkrit yang diperlukan, mengingat masalah ini telah berlangsung lama dan semakin merugikan pelaku usaha yang beroperasi secara legal.
"Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah tegas dan menyeluruh untuk mengatasi impor ilegal. Perizinan pembukaan toko ritel di Indonesia perlu disederhanakan dan dipercepat," pungkas Budihardjo.