c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

08 Juli 2025

13:00 WIB

Tarif Resiprokal 32% Tak Berubah, Wamendag Roro Buka Suara

Wamendag mengungkapkan pemerintah masih akan memproses pengenaan tarif resiprokal oleh AS sebesar 32%. Pemerintah mengonfirmasi Indonesia akan kembali bernegosiasi.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p>Tarif Resiprokal 32% Tak Berubah, Wamendag Roro Buka Suara</p>
<p>Tarif Resiprokal 32% Tak Berubah, Wamendag Roro Buka Suara</p>

Wamendag Dyah Roro Esti Widya Putri (tengah) saat ditemui awak media di kantor Pusat Pengembangan SDM Ekspor dan Jasa Perdagangan (PPEJP), Jakarta Barat, Selasa (8/7). Validnews/Erlinda PW

JAKARTA - Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri merespons penerapan tarif resiprokal yang telah diumumkan Presiden AS Donald J. Trump sebesar 32% untuk Indonesia. Menurutnya, pengenaan tarif tersebut masih akan dibahas lebih lanjut oleh tim negosiasi Indonesia dari Kementerian Koordinator Perekonomian.

"Sebetulnya terkait itu (tarif resiprokal) masih berproses. Kemudian juga tim negosiasi dari Kemenko Perekonomian juga masih aktif berada di sana sebetulnya. Pak Menko Ekonomi juga akan berkunjung ke Amerika Serikat setelah kegiatan BRICS yang saat ini tengah berlangsung di Brasil," kata Roro saat ditemui awak media di kantor Pusat Pengembangan SDM Ekspor dan Jasa Perdagangan (PPEJP), Jakarta, Selasa (8/7).

Baca Juga: Trump Resmi Umumkan Tarif Resiprokal, RI Tetap Kena 32%!

Roro pun enggan memberikan tanggapan lebih lanjut. Menurutnya, saat ini pengumuman resmi Indonesia mengenai tarif resiprokal AS tersebut masih menunggu proses, hingga ada pengumuman resmi dari pemerintah.

"Mari kita tunggu dulu the formal announcement gitu ya. Selebihnya kita harus mengingat arahan Presiden untuk berupaya meningkatkan atau memperluas akses pasar ke luar negeri kita," tandasnya.

Seperti diketahui, Donald Trump secara resmi telah mengumumkan besaran tarif resiprokal bagi Indonesia sebesar 32%. Pengumuman ini lebih cepat dari kesepakatan awal yang rencananya pada 9 Juli 2025. Sementara untuk pengenaan tarif ini mulai berlaku per 1 Agustus 2025 mendatang.

Dalam pernyataan yang sama, Gedung Putih menjelaskan, Trump mengambil tindakan dan menerapkan tarif berdasarkan informasi dan rekomendasi dari pejabat senior, termasuk informasi tentang status negosiasi perdagangan.

Dalam pengumuman pengenaan tarif resiprokal kedua kalinya ini, Trump juga mengungkapkan besaran tarif resiprokal lainnya selain Indonesia. 

Negara-negara yang terkena tarif resiprokal lainnya antara lain, Jepang (25%), Korea (25%), Afrika Selatan (30%), Kazakhstan (25%), Laos (40%); Malaysia (25%); Myanmar (40%); Tunisia (25%); Bosnia dan Herzegovina (30%); Bangladesh (35%); Serbia (35%); Kamboja (36%) dan Thailand (36%).

Baca Juga: Menkeu AS 'Tambah Waktu' 3 Pekan Untuk Negosiasi Tarif Dagang

Meski sudah ditetapkan tarif resiprokal terbaru, Trump menyatakan pihaknya masih terbuka khususnya dengan Indonesia untuk melakukan negosiasi kesepakatan dagang lebih lanjut. 

Tak Ada Perdagangan Adil Dengan Trump
Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menegaskan, tidak akan ada perdagangan yang adil (fair deal) jika menyangkut negosiasi ekonomi dengan Trump. Untuk itu, dia mengingatkan, agar Indonesia terlalu 'dermawan' mengakomodasi kemauan Trump di tengah kondisi ekonomi yang tetap saja tidak pasti.

Syafrudin menyampaikan, Trump hanya mau menampilkan AS sebagai korban perdagangan yang tidak adil dengan mitranya selama ini. Negara-negara mitra dagang dipaksa untuk bisa mengakomodasi kemauan konsesi ekonomi arahan AS.

"Yang dia mau submissive trade, di mana setiap negara berserah diri saja pada kemauan kebijakan Trump secara sepihak. Kalau nanti masih belum puas, dia dengan mudah cari kesalahan pada negara lain. AS tak pernah salah," terang Syafrudin dalam pernyataan tertulis, Selasa (8/7). 

Baca Juga: Isi Surat Trump Soal Tarif 32% Untuk RI, Minta Pembebasan Tarif Penuh?

Dia mencontohkan, kesepakatan dagang dengan Vietnam yang dipersepsikan adil baru-baru ini. AS tetap memberlakukan tarif 20%, sementara Vietnam 'dipaksa' harus berlakukan zero tariff.

Belum usai, Trump juga bersiap mengancam negara yang berkoalisi dengan BRICS dengan tarif tambahan 10%.

"Negara negara dunia, khususnya Global South, jangan pernah telanjur berharap positif dari AS selama masih dipimpin oleh Trump yang lebih banyak buat kegaduhan, ketidakpastian, dan ketidakstabilan," jelasnya.

Baca Juga: Trump Ancam Tarif Tambahan Buat BRICS, Sri Mulyani Ungkap Posisi RI

Esensinya, ekonom menggarisbawahi, Trump tidak mau negara mitra dagang memiliki kedaulatan ekonomi. Menjajaki kesepakatan dengan Trump artinya mitra dagang harus siap dikendalikan dan ikut kemauannya. Lebih berat, kesepakatan resmi sekali pun tidak akan mengikat Trump. 

"Jadi buat apa negara-negara mitra (dagang) berharap best deal dari Trump yang sesungguhnya tidak akan pernah ada. Lebih strategis bila koalisi BRICS menyadari semua itu, lalu perkuat koalisi dan perdagangan selain dengan AS di bawah Trump," sebutnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar