c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

05 Mei 2025

20:58 WIB

Tantangan Berat! Ekonom Ragu Ekonomi RI Bisa Tumbuh Lebih dari 5%

Pemerintah diminta menghadirkan terobosan signifikan agar pertumbuhan ekonomi lebih eskalatif dan mencapai angka psikologis minimal 5% pada akhir tahun ini.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p>Tantangan Berat! Ekonom Ragu Ekonomi RI Bisa Tumbuh Lebih dari 5%</p>
<p>Tantangan Berat! Ekonom Ragu Ekonomi RI Bisa Tumbuh Lebih dari 5%</p>

Ilustrasi - Sejumlah buruh menaiki sepeda motor saat antre pulang di salah satu pabrik di Kota Tangerang, Jumat (17/11/2023). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin

JAKARTA - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, sulit bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% secara agregat pada akhir 2025, apabila pemerintah tidak memiliki terobosan program yang memberi dampak signifikan.

"Dalam kondisi ceteris paribus dan tidak ada terobosan program dari pemerintah, dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2025 sebesar 4,87%, akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% secara agregat pada akhir tahun," ungkap Ajib dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/5).

Baca Juga: Ekonomi RI Kuartal I Kalah Dari Vietnam, Ini Kata Menko Airlangga

Ajib menyorot, pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi yang menjadi acuan dalam kerangka ekonomi makro 2025 sebesar 5,1-5,5%. Meski tak menampik, pencapaian sejauh ini masih relatif di atas proyeksi Bank Dunia yang hanya memperkirakan pertumbuhan di angka 4,7%.

Menurut Ajib, pengamatannya dilatarbelakangi momentum pertumbuhan ekonomi yang biasanya mengandalkan kuartal pertama setiap tahun karena adanya siklus Ramadan dan Lebaran. Apalagi, pertambahan perputaran uang mencapai lebih dari Rp140 triliun.

Dirinya menggarisbawahi, capaian pertumbuhan ekonomi kuartal I/2024 yang mencapai 5,11%, diikuti pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% secara agregat pada akhir 2024. 

Lebih detail, Ajib menjabarkan, tekanan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dilatarbelakangi oleh kontraksi yang dialami masing-masing faktor.

Faktor pertama, daya beli masyarakat yang menurun. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus terjadi sejak awal tahun menjadi indikator yang perlu diwaspadai agar tidak berkelanjutan.

"Apindo mencatat lebih dari 40 ribu tenaga kerja mengalami PHK sejak awal tahun," ungkapnya.

Kedua, belanja pemerintah juga diketahui mengalami tekanan di mana penerimaan pajak hingga Maret jauh dari target ideal sebesar 20%, dengan hanya terealisasi 14,7%. Kondisi ini diyakini diperparah dengan tercetusnya Danantara yang menjadi pengelola dividen BUMN, sehingga menjadi penggerus sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dia menambahkan, sektor investasi yang cenderung masih wait and see karena kondisi ekonomi domestik dan global yang masih fluktuatif, serta sektor ekspor-impor yang sangat terpengaruh oleh kebijakan tarif Trump juga menjadi faktor kuat yang memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi di Bawah Ekspektasi, Analis: Market Domestik Masih Kondusif

Sebab itu, dia merasa, pemerintah Indonesia perlu mendorong low cost economy guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif. Ajib juga menyebut, kebijakan-kebijakan yang didorong bisa menduplikasi pemerintah China dalam mendorong ekonomi domestik dengan industri manufakturnya yang mempunyai daya saing tinggi. 

Paling tidak, menurutnya, ada empat hal yang dapat didorong pemerintah, yakni penyediaan energi murah, mendorong infrastruktur dan logistik yang efisien, clustering ekonomi dan ekosistem bisnis, serta mendorong produktivitas tenaga kerja.

"Harus ada terobosan signifikan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi agregat tahun 2025 lebih eskalatif dan mencapai angka psikologis minimal 5% pada akhir tahun," ujar Ajib.

Tekanan dari Dalam dan Luar
Terpisah, ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut, pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 yang hanya mencapai 4,87% menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami tekanan struktural. Sehingga perlu segera direspons dengan reformasi kebijakan yang berani dan strategis.

Syafruddin menggarisbawahi keputusan pemerintah yang telah melakukan efisiensi fiskal di awal tahun, dengan tujuan menjaga kesehatan APBN. Akan tetapi, pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) justru menghambat belanja daerah.

"Banyak proyek infrastruktur desa yang tertunda, belanja publik terhambat, dan konsumsi rumah tangga melemah. Padahal, sektor konsumsi menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB nasional," imbuh Syafruddin.

Baca Juga: Rupiah Melemah Di Tengah Merosotnya Pertumbuhan Ekonomi

Belum cukup, dari sisi eksternal situasi ekonomi tidak kalah tertekan dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dan menghadirkan babak baru perang dagang global.

Ekspor yang dianggap mengalami stagnasi, dengan dua pasar utama yakni AS dan China sedang melemah, membuat ekspor bersih Indonesia tak mampu menopang pertumbuhan nasional.

"Situasi ini memperjelas kelemahan struktur ekonomi Indonesia yang terlalu bergantung pada pasar global dan belanja pemerintah pusat," tambah Syafruddin.

Berkaca dari kondisi di atas, Syafruddin memproyeksi, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik-turun secara kuartalan di tahun ini. Selain kuartal I sebesar 4,87% yang dipengaruhi efisiensi fiskal dan tarif Trump, ekonomi kuartal II diprediksi hanya mencapai 4,9-5% yang didorong momen lebaran dengan ekspor yang tetap melemah.

Di kuartal III, pertumbuhan diprediksi mencapai 5,1-5,2% dengan konsumsi domestik yang mencapai puncak namun dengan ekspor stagnan. Diikuti proyeksi pertumbuhan 5% di kuartal IV ditopang belanja tutup tahun yang stabil, namun ekspor belum pulih.

"Jika tren ini tidak berubah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025 diperkirakan hanya akan berada di kisaran 4,95-5,05%. Capaian ini lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2024 yang rata-ratanya 5,05%. Ini menandakan bahwa tekanan global benar-benar menahan laju perekonomian kita," tekannya.

Baca Juga: Ekonomi Tumbuh 4,87% Di Bawah Prediksi, BPS: Tetap Terjaga Dan Tumbuh Positif

Untuk itu, Syafruddin menyebut, pemerintah harus segera melakukan diversifikasi pasar ekspor, khususnya di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika yang harus digarap serius sebagai alternatif baru.

Ditambah lagi, percepatan hilirisasi industri juga perlu dilakukan agar Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga produk bernilai tambah.

Selanjutnya, realisasi belanja APBN dan APBD harus ditingkatkan mulai kuartal kedua. Dia mengingatkan, belanja pemerintah tidak boleh melambat, sebab merupakan kunci pendorong permintaan domestik. 

Selain itu, tata kelola investasi juga perlu dilakukan agar masuknya modal bisa langsung menciptakan lapangan kerja. Terkait hal ini, Syafruddin mengapresiasi rasio investasi terhadap tenaga kerja yang menunjukkan perbaikan. 

"Tren ini perlu terus dijaga agar investasi yang masuk bersifat padat karya dan inklusif," sebutnya.

Terakhir, diplomasi ekonomi juga perlu digerakkan secara aktif, dengan memainkan peran penting dalam forum regional seperti RCEP dan ASEAN untuk membangun kemitraan perdagangan yang saling menguntungkan. Langkah ini dinilai penting, agar Indonesia tidak selalu menjadi korban kebijakan proteksionisme negara besar.

"Kita tidak boleh puas dengan pertumbuhan 5% jika negara-negara lain melaju lebih cepat. Kita juga tidak bisa berharap pada pasar ekspor semata saat dunia sedang bergolak. Kita harus memperkuat rumah sendiri, dari belanja fiskal yang tepat sasaran hingga kebijakan industrialisasi yang menciptakan nilai," tutup Syafruddin.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar