c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 November 2025

13:20 WIB

Roadmap Petrokimia! Inaplas Siap Atasi Defisit-Impor Bahan Baku US$11 M

Inaplas susun roadmap pengembangan industri petrokimia 2025-2026 untuk mengatasi tekanan impor yang terus membebani defisit. Sepanjang 2020-2025, impor petrokimia RI cenderung konsisten naik.

Penulis: Ahmad Farhan Faris

Editor: Khairul Kahfi

<p><em>Roadmap</em> Petrokimia! Inaplas Siap Atasi Defisit-Impor Bahan Baku US$11 M</p>
<p><em>Roadmap</em> Petrokimia! Inaplas Siap Atasi Defisit-Impor Bahan Baku US$11 M</p>
Sekretaris Jenderal INAPLAS, Fajar Budiono sedang memaparkan kapasitas produksi plastik RI di 2025 saat Gathering Forum Wartawan Industri (Forwin) di Sentul, Bogor pada Jumat (14/11). Validnews/Ahmad Farhan Faris

JAKARTA - Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyusun roadmap pengembangan industri petrokimia 2025-2026. Sektor ini dinilai memiliki peran strategis dalam menopang pertumbuhan berbagai industri hilir mulai dari plastik, farmasi, kimia dasar, hingga komposit untuk kebutuhan industri penerbangan di 2045.

Dalam lima tahun terakhir, Indonesia masih dibayangi defisit besar komoditas petrokimia. Pada 2020, defisit tercatat sebesar 7,32 juta ton senilai US$7,1 miliar, kemudian meningkat menjadi 8,10 juta ton senilai US$10,8 miliar pada 2021.

Pada 2022, defisit berada di level 7,75 juta ton senilai US$11 miliar, dan kembali naik menjadi 8,50 juta ton sekitar US$9,5 miliar pada 2023. Tren lonjakan berlanjut pada 2024, defisit menjadi 10,5 juta ton dengan nilai sekitar US$11 miliar.

Selain itu, tekanan terhadap industri petrokimia global menguat akibat berbagai dinamika internasional seperti pandemi covid-19, perang Rusia-Ukraina, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, kebijakan tarif AS, kampanye negatif terhadap plastik, percepatan transisi energi hijau, hingga melemahnya kinerja manufaktur global.

Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono mengatakan, kenaikan defisit bahan baku petrokimia tak hanya membebani industri hulu, tapi juga menghambat pertumbuhan industri hilir yang membutuhkan pasokan stabil dengan harga kompetitif. Karenanya, roadmap 2025-2026 menjadi sangat penting sebagai panduan akselerasi industri petrokimia RI.

“Kondisi defisit yang kita hadapi setiap tahun menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Industri hilir kita tumbuh pesat, sementara kapasitas hulu belum mengikuti,” kata Fajar saat Gathering Forum Wartawan Industri (Forwin) di Sentul, Bogor pada Jumat (14/11).

Baca Juga: Industri Petrokimia Khawatirkan Gempuran Plastik Hingga Tekstil Impor 

Menurutnya, roadmap tersebut tidak semata fokus pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi penguatan integrasi antara refinery dan cracker, dengan tujuan Indonesia mampu menghadirkan produk petrokimia kompetitif, menghemat devisa, dan memperkuat struktur industri secara menyeluruh.

Inaplas memperkirakan, kebutuhan bahan baku plastik nasional pada 2025 mencapai 8,38 juta ton, sementara produksi domestik baru sekitar 4,87 juta ton. Kondisi ini membuat Indonesia terpaksa masih harus mengimpor produk plastik jadi sekitar 1,08 juta ton.

Di sisi lain, Indonesia menghasilkan sekitar 1,99 juta ton sampah plastik setiap tahun dengan potensi material daur ulang mencapai 1,77 juta ton, di mana sekitar 1,29 juta ton di antaranya telah masuk ke rantai daur ulang.

“Angka tersebut menunjukkan peluang besar bagi pengembangan industri chemical recycling untuk memperkuat ekonomi hijau dan keberlanjutan,” ungkapnya.

Empat Fokus Utama Roadmap
Fajar menjelaskan, roadmap pengembangan yang disusun Inaplas memetakan empat fase strategis pembangunan industri petrokimia nasional. 

Fase pertama di 2025, dia menyampaikan, fokus diarahkan pada pemulihan kapasitas produksi dan penyelesaian proyek kilang seperti RDMP serta pembangunan cracker kedua, mengingat tekanan global yang masih cukup berat.

“Memasuki 2030 (tahap kedua), Indonesia ditargetkan mencapai kecukupan pasokan melalui pembangunan cracker ketiga, fasilitas GRR baru, pembangunan Condensate Splitter Unit (CSU), serta penerapan energi hijau untuk menurunkan ketergantungan impor,” jelas dia.

Baca Juga: Resmikan Pabrik Petrokimia Terbesar Di ASEAN, Prabowo: Kita Harus Jaga Investasi Asing

Pada 2035 sebagai tahap ketiga, lanjutnya, Indonesia bersiap memasuki fase pengembangan produk bernilai tambah tinggi, termasuk engineering plastic yang menjadi bahan utama komposit untuk industri pesawat masa depan.

“Tren global memperkirakan bahwa pesawat komersial generasi baru pada 2040 akan menggunakan komposit plastik hingga 60% dari total berat struktur pesawat,” ujarnya.

Pada 2045, tahap akhir roadmap menargetkan terwujudnya integrasi penuh antara kilang dan petrokimia sehingga Indonesia tidak hanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan domestik, tetapi juga mengekspor produk akhir bernilai tinggi.

“Integrasi refinery dan petrokimia akan memberikan keuntungan besar bagi negara. Biaya logistik turun, produk lebih kompetitif, dan kita bisa mengurangi devisa impor yang selama ini membebani neraca perdagangan. Itu sebabnya pembangunan GRR dan cracker baru menjadi prioritas dalam roadmap,” sebutnya.

Baca Juga: Diprediksi Melonjak 600%, Inalum Percepat Hilirisasi Aluminium

Fajar menekankan, industri petrokimia merupakan fondasi penting bagi daya saing manufaktur Indonesia. Inaplas mengajak seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, investor, hingga pelaku industri untuk bersinergi agar roadmap dapat berjalan sesuai rencana dan menciptakan iklim industri kondusif bagi percepatan transformasi petrokimia nasional.

“Kalau kita ingin menjadi negara industri maju pada 2045, kita tidak punya pilihan selain membangun industri petrokimia yang kuat, terintegrasi, dan mandiri. Semua sektor hilir baik otomotif, elektronik, kemasan, tekstil, bahkan aviasi bergantung pada kesiapan industri hulu ini,” jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar