c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 Maret 2025

16:38 WIB

Industri Petrokimia Khawatirkan Gempuran Plastik Hingga Tekstil Impor

Industri petrokimia merupakan pemasok bahan baku untuk sejumlah industri, seperti plastik dan tekstil. Khawatirnya, kebutuhan bahan baku malah diisi oleh produk impor.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

<p>Industri Petrokimia Khawatirkan Gempuran Plastik Hingga Tekstil Impor</p>
<p>Industri Petrokimia Khawatirkan Gempuran Plastik Hingga Tekstil Impor</p>

Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12/2019). Antara Foto/Moch Asim

JAKARTA - Indonesia memiliki pangsa pasar yang sangat besar, termasuk untuk produk hilir serta bahan baku yang dihasilkan industri petrokimia, seperti plastik, tekstil, kosmetik, karet dan lainnya.

PT Chandra Ari Pacific Tbk (TPIA) sebagai salah satu pelaku industri petrokimia mengungkapkan, saat ini yang menjadi masalah, yakni gempuran berbagai produk kimia impor yang membanjiri pasar domestik.

Direktur Legal, External Affairs & Circular Economy Chandra Asri Edi Rivai mengatakan, banyak negara mengincar pasar Indonesia. Akibatnya, produk buatan industri dalam negeri harus bersaing dengan barang impor, yang biasanya lebih murah.

"Pasarnya rentan karena memang gempuran orang lain, banyak sekali yang suka dengan Indonesia karena marketnya memang besar," ujarnya dalam diskusi Peluang dan Tantangan Industri Kimia Sebagai Proyek Strategis Nasional dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta, Jumat (14/3).

Edi menjelaskan, gempuran impor tersebut membuat pasar domestik pun rentan. Jika dibiarkan, makin banyak konsumen yang beralih membeli produk jadi maupun bahan baku untuk pembuatan plastik, tekstil, kosmetik impor karena harganya lebih murah.

Menurutnya, keberlangsungan industri petrokimia RI perlu dijaga. Terlebih lagi lantaran industri ini tergolong padat modal sekaligus padat teknologi. Itu berarti menaungi banyak tenaga kerja, meski dibarengi dengan teknologi canggih.

"Memang untuk masuk industri petrokimia itu tidak mudah karena pertama padat modal, kemudian teknologinya tinggi. Namun tantangannya adalah pasarnya memang besar, tapi mudah digempur orang-orang lain," tutur Edi.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan, industri petrokimia merupakan fundamental industri lainnya atau dikenal dengan sebutan mother of petrochemical. Itu karena selama ini produksi industri kimia memenuhi kebutuhan bahan baku bagi sektor manufakturnya lainnya, seperti industri plastik dan industri tekstil.

Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Taufiek Bawazier menilai penting untuk mengisi permintaan bahan baku kimia dari produksi pabrik dalam negeri. Menurutnya, itu berdampak positif terhadap perekonomian nasional.

Di antaranya, mengerek nilai tambah (value added), serta menyerap tenaga kerja lokal. Namun, Taufiek menyadari saat ini permasalahan yang dihadapi, yakni pasar domestik diisi dengan produk-produk kimia impor.

"Persoalannya, demand yang ada di Indonesia untuk produk-produk petrokimia (bakal) diisi oleh industri dalam negeri atau diisi oleh para impor?" ujarnya.

"Kalau diisi oleh produk dalam negeri, tentunya value added akan kembali ke kita, ada penyerapan tenaga kerja, mendapatkan pajak, ekonomi value-nya tumbuh, juga ada investasi menarik. Kalau sebaliknya, tentu akan turun dan semua itu tidak kita dapatkan," imbuh Taufiek.

Dirjen IKFT juga menilai, keberlangsungan kinerja industri petrokimia perlu dijaga. Sebab, industri tersebut turut berkontribusi signifikan terhadap penerimaan devisa. 

Kemenperin mencatat, pada 2024, capaian nilai ekspornya menembus US$17,39 miliar. Kemudian, investasi di industri kimia sepanjang 2024 mencapai Rp65,76 triliun.  

"Untuk semakin memacu kinerja industri kimia ini, challenge kita adalah Indonesia perlu menumbuhkan ekosistem sektor petrokimia dan energi yang terintegrasi sehingga bisa lebih berdaya saing," kata Taufiek.

Pada kesempatan yang sama, Indef menilai, industri kimia dapat berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi ke angka 8% seperti cita-cita Presiden Prabowo Subianto. 

Sejalan dengan itu, Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus beranggapan, Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional memerlukan tambahan investasi setidaknya 8,12% untuk mencapai target tersebut.

"Salah satu langkah strategisnya adalah mendorong investasi di industri kimia, yang memiliki peluang besar sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional dan memiliki multiplier effect, terutama dengan dukungan pemerintah dan pertumbuhan pasar domestik," kata Heri.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar