30 Januari 2024
21:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Aurora K MÂ Simanjuntak, Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Anda pernah mencari kata ‘pungli’ pada laman peramban? Kalau belum, cobalah sekali-kali. Pasti beragam pemberitaan tentang pungli tertera di sana. Beritanya saban hari ada.
Nah, kali ini yang kita bahas adalah salah satu isu pungli, yakni di dunia usaha. Isu ini kembali muncul di tengah kabar moncernya ekonomi Indonesia.
Adalah Ketua Umum Kadin DKI Jakarta yang menjadi salah satu tokoh mencuatkan isu ini kembali. Dia meminta calon presiden yang tengah berlaga dalam pemilu untuk memberikan perhatian dan mengambil langkah memberantas pungli. Keluhnya, praktik pungli masih saja marak di berbagai daerah beberapa tahun belakangan.
"Tolong bapak-bapak yang akan duduk di pemerintah pusat, harapan kami (pemberantasan pungli) bisa direalisasikan," kata Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Diana Dewi di Jakarta, Rabu (10/1).
Pungli sendiri bisa diartikan sebagai pendapatan dari memungut yang tidak sesuai dengan aturan hukum alias tidak resmi. Komisi anti-rasuah menggolongkan pungli sebagai tindak pidana khusus korupsi atau tindak pidana umum pemerasan.
Jika ditelusuri, upaya pemberantasan pungli nasional selalu dibesut di tiap pemerintahan. Berganti rezim, badan anti-pungli dibentuk pula untuk membabat hal ini. Pada Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden 7/1977 tentang Operasi Tertib untuk memberantas praktik pungli. Objek penertiban fokus pada segala bentuk pungutan liar di dalam tubuh aparatur pemerintah.
Presiden Jokowi baru-baru ini mengeluarkan Perpres 87/2016 tentang Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) sebagai langkah pemberantasan pungli.
Mirisnya, ini menjadi sandungan kegiatan usaha maupun investasi di dalam negeri. Tak sekadar keluhan pengusaha, praktik korupsi dan investasi juga ditemukan dalam hasil penelitian ‘State capture, grand corruption, petty corruption dan hubungannya dengan investasi di Indonesia’ yang dilansir Jurnal Antikorupsi KPK.
Penelitian ini menganalisis hubungan antara jenis korupsi dan investasi atas 3.694 kasus putusan tindak pidana korupsi berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan/atau putusan pada tingkat terakhir, yang terjadi pada kabupaten/kota dari Mahkamah Agung pada periode 2015-2019.
Penelitian tersebut berkesimpulan, korupsi dengan jenis grand corruption (besar) dan petty corruption (kecil) berkorelasi positif dengan investasi asing atau PMA. Kendati untuk investasi domestik atau PMDN, hanya korupsi dengan jenis grand corruption yang memiliki korelasi signifikan.
Korelasi positif tersebut bukan berarti korupsi berdampak positif terhadap investasi. Hubungan positif korupsi dengan PMA dan PMDN ini menunjukkan kondisi social infrastructure di Indonesia yang predatory.
Hal yang perlu dicermati, studi ini menunjukkan tingginya tingkat investasi di Indonesia diiringi dengan meningkatnya korupsi, terutama grand corruption. Investasi yang besar akan disertai korupsi dengan skala besar pula.
PMA, menurut peneliti, merupakan jenis investasi yang melibatkan dana besar, perizinan yang kompleks dan kewenangan dari pejabat tingkat tinggi. Karena itu, korelasi PMA dengan grand corruption lebih kuat dibandingkan dengan petty corruption.
Sebagai konteks, penelitian tersebut mengklasifikasi grand corruption merupakan tindak korupsi yang melibatkan pejabat tinggi (high level official) dan/atau nilai korupsi yang besar.
Sementara itu, petty corruption merupakan korupsi yang melibatkan pejabat rendah (low-level official) atau nilai korupsi yang rendah. Meski ada korelasi, penelitian menggarisbawahi, terdapat keterbatasan karena metode yang digunakan hanya menunjukkan bagaimana hubungan antara berbagai jenis korupsi dan investasi.
Penelitian tidak lebih jauh melihat bagaimana dampak antara keduanya. Begitu pula tidak menghubungkan korupsi dengan kesenjangan ekonomi, serta tidak membandingkan hubungan korupsi dan investasi dengan pendekatan home-host country. Hal yang jelas disebutkan bahwa kian banyak investasi, kian banyak pula korupsinya.

Dimulai Dari Ketidakpastian
Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman menjelaskan, berdasarkan kajian selama ini, pungli muncul ketika ada ketidakpastian kebijakan. Ini mencakup undang-undang, kebijakan di level nasional seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun level daerah seperti peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.
Dalam tataran penerbitan sebuah izin usaha, ketidakpastian tersebut diwujudkan dengan berapa lama prosedur durasi pengurusan, maupun biaya yang mesti dikeluarkan. Modusnya, ketidakpastian ini membuat pelakunya menghendaki pungutan liar sebagai jalan pintas untuk mempercepat proses pengurusan izin berusaha.
“Ketika muncul fenomena ketidakpastian seperti ini, oknum-oknum mulai memanfaatkan celah-celah itu. Menurut kami, ini yang menjadi salah satu penyebab utama kenapa pungutan liar itu masih terjadi,” kata Armand melalui sambungan telepon, di Jakarta, Senin (29/1).
Pelaku pungli biasanya melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memberikan pelayanan perizinan. Namun, dalam kajian KPPOD 2016-2017, aktor lain pungli juga muncul dari berbagai kelompok masyarakat atau ormas yang ada di daerah.
Berdasarkan peta aksi, praktik pungli perizinan usaha tidak memandang berbeda kota besar atau daerah-daerah kecil.
Armand menilai, upaya digitalisasi pelayanan perizinan usaha lewat Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) baik OSS 1.1 sampai OSS RBA oleh pemerintah selayaknya dapat meminimalisir praktik-praktik pengurusan liar. Harapannya, dengan digitalisasi ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengurusan-pengurusan izin itu.
Namun dirinya menyayangkan, fenomena ketidakpastian dari pelayanan perizinan melalui platform digital juga seringkali muncul sampai hari ini.
“(Akibatnya), untuk mempercepat itu (pengurusan izin usaha) bisa muncul pengurusan liar, yang dilakukan oleh oknum-oknum di dalam birokrat pelayanan perizinan,” ujarnya.
Ironinya, praktik pungli menciptakan dua situasi tidak ideal.
Pertama, memaksa masyarakat untuk membayar dengan dalih percepatan pengurusan izin. Kedua jika pun tidak setuju dengan praktik ini dan berniat melapor, mereka akan khawatir dengan perlakuan pada masa depan.
“Kalau misal tidak membayar, kemudian melaporkan atau menyampaikan kepada publik, ketakutannya usaha mereka ke depan bisa dipersulit. Itu yang ditakutkan oleh masyarakat atau oleh para pengusaha,” terangnya.
Dampaknya yang demikian merugikan diamini Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kemeninves/BKPM Nurul Ichwan. Karena itu lah OSS dibuat.
Namun berdasarkan evaluasi, dia mengakui, peluang untuk bertemu di belakang meja legal masih juga terbuka. Karena itu, misi pemerintah ke depan adalah memastikan bagaimana OSS bisa benar-benar berfungsi, sembari menyadari kompetisi menarik investasi di tingkat dunia makin menantang.
“Enggak perlu lagi investor ketemu dengan orang di kantor-kantor, karena itu yang menyebabkan adanya negosiasi, pungli, dan ekonomi biaya tinggi,” jelas Ichwan ketika ditemui di Jakarta, Kamis (25/1).
Ciptakan Inefisiensi Investasi
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan senada. Di pandangannya, praktik pungli ASN maupun masyarakat sama-sama menambah beban biaya sehingga merugikan pelaku usaha dan investor, Bahkan, dalam titik tertentu hal sama juga berlaku bagi pemerintah. Karenanya, praktik culas ini bisa dikaitkan dengan defisiensi atau berkurangnya investasi.
“Semakin besar pungli yang ditarik atau dibayarkan pelaku usaha terhadap oknum, maka investasi atau ekspansi usaha mereka makin tidak efisien,” jelas Rendy pada Senin (29/1).
Meski bukan jadi penyebab tunggal, pungli punya kaitan erat dengan tingkat inefisiensi investasi tanah air yang digambarkan oleh ICOR yang relatif tinggi di level 6,57 poin di 2019. Tafsirnya, kondisi melakukan investasi maupun ekspansi usaha saat ini di Indonesia tidak efisien karena beban biayanya besar.
“Sejalan dengan angka ICOR Indonesia yang relatif masih tinggi, ini merupakan salah satu gambaran bagaimana pungutan liar bisa menekan efisiensi investasi,” tambahnya.
Sebenarnya, ekonom pun mengapresiasi karena perhatian pemerintah yang tinggi atas problem pungli kurun waktu 5-10 tahun terakhir, apalagi dengan kemunculan Saber Pungli pada 2016. Hanya saja, dia menyayangkan gaung pengentasan pungli nasional terkesan cenderung memudar saat ini, tak seperti periode pertama pemerintahan Jokowi.
Hasil dari inefisien investasi itu berujung pada beberapa investasi yang mangkrak dan baru bisa berjalan lagi di periode kedua Jokowi. Rendy menduga, sedikit-banyak faktor pungli juga berperan pada mangkraknya proyek investasi di dalam negeri.
Armand juga menyoroti hal lain. Dia juga menilai, sentimen pungli dapat menghambat minat dan realisasi investasi di Indonesia. Karena kondisi ini menciptakan beban biaya baru kepada para pelaku usaha tanpa juntrungan peraturan perundangan-undangan RI.
Padahal pengusaha sendiri mengeluarkan modal berdasarkan hitung-hitungan investasi berbasis peraturan resmi. Misalnya, ada retribusi persetujuan bangunan gedung legal, dulu retribusi izin mendirikan bangunan (IMB), pengusaha akan menghitung berdasarkan tarif resmi.
“Formula (hitungan biaya) itu diatur di dalam peraturan perundangan-undangan, biasanya. Di daerah, hal-hal teknis seperti itu juga diatur di dalam peraturan kepala daerah terkait dengan formula,” sebut Armand.
Bebani Konsumen Juga
Selain berpengaruh besar bagi investor, Komisioner Komisi Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, pungli juga bisa berdampak negatif pada kenaikan biaya di tingkat konsumen. Dia menyitir yang terjadi pada impor produk hortikultura, termasuk buah dan sayuran.
Yeka menguraikan, bagi pengusaha, praktik pungli pada kasus impor tersebut tidak akan terlalu masalah. Toh beban tersebut nantinya akan ditanggung konsumen. Misalnya, pungli muncul pada tahap Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan ongkos impor, kondisi ini akan dibebankan pada harga produk yang lebih mahal.
“(Kalau begitu), yang kasihan kan konsumennya, jadi persoalan pungli itu bukan hanya persoalan pengusaha. Pengusaha mah persoalannya cuma bayar (pungli) doang, sebetulnya konsumen yang nalangin dan bayarin uangnya,” kata Yeka kepada Validnews, Jakarta, Senin (29/1).
Lantas, bagaimana tendensi pungli kini?
Sebelumnya dalam agenda Rakernas Satgas Saber Pungli Evaluasi dan Pemberian Penghargaan 2023, Sekretaris Satgas Saber Pungli IrjenPol Andry Wibowo menjabarkan, pihaknya telah melakukan penindakan atau Operasi Tangkap Tangan (OTT) pungli sebanyak 16.472 kali di 2023.
Jumlah penindakan ini naik hampir dua kali lipat dibanding OTT tahun sebelumnya yang sebanyak 8.239 kali.
Dari penindakan sepanjang 2023 itu, Saber Pungli telah menetapkan sebanyak 4.014 orang sebagai tersangka, dengan barang bukti yang disita sebanyak Rp1.066.067.400 atau Rp1,06 miliar.
Di samping itu, Satgas Saber Pungli telah melaksanakan tindakan pencegahan pungli sebanyak 2.756.214 atau 2,75 juta kali. Dalam periode sama, pihaknya juga telah melakukan kegiatan intelijen sebanyak 71.817 kali dan kegiatan yustisi sebanyak 38.754 kali.
“Terlihat dinamika kegiatan (Saber Pungli) tahun 2023 pencapaiannya lebih tinggi dari tahun 2022, baik dari sisi intelijen, OTT, termasuk barang bukti dan yustisi,” ungkap Irjen Pol Andry, Senin (27/11/2023).
Dari penjelasan ini memang bisa disimpulkan. Pungli sulitlah hilang.

Jaga Imej Investasi
Dari sisi pemerintah, Ichwan tidak menampik bahwa praktik pungli cukup berdampak signifikan berpengaruh membuat serangkaian Investasi di Indonesia menjadi inefisien. Sebagai langkah pencegahan, pemerintah pun berupaya memperbaiki iklim investasi nasional dengan mencontoh iklim investasi negara maju yang sudah dikenal lebih mapan.
Dia mencontohkan, Amerika Serikat punya regulasi yang mengategorikan pungli sebagai tindak korupsi yang tidak bisa ditoleransi. Tidak saja regulasinya berlaku untuk seluruh perusahaan AS atau non-AS di Negeri Paman Sam, ketentuan ini juga berlaku bagi mereka yang punya perusahaan di luar negeri.
Jika ditarik ke tanah air, Indonesia mesti jujur bahwa kesadaran perilaku koruptif seperti pungli masih jauh panggang dari api. Tak ayal, imej Indonesia yang sedang berusaha keras untuk bisa menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar dunia, akan terhambat dengan kondisi ini.
Karenanya, pemerintah berupaya menyadarkan semua pihak, korupsi dan pungli, entah besar atau kecil akan menciptakan citra negatif yang akan sangat masif bagi investasi. Sebagaimana gethok tular alias word of mouth dalam pemasaran, investor pun tidak sungkan menceritakan pengalaman kepada sejawatnya, terkait kesulitan menjajaki investasi maupun pungli yang dialaminya.
“Begitu korupsi atau punglinya kecil, yang diterima adalah korupsi. Jadi, no matter it is big or small, yang namanya pungli dan korupsi itu merusak wajah Indonesia dan merusak investasi,” terangnya.
Efek tersebut harus diwaspadai dalam jangka lebih panjang. Karena itu, image building kemudahan berinvestasi di Indonesia harus dijaga lebih keras oleh pemangku kebijakan di hadapan dunia internasional.
Harapan Perbaikan
Dari data yang dibeber Saber Pungli dan keluhan pengusaha, peran pemerintah untuk bisa jamin investasi yang hadir terbebas dari praktik pungli memang sangat krusial. Jaminan sama, menurut Rendy, perlu ada terhadap pelaku usaha kecil yang kerap juga terpapar pungli oleh preman.
Kendati dianggap kecil jumlahnya secara harian, akumulasi pungli mulai dari uang keamanan, uang ini itu dan lainnya, secara tahunan bisa membuat pelaku usaha kecil pesimis atau discourage untuk mengembangkan usahanya lebih besar.
Di sisi lain, Armand mendorong pemerintah menggaransi kepastian dan kemudahan bisnis dalam proses pelayanan perizinan. Kendati butuh waktu, upaya ini bisa cukup efektif meredam ketidakpastian yang biasanya diikuti kesempatan pungli yang semakin tinggi.
Rekomendasi ini juga tidak lepas dari banyaknya berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja, terutama terkait dengan pelayanan perizinan, perlu ditinjau saksama. “Karena masih ada beberapa pengaturan di dalamnya yang masih memberikan ruang abu-abu atau masih memberikan ketidakpastian,” sebut Armand.
Dari sisi kelembagaan, KPPOD juga mendukung pemerintah pusat untuk memberikan perhatian lebih kepada daerah-daerah yang masih memiliki keterbatasan terkait dengan SDM unggul. Pihaknya juga mendukung pengintegrasian sistem OSS RBA antara Kementerian/Lembaga di pusat dan pemerintah daerah, yang kini belum terlaksana optimal.
Kedua hal di atas juga penting. Pasalnya, para pelaku usaha mengaku masih bingung ketika mengurus persetujuan pemanfaatan ruang atau dulu disebut izin lokasi, dan lainnya. Kalau pun sudah berhasil mengurus, prosedurnya masih dilaporkan menyulitkan.
“Nah, balik lagi, ketika para pelaku usaha sudah merasa sulit, seringkali celah untuk melakukan praktik-praktik (pungli) seperti itu muncul,” tukasnya.