27 Oktober 2017
13:38 WIB
JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melalui agenda Nawacita prioritas kedua dan keempat secara tegas menggaungkan komitmen dan semangat antikorupsi. Pungutan liar (pungli) merupakan bentuk korupsi paling nyata dan meresahkan masyarakat.
Presiden Joko Widodo secara tegas meyebutkan berapapun nominalnya, pungli yang praktiknya membudaya, bahkan kerap dianggap normal tetap harus diberangus. Pungli diyakininya telah menghambat kinerja perekonomian negara dan akses masyarakat atas pelayanan publik.
Praktik pungli, baik yang mengatasnamakan instansi atau individu terjadi di setiap lini, terkhusus di sektor pelayanan publik, seperti urusan KTP, sertifikat, urusan di pelabuhan, kantor, bahkan di rumah sakit. Sayangnya, pengawasan internal di instansi pelayanan publik ini dinilai masih lemah.
Seperti pungli perizinan perkapalan di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI yang terbongkar di Kementerian Perhubungan pada 11 Oktober 2016 lalu. Terungkapnya kasus ini menguak bagaimana berbagai perizinan mulai dari ukuran kapal hingga pembuatan buku pelaut menjadi bancakan pegawai negeri sipil dan pejabat Kemenhub.
Presiden Jokowi yang berkali-kali mengingatkan kemudahan perizinan pun akhirnya mengeluarkan kebijakan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 untuk membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) diterbitkan sembilan hari pasca penangkapan tersebut. Satgas Saber Pungli berada di bawah komando Menko Polhukam dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Satgas ini terdiri dari aparat penegak hukum; Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jaringan organisasi Satgas Saber Pungli pun dibentuk dari pusat sampai kementerian atau lembaga terkait di daerah-daerah. Hal tersebut mengantisipasi mengguritanya korupsi hingga ke tingkat daerah.
Penindakan praktik pungli sebenarnya telah diatur dalam instruksi Presiden No. 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemerintah daerah dan departemen. Selama dua periode pemerintahan SBY bahkan mengeluarkan dua instruksi presiden (Inpres) serupa yakni Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Namun penegakan hukum akan praktik pungli dirasa belum memuaskan.
Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2014—2016, data laporan pungli di Kantor Staf Presiden (KSP) menunjukkan sedikitnya 11,16% dari 21.070 laporan belum ditindaklanjuti. Tak lebih baik, data Polri mencatat ada kurang lebih 2230 laporan diterima, dimana 70% diantaranya belum ditindaklanjuti.
Tindakan pungli umumnya dilakukan oleh oknum pegawai di pemerintahan. Berkaca dari data di atas, penindakan pungli masih terkendala dalam hal pemberian sanksi tegas terhadap oknum pegawai pemerintah yang terbukti melakukan pungli. Sanksi tegas, seperti pemecatan langsung tanpa proses peradilan memang tidak disebutkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 pasal 87 ayat (4) tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Demikian dengan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PP Disiplin PNS) dinilai tidak dapat memberikan sanksi pemecatan secara langsung. Ada tahapan mekanisme atau prosedur yang harus dilalui terlebih dahulu. Artinya melalui aturan-aturan tersebut belum mampu memberikan efek gentar dan jera bagi pelaku maupun calon pelaku. Imbasnya, banyak kasus pungli ditangani dengan status yang belum jelas.
Mengisi celah kekosongan sanksi tersebut, pemerintahan Jokowi melalui Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) berkomitmen memberikan sanksi tegas pemecatan bagi oknum aparatur sipil negara yang melakukan pungli.
Gebrakan lain dilakukan dalam rangka penindakan pungli berupa penyediaan tiga saluran pelaporan praktik pungli. Tujuannya, agar masyarakat aktif melapor ke Satgas Saber Pungli bila merasakan atau melihat praktik pungutan liar. Tiga saluran pelaporan yaitu situs saberpungli.id, SMS 1193, atau call center 193. Semua identitas pelapor dijamin kerahasiaannya dan dilindungi sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 31 Tahun 2014 tentang Pelindungan Saksi dan Korban.

Sekedar Shock Therapy
Pembentukan Satgas Saber Pungli diklaim membuat iklim positif pemberantasan korupsi. Wiranto bahkan mengatakan Saber Pungli cukup mendapat sambutan baik dengan pembuktian tingginya keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan praktik pungli. Tercatat ada 22 ribu lebih laporan dari masyarakat diterima di tingkat pusat, dua bulan pasca dibentuknya satgas ini dan sebanyak 81 Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah dilaksanakan di berbagai instansi terutama di sektor pelayanan publik.
Laporan tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan pemberantasan pungli bahkan mencatat 1002 kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Satgas Saber Pungli yang telah menjaring tersangka sebanyak 1.800 orang dengan total nominalnya Rp316 Miliar.
Namun prestasi Saber Pungli dipandang Indonesia Corruption Watch (ICW) justru dikritisi dengan hanya sebagian kecil kasus ditangani yang masuk ke pengadilan. Tercatat dari 78 kasus pungli hanya 33 kasus atau sekitar 42% kasus saja yang masuk sampai tahap persidangan. Sisanya sekitar 45 kasus atau 58% kasus status penanganannya belum jelas.
Banyak oknum yang diduga pungli dilepaskan karena mekanisme penanganannya yang tidak jelas, seperti di Kota Batu, Jawa Timur. Hal ini seakan menggambarkan antusiasme penanganan pungli yang begitu besar di awal namun semakin meredup dan melemah di akhir.
“Perspektif dibentuknya saber pungli memang untuk mendorong pembangunan. Namun pada kenyataannya kami melihat, saber pungli hanya ramai di awal saja tapi tidak ada kesinambungan kerjanya. Dari data kasus yang kita pantau, ternyata masih banyak kasus pungli yang belum naik ke tingkat penuntutan,” kritik staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah.
Ia menilai dari segi kinerja, saber pungli hanya aktif dipenindakan kasus saja, menetapkan tersangka dan melakukan OTT.
“Tapi tidak dibarengi prosesnya sampai selesai ke tingkat eksekusi atau vonis,” timpalnya.
ICW bahkan menilai keberadaan saber pungli kurang efektif karena sasaran utamanya adalah korupsi dengan nilai kecil (petty corruption). Kehadiran Satgas ini juga dinilai hanya sebatas pemberian shock therapy tanpa diikuti pembangunan sistem pencegahan yang lebih terintegrasi pasca OTT. Di samping itu efek jera yang diakibatkan OTT oleh Saber Pungli dinilai juga tidak berlaku jangka panjang.
“Shock therapy yang dimaksud disini adalah jangan sampai kemudian tim saber pungli hanya dilihat ‘menakut-nakuti’ saja. Tetapi tidak mencoba memberantasnya secara sistemik karena jika kita bicara penindakan harus dilihat pencegahannya,” Wana berujar.
Ia berpendapat, kendati di dalam saber pungli tidak ada aspek pencegahan namun setidaknya pungli yang terjadi seharusnya menurun. Tapi pada kenyataannya tidak.
“Kita coba cek kasus yang terjadi, kami memantau dari tahun 2015—2017. Ini ada semacam peningkatan dari tahun 2015, 2016, 2017. Tahun 2015 ada tiga kasus, 2016 ada 20 kasus, 2017 ada 55 kasus,” sambungnya.
Perbaikan Sistem
Berkaca dari kegagalan pemberantasan pungli sebelumnya, penekanan pada upaya penegakan hukum saja menurutnya tidak cukup, tapi harus dilanjutkan dengan agenda reformasi di dalam kelembagaan secara mendasar misal melalui skema deregulasi, penyederhanaan prosedur, dan agenda reform lainnya.
Lebih jauh Wana berpendapat evaluasi terhadap Saber pungli perlu dilakukan untuk melihat efektif tidaknya Saber Pungli yang terbentuk sejak 2016 dalam menjerat oknum nakal. Pasalnya, meski tak berdampak massif, namun petty corruption, atau pungutan yang berskala kecil dirasakan langsung oleh masyarakat.
Salah satu urgensi dibentuknya Satgas Saber Pungli yaitu mengembalikan dan memulihkan kepercayaan publik akan kinerja pelayanan masyarakat, namun hal ini terasa sulit karena kepolisian masih menjadi komponen pelaksana dari tim tersebut. Di satu sisi, kepolisian disebutnya merupakan salah satu lembaga yang rentan akan praktik pungli.
Pendapat berbeda mengenai melemahnya Satgas Saber Pungli disampaikan Kepala Biro Penerangan Masayarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto. Ia mengemukakan, esensi keberadaan Saber Pungli bukan hanya sekedar penindakan, melainkan lebih kepada perbaikan sistem. Atas dasar fungsi dimiliki tersebut, menurut Rikwanto adalah sebuah kewajaran bila tak semua kasus ditemukan tak berakhir di pengadilan.
“Satgas Saber Pungli itu ada pembinaan, ada perbaikan sistem. Bukan semua kasus yang dilakukan saber pungli itu disidang, enggak. Jadi ada beberapa kategori, termasuk ditemukan untuk diperbaiki. Jadi enggak seperti KPK,” jelas Rikwanto.
“Bukan semuanya ditindak terus dipidana, ada yang ditemukan untuk diperbaiki. Seperti OTT KPK memang ada begitu, tapi tidak semua begitu. Itu termasuk perbaikan sistem,” imbuhnya. (Rohadatul Aisy/M Bachtiar Nur)