c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

06 April 2023

21:00 WIB

Ketidakefisienan Investasi Redam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Tidak efisiennya investasi di Indonesia jadi masalah tersendatnya pertumbuhan ekonomi hingga sekarang.

Penulis: Khairul Kahfi

Ketidakefisienan Investasi Redam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ketidakefisienan Investasi Redam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Ilustrasi. Sejumlah truk mengangkut peti kemas berjalan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Seni n (13/2/2023). Antara Foto/M Risyal Hidayat

JAKARTA – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengakui, tidak efisiennya investasi di Indonesia jadi masalah tersendatnya pertumbuhan ekonomi hingga sekarang.

Hal itu terlihat dari rasio tambahan modal terhadap output (Incremental Capital Output Ratio/ICOR) yang masih di kisaran 6%. Tak heran, untuk mengakomodasi pertumbuhan Indonesia yang berkisar 5% membutuhkan investasi yang besar.

“Tadi pun (Menkeu) menceritakan di pertemuan SKK Migas, bagaimana untuk investasi yang bisa dilakukan di Amerika hanya sepertiganya, tapi (investasi) di Indonesia tiga kalinya,” terangnya dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023, Jakarta, Kamis (6/4).

Sebagai tambahan, efektivitas dan optimalisasi modal yang masuk Indonesia terbilang cukup rendah dibandingkan negara tetangga di kawasan. Pada 2019, ICOR Indonesia mencapai 6,57 poin.

Torehan ini terlampau tinggi dibandingkan Filipina (3,7 poin), Thailand (4,5 poin) serta Malaysia (4.6 poin). Apalagi ICOR milik Nusantara terpantau terus cenderung naik sejak 2015 di kisaran 6,50 poin.

Adapun, raihan ICOR yang cukup tinggi menunjukkan tingkat efisiensi yang rendah antara modal yang diberikan dengan hasilnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut juga dibuktikan dalam faktor total produktivitas yang cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Suharso menyampaikan, masih ada banyak pekerjaan rumah untuk pemerintah dalam menekan tingkat ICOR ini. Bahkan, dirinya percaya diri menerangkan, semestinya kapasitas investasi yang dimiliki hari ini harusnya bisa mendongkrak capaian pertumbuhan ekonomi nasional hingga 7-7,5%.

Baca Juga: ADB Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi RI 2023 Melandai Jadi 4,8%

Syaratnya, Indonesia mesti berhasil mencapai level ICOR seperti yang terjadi selama orde baru yang peak-nya sekitar 4 poin.

“Tapi karena ketidakefisienan dan banyak hal yang secara detail mesti kita pelototin gitu. Saya kira, kalau memang bottlenecking-nya itu di regulasi, ya regulasinya seperti apa (diperbaiki) dan seterusnya,” urainya.  

Pada kesempatan yang sama, dirinya juga menyampaikan, Indonesia membutuhkan total investasi sebesar Rp7.138,7-7.374,4 triliun untuk bisa mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi 2024.

Ia menjabarkan, total investasi tersebut bersumber dari investasi pemerintah sebesar Rp369,4-447,8 triliun; investasi BUMN Rp411,1-433,3 triliun; dan investasi swasta/masyarakat Rp6.358,2-6.493,2 triliun.

Ia pun menekankan, investasi yang berasal dari kalangan swasta/masyarakat yang mencapai 90%-an berperan penting sebagai salah satu pendorong keberhasilan pembangunan nasional ke depan.

“Diharapkan investasi (Indonesia) terbesar berasal dari swasta/masyarakat sekitar hampir 90%. Sementara investasi pemerintah dan BUMN diperkirakan akan berkontribusi sekitar 5-6%,” ujarnya.

Mengutip Perpres 134/2022 tentang Sebaran Spasial Proyek Prioritas BUMN dan Swasta RKP 2023, terdapat 119 proyek prioritas BUMN dengan total investasi sebesar Rp290,51 triliun. Selain itu, ada 89 proyek prioritas swasta dengan perkiraan nilai investasi mencapai Rp1.229,4 triliun yang mendukung prioritas pembangunan nasional.

“Proyek-proyek prioritas ini tersebar di berbagai wilayah, baik di kawasan barat maupun di timur Indonesia,” ucapnya.

Berdasarkan hasil evaluasi paruh waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pertumbuhan investasi mencapai 3,87% pada 2022 dari target 6,6-7% pada 2024.

Ke depan, pihaknya memfokuskan pencapaian sasaran pertumbuhan investasi di tahun 2024 untuk menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5%.

Faktor Geopolitik
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan faktor geopolitik dan geo-ekonomi menjadi dua faktor yang menyulitkan proses pemulihan ekonomi.

Dalam proses (akhir) penanganan pandemi covid-19, muncul sebuah dinamika risiko baru yaitu suasana geopolitik yang berubah karena Perang Ukraina pada Februari 2022 yang kini masih terjadi eskalasi.

"Di dalam perjalanan kita juga melihat konstelasi geopolitik menjadi makin mengeras antara AS (Amerika Serikat) dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok),” katanya.

Menurut dia, konflik AS-Tiongkok lebih berkaitan masalah geo-ekonomi dibandingkan masalah politik atau militer.

Adanya konstelasi tersebut membuat global supply-chain berubah, sehingga banyak keputusan di level ekonomi dan level perusahaan dipengaruhi faktor geo-ekonomi.

Misalnya, pada hari ini AS disebut mengusulkan Inflation Reduction Act. Jika dilihat dari judul undang-undangnya, lanjut dia, terlihat berfokus untuk menurunkan inflasi di AS.

Namun, konten dari legislasi itu sangat jelas untuk melakukan de-globalisasi yang berarti mengembalikan semua investasi ke AS sehingga Negeri Paman Sam tak tergantung kepada negara seperti China yang selama ini memiliki hubungan perdagangan dan investasi sangat luar biasa.

Dua raksasa ekonomi akan sangat mempengaruhi bagaimana arus modal bergerak karena tak lagi ditetapkan oleh hanya insentif ekonomi, namun juga insentif dari sisi keamanan, dan itu diberikan subsidi yang luar biasa.

"Makanya Pak Bahlil (Menteri Investasi) nanti bisa mengatakan konstelasi untuk menarik investasi di dalam geopolitik ini juga harus diperhatikan karena ini fakta yang harus kita hadapi,” ucap Menkeu.

Baca Juga: Airlangga: Momen Lebaran Akan Jadi Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi

Dalam situasi seperti ini, maka seluruh kalkulasi menjadi berubah mengingat faktor geopolitik dan geo-ekonomi menciptakan ketidakpastian ekonomi sehingga mendorong harga komoditas menjadi tinggi.

Di satu sisi, kenaikan harga komoditas memang menguntungkan Indonesia yang akhirnya mendorong perekonomian tanah air lebih cepat pulih dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kembali sehat.

Namun, jika melihat seluruh kurva komoditas seperti harga gas dan batubara yang meningkat lalu kembali drop, memberikan implikasi pada perekonomian Indonesia.

Salah satu contohnya adalah lonjakan harga Crude Palm Oil (CPO) karena minyak goreng yang berasal dari bunga matahari yang diproduksi di Ukraina hilang atau tidak ada, sehingga permintaan terhadap minyak goreng dari CPO melonjak tinggi.

“Jadi kita bisa melihat bagaimana perang geopolitik mempengaruhi secara langsung dan kadang-kadang dampaknya sangat terasa oleh masyarakat," ungkapnya.

Demikian juga komoditas pangan yang lain seperti kedelai, gandum dan jagung karena Ukraina dan Rusia adalah producer (komoditas-komoditas tersebut) yang sangat signifikan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar