21 Agustus 2023
11:21 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Tren atau kampanye transisi energi semakin disuarakan oleh hampir seluruh negara. Apalagi suhu semakin panas akibat pemanasan global, membuat transisi dari bahan bakar fosil menuju energi ramah lingkungan menjadi semakin penting.
Tak mau ketinggalan, Indonesia membidik target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Artinya, emisi karbon yang keluar ke udara, setara dengan emisi yang bisa terserap.
Hal tersebut membuat industri hulu migas, penghasil, harus mulai ikut berpartisipasi pada upaya mencapai NZE. Maklum, energi fosil sebagai hasil produksi hulu migas punya tingkat emisi yang tinggi.
Meski begitu dalam perjalanan transisi menuju energi bersih, sektor energi beremisi tinggi tak bisa ditinggalkan begitu saja. Artinya, harus ada 'jembatan' sebelum penggunaan energi baru dan terbarukan semakin masif untuk mencapai NZE tahun 2060.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pun mengamini hal itu. Dalam hal ini, Komaidi menyebut sumber daya gas bumi yang menjadi bagian dari kelompok fosil dengan emisi terendah punya peran penting untuk menjembatani transisi energi.
Baca Juga: Jadi Kado Kemerdekaan, Gas Wiriagar Deep A Masuk Tangguh Train 3
"Peran gas di masa transisi cukup penting. Kalau saya menyebutnya jembatan untuk transisi energi, jadi sebelum sampai ke EBT sepenuhnya, saya kira jembatan atau antaranya adalah gas," sebutnya kepada Validnews dari Jakarta, Jumat (18/8).
Pemerintah, dia sebut, akan menghadapi sederet persoalan apabila langsung melenyapkan energi fosil dan menggantinya dengan energi baru dan terbarukan (EBT), yakni soal stabilitas pasokan dan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan energi berbahan bakar fosil.
"Jadi gas bumi memberi posisi yang bagus. Karena, di satu sisi emisinya bisa berkurang, dan di sisi lain dalam sisi pasokan atau konteks harga relatif lebih moderat dibanding harus 100% pindah ke EBT," kata Komaidi.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga menegaskan bahwa sektor minyak dan gas bumi masih punya peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau, termasuk di Indonesia.
Merujuk catatan BP, dia menyampaikan produksi gas meningkat sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir dengan peningkatan konsumsi di kisaran 1,7% per tahun. Dalam sambutannya di acara IPA Convex 2023, Arifin menegaskan catatan itu jadi bukti nyata bahwa sektor migas punya peran yang penting, terutama di sektor transportasi dan industri seiring tumbuhnya perekonomian berbagai negara.
Strategi Tekan Emisi
Meski begitu, dia juga tak menampik bahwa kebutuhan energi yang meningkat turut beriringan dengan tuntutan perbaikan kualitas lingkungan. Salah satunya, ialah dengan menekan emisi yang dihasilkan dari kegiatan operasi produksi minyak dan gas bumi.
"Ketahanan energi tidak hanya tentang kepastian pasokan serta keterjangkauannya namun juga harus lebih aman dan berkelanjutan serta rendah emisi," sebut Arifin beberapa waktu lalu.
Menteri Arifin juga telah mengantongi strategi demi memastikan industri hulu migas tetap tumbuh dalam memenuhi kebutuhan, sekaligus berperan dalam menekan emisi karbon. Dalam hal ini, Arifin menyorot efisiensi energi untuk menekan emisi gas rumah kaca sebagai cara termudah yang bisa ditempuh pelaku industri migas.
Cara lainnya adalah pengurangan gas buang, mengatur emisi gas metana, serta secara paralel meningkatkan penggunaan pembangkit listrik rendah karbon, serta memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan.
"Langkah selanjutnya adalah dengan meningkatkan penggunaan gas, menginisiasi penggunaan teknologi efisiensi, dan mengembangkan mobilitas rendah karbon, seperti penggunaan kendaraan listrik, biofuel, LNG," tuturnya.
Baca Juga: SKK Migas Pastikan Tak Ada Kenaikan Harga Gas Di Hulu
Penerapan teknologi hidrogen pada sektor hulu migas pun menurutnya harus didorong guna menjawab tantangan industri masa depan, yakni rendah emisi.
"Hal ini ditopang oleh kemampuan industri migas yang memiliki pengalaman dan kemampuan mumpuni untuk mengembangkan dan memproduksi hidrogen," ucap Arifin Tasrif.
Komaidi menambahkan, setelah bauran EBT sudah memenuhi harapan pemerintah, peran gas bumi tetaplah strategis. Pasalnya, fungsi gas tidak hanya sebagai bahan bakar, tetapi juga bahan baku industri, khususnya petrokimia. Ia memperkirakan permintaan petrokimia akan melonjak beberapa tahun ke depan.
Adapun industri petrokimia itu merupakan sektor yang menciptakan produk kebutuhan sehari-hari, hingga perlengkapan sektor otomotif. Contohnya ialah jok mobil, serat baju, hingga perabotan rumah tangga.
"Produk itu sebagian besar diproduksikan petrokimia. Artinya kalaupun gas tidak digunakan sebagai energi, tetap diperlukan untuk bahan baku industri, termasuk pupuk itu juga dari gas," ujar dia.
Pekerja PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Regional Sumatera Zona 4 mengontrol kerangan pipa produksi di stasiun pengumpulan Prabumulih Barat, Prabumulih, Sumatera Selatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi Potensi Besar
Peran gas bumi yang amat strategis sebagai jembatan transisi energi pun beriringan dengan potensi yang juga besar, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Jika dibandingkan minyak, Komaidi meyakini gas bumi punya potensi yang jauh lebih besar dengan rasio produksi yang relatif lebih panjang.
"Kalau minyak jika tidak ditemukan cadangan baru, kisarannya 11-12 tahun mungkin akan habis. Tapi kalau gas lebih panjang dari periode itu, secara cadangan memang lebih besar," paparnya.
Namun, dia menyayangkan besarnya permintaan justru datang dari Indonesia Barat. Artinya, harus ada biaya distribusi yang tidak sedikit guna mengalirkan gas dari timur ke barat.
"Jadi sekitar 75-80% ada di timur, tapi 80% pengguna ada di barat sehingga permasalahan utama adalah ketersediaan transportasi dan distribusi," tandas Komaidi.
Adapun sejumlah wilayah dengan potensi besar terdiri dari Blok Ambalat, Blok Mahakam, hingga Blok Masela yang beberapa waktu lalu telah resmi diambil alih konsorsium Pertamina dan Petronas.
Salah satu yang dibangga-banggakan pemerintah ialah Blok Masela. Lapangan gas abadi yang berada di Kepulauan Tanimbar, Maluku itu baru saja diakusisi oleh Pertamina dan Petronas dari Shell.
Laporan Tahunan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada 2020 menunjukkan proyek pengembangan Lapangan Gas Masela punya cadangan terbukti hingga 18,5 triliun kaki kubik (TCF) gas dan 225 juta barel kondensat.
Sementara itu, mengutip laman resmi Kementerian ESDM, pengembangan hulu migas di Blok Masela diharapkan dapat berkontribusi terhadap tambahan produksi gas bumi sekitar ekuivalen 10,5 juta ton (MTPA) per tahun atau sekitar 9,5 juta ton LNG per tahun dan 150 MMSCFD Gas Pipa.
Arifin Tasrif pun berharap konsorsium tersebut bisa memulai produksi di Blok Masela selambatnya 30 Desember 2029 guna mencapai target produksi gas sebesar 12 BSCFD tahun 2030 mendatang.
Pemerintah juga telah membentuk working group dalam rangka menyusun rencana kerja. Arifin menyebut working group yang efektif bekerja Agustus 2023 itu diberi target tiga bulan untuk merapihkan rencana kerja, guna merealisasikan produksi di Blok Masela.
"Target tiga bulan untuk rencana kerja, bagaimana mencapai target yang diminta pemerintah sekaligus mem-purpose revisi dari POD I," ucapnya kepada awak media di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (4/8).
Dongkrak Serapan Domestik
Salah satu dari sekian langkah strategis memanfaatkan gas sebagai jembatan transisi energi ialah mendongkrak serapan di dalam negeri. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun beberapa waktu lalu menegaskan rencana pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan bahan baku gas untuk keperluan industri domestik.
"Kalau kontrak yang sudah selesai tidak kita perpanjang, tinggal tunggu rapat dari Presiden (Jokowi)," ucapnya singkat saat ditemui awak media di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di tempat berbeda, Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengungkapkan produksi gas dari blok-blok migas di Indonesia masih sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan pasar dalam negeri.
Menurut Kurnia, pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri itu utamanya datang dari sektor industri yang notabene punya peran besar dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.
Di sisi lain, dia menyebut jaminan ketersediaan pasokan gas bagi industri, khususnya industri pengolahan jadi salah satu pertimbangan investor sebelum menanamkan modal mereka.
"Dari situ, kami akan terus mendorong industri dalam negeri supaya bisa memanfaatkan produksi gas nasional," ungkap Kurnia lewat siaran pers, Senin (14/8).
Jika mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), ada amanat untuk mengoptimalkan gas bumi sebagai sumber energi fosil yang relatif lebih bersih dibanding minyak bumi. Setidaknya, pemanfaatan gas bumi ditargetkan mencapai 22% pada 2025 dan minimal 24% tahun 2050 mendatang.
Bahkan pada 2050, SKK Migas memperkirakan kebutuhan gas bisa naik hingga 113,9 MTOE. Guna mencukupi kebutuhan itu, diperlukan pasokan gas bumi setidaknya 89,5 MTOE atau setara 9.786 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) tahun 2025 dan 242,9 MTOE atau setara 27.013 MMSCFD tahun 2050.
Porsi alokasi gas bumi yang semakin besar dan beriringan dengan kebutuhan energi yang juga kian meningkat, Kurnia menegaskan Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan gas untuk sektor domestik.
"Berdasarkan proyeksi yang tertuang dalam RUEN, kebutuhan gas di 2025 diperkirakan mencapai 44,8 million ton oil equivalent (MTOE)," kata dia.
Ilustrasi pemanfaatan gas domestik. Pekerja beraktivitas di pabrik keramik PT Arwana Citramulia Tbk, Serang, Banten. ANTARA/Rosa Panggabean
Tantangan
Walaupun peran gas terlihat cukup penting sebagai jembatan transisi menuju energi bersih, Komaidi Notonegoro tak menampik ada tantangan nyata yang harus sesegera mungkin dibenahi supaya sumber daya tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal.
Tantangan itu berasal dari aspek infrastruktur. Dia menerangkan apabila pemerintah menyetop ekspor LNG tanpa membenahi infrastruktur distribusi, tak akan berdampak apapun terhadap pemanfaatan gas domestik dengan harga yang terjangkau.
Dia menggambarkan semisal harga LNG di hulu sebesar US$5/MMBTU, perlu biaya transportasi sehingga harganya menjadi US$6/MMBTU. Setelah sampai di lokasi, LNG kembali diubah menjadi gas dan butuh biaya sehingga harganya menjadi US$7-US$8/MMBTU.
"Setelah menjadi gas, ditransport lagi melalui pipa transmisi dan distribusi dan ujung-ujungnya akan mahal juga. Ini yang perlu disampaikan bahwa ketika disetop (ekspor), belum tentu menjamin harga lebih murah kalau memang infrastruktur belum tersedia dengan baik," pungkas Komaidi Notonegoro.
Pada kesempatan lain, Menteri Arifin menjabarkan upaya pemerintah membenahi infrastruktur salah satunya dituangkan lewat pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang pada tahun 2025 ditargetkan sudah sampai di Kandanghaur, Kabupaten Indramayu guna mengcover industri vital, khususnya sektor pangan.
Selain itu, pemerintah juga berencana menyambung jalur dari Dumai hingga Sei Mangkei mengingat kawasan Sumatra Utara selama ini masih menggunakan gas yang dicairkan menjadi LNG dari Bontang atau Palu dengan cost yang mahal.
Baca Juga: SKK Migas: Produksi Gas RI Bisa Dimanfaatkan Untuk Pasar Dalam Negeri
Dia mengakui dukungan pendanaan dari pemerintah sangat diperlukan dalam mendukung tersedianya infrastruktur gas bumi yang memadai. Pasalnya, pemerintah dalam menyalurkan pendanaan punya tujuan menciptakan multiplier effect terhadap industri nasional.
"Berbeda dengan swasta, menyalurkan pendanaan yang dipikirkan hanya return, return, dan return, kalau pemerintah lebih ke multiplier effect untuk peningkatan ekonomi. Belum lagi bicara industri smelter untuk mendukung kebutuhan energinya," kata Arifin.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menyampaikan pemanfaatan pipa gas Cisem Tahap I telah dinantikan oleh Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal dengan proyeksi kebutuhan 39,42 MMSCFD dari 26 perusahaan hingga tahun 2026, serta KIT Batang dengan proyeksi kebutuhan 25,83 MMSCFD dari 14 perusahaan hingga 2028.
Soal pasokan gas, Tutuka menyebut nantinya yang mengalir di pipa Cisem berasal dari Jambaran Tiung Biru dan lapangan gas yang dikelola oleh Husky CNOOC Madura Limited (HCML).
Kabar terakhir, pembangunan pipa gas Cisem Tahap I telah mencapai progres 96%. Sedangkan untuk Tahap II Batang-Kandanghaur Timur rencananya dimulai pada 2024 dengan anggaran Rp3,3 triliun.
"Selanjutnya, pemerintah akan melanjutkan pembangunan pipa gas Cisem Tahap II (ruas Batang-Kandang Haur Timur) setelah pembangunan pipa Cisem Tahap I rampung seluruhnya," tandas Tutuka Ariadji.