07 Oktober 2025
16:09 WIB
Kunci Indonesia Emas 2045, RI Butuh Produktivitas Untuk Tumbuh 7%
Pertumbuhan ekonomi RI terlalu bertumpu pada akumulasi tenaga kerja dan modal, akibatnya produktivitas belum maksimal. Produktivitas jadi kunci menggapai Indonesia Emas 2045.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Pekerja merakit mesin mobil di Pabrik Mobil Esemka, Sambi, Boyolali, Jawa Tengah. Antara Foto/Aloysius Jarot Nugroho
JAKARTA - Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN/Bappenas Pungkas Bahjuri Ali mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dekade konsisten di kisaran 5%. Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi 7-8% per tahun untuk menggapai Indonesia Emas 2045.
Sedianya, menurut Bahjuri, Indonesia memiliki modal cukup untuk mencapai target tersebut lewat populasi yang besar, sumber daya alam yang melimpah, dan dominasi usia produktif. Kendati, akunya juga, masih banyak potensi yang belum dioptimalkan.
"Meskipun pertumbuhan ekonomi relatif stabil dan potensi yang besar, ada beberapa pintu yang belum terbuka yang disebut dengan total produktivitas," ujar Bahjuri dalam pemaparannya di agenda Peluncuran Dokumen Master Plan Produktivitas Nasional di Kantor PPN/Bappenas, Jakarta, Selasa (7/10).
Baca Juga: Produktivitas Jadi Kunci RI Lepas dari Jebakan Pendapatan Menengah
Dia menggarisbawahi, pintu produktivitas belum terbuka karena pertumbuhan ekonomi nasional selama ini terlalu bertumpu pada akumulasi tenaga kerja dan modal. Akibatnya, produktivitas total (total productivity) belum maksimal sebagai pendorong utama.
Paparannya menunjukkan, Total Factor Productivity (TFP) Indonesia masih tertinggal dari China, India, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Dalam sedekade terakhir, bebernya, rata-rata pertumbuhan produktivitas Indonesia hanya mencapai 2,6%, atau menjadi yang terendah di antara negara-negara besar di ASEAN.
Adapun pada 2020-2022, persentase TFP Indonesia hanya 0 8% dengan rerata pertumbuhan ekonomi 4,6%. Sementara TFP Singapura di 1,5% dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi 4,9%; Malaysia dengan TFP 1,8% dan rerata pertumbuhan ekonomi di 5%. Bahkan, rata-rata TFP ASEAN sebesar 1,0% dengan rerata pertumbuhan ekonomi 4,9%.
"Rendahnya produktivitas ini tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada kendala struktural, kesenjangan antarwilayah, keterbatasan akses pembiayaan, adaptasi teknologi yang berjalan lambat, hingga lemahnya keterhubungan antara riset, industri, dan pendidikan," jelasnya.
Ketimpangan Bikin Ekonomi RI Tak Produktif
Bahjuri melanjutkan, ketimpangan tersebut terpampang jelas di tingkat provinsi. Konkretnya, arus investasi di beberapa daerah tak secara otomatis menghasilkan pertumbuhan. Sementara itu, di wilayah lain, tingginya produktivitas menjadi pendorong utama perekonomian.
Baca Juga: Kemenperin Ungkap Penyebab Daya Saing Industri Lemah: Kurangnya 'Hambatan' Dagang
Pada saat yang sama, struktur sektoral juga mengalami pergeseran. Ditandai dengan pelemahan manufaktur selaku motor industrialisasi saat ini, melawan pesatnya sektor jasa yang masih terkonsentrasi pada kegiatan ekonomi bernilai tambah rendah.
"Kondisi ini ditambah dengan ketertinggalan usaha kecil yang membuat kesenjangan produktivitas antarwilayah dan antarsektor tetap melebar," sambungnya.
Susun Productivity Master Plan 2025-2029
Dalam mengatasi tantangan tersebut, Kementerian PPN/Bappenas berserta ASEAN Productivity Organization menyusun Master Plan 2025-2029. Dokumen ini merumuskan strategi pertumbuhan berbasis TFP (TFP-led growth) yang menekankan pada inovasi, digitalisasi, peningkatan keterampilan, serta pembangunan infrastruktur fisik dan digital.
Baca Juga: Pemerintah Sayangkan Sektor Manufaktur RI Terus Merosot
Pemerintah meyakini, pendekatan tersebut dapat dijalankan melalui serangkaian kepercayaan strategis (enabler) dengan memadukan analisis mendalam antara dinamika ekonomi dengan arah kebijakan menuju pertumbuhan 8%, untuk mewujudkan visi Indonesia 2045.
Nantinya, TFP itu akan menjadi alat untuk meningkatkan produktivitas Indonesia ke depan yang didukung oleh modal, tenaga kerja, dan finansial.
"Sehingga TFP ini tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama untuk meningkatkan produktivitas labor dan capital yang sudah ada," tandas Bahjuri.