c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

14 April 2025

15:58 WIB

Kasus Suap Perkara Minyak Goreng, Pengamat: Korupsi Korporasi Lebih Berbahaya

Aksi suap oleh korporasi jauh lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi biasa. Perlu pembenahan besar-besaran Mahkamah Agung dan sistem pengawasan hakim.

Editor: Khairul Kahfi

<p>Kasus Suap Perkara Minyak Goreng, Pengamat: Korupsi Korporasi Lebih Berbahaya</p>
<p>Kasus Suap Perkara Minyak Goreng, Pengamat: Korupsi Korporasi Lebih Berbahaya</p>

Petugas membawa Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (tengah) menuju mobil tahanan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Kejaksaan Agung, Jakarta, Sabtu (12/4). Antara Foto/Reno Esnir/app/wpa

JAKARTA - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menegaskan, dugaan suap Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam kasus vonis bebas tiga korporasi minyak goreng merupakan tindakan yang menghancurkan fondasi negara hukum. 

Menurutnya, keterlibatan hakim dalam pengaturan putusan demi kepentingan korporasi adalah bentuk paling brutal dari perampokan keadilan.

“Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita? Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan hukum kepada pemilik modal,” tegas Hardjuno di Jakarta, Senin (14/4).

Baca Juga: Korupsi Bikin Negara Susah Lepas dari Middle Income Trap

Menurutnya, aksi suap oleh korporasi jauh lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi biasa. Dia menganalogikan, korupsi birokrasi merampok anggaran, sementara suap korporasi merampok sistem.

“Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak hukum demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Tidak cuma menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka,” ungkapnya.

Dirinya menekankan, aksi korupsi tersebut cukup berat dilakukan di saat negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk bisa menyubsidi minyak goreng masyarakat. Namun di belakang layar, korporasi justru menyuap hakim agar bisa bebas dari jerat hukum.

“Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap rakyat,” tegasnya

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya dalam perkara dugaan suap vonis lepas untuk Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. 

Uang suap diduga mengalir melalui pengacara korporasi dan pejabat pengadilan. Hardjuno yang juga Kandidat Doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Unair ini menilai, perkara ini menunjukkan bahwa persoalan hukum di Indonesia bukan hanya soal integritas personal, tapi sudah sistemik. 

“Ketika korporasi besar bisa membeli putusan, maka rakyat kecil tak punya harapan di hadapan hukum,” katanya.

Karena itu, dia juga mendesak agar pembenahan besar-besaran dilakukan di tubuh Mahkamah Agung dan sistem pengawasan hakim. Salah satu gagasannya adalah pembentukan lembaga pengawasan independen yang bisa mengaudit kekayaan, gaya hidup, dan jaringan relasi hakim.

“Kalau ada Rp60 miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total, bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar,” ujarnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Korupsi Turunkan Kinerja Ekonomi

Lebih lanjut, Hardjuno kembali menekankan pentingnya pengesahan dan penerapan UU Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan. Menurutnya, pelaku suap tidak cukup hanya dihukum penjara.

Dia meyakini, UU Perampasan Aset akan memastikan bahwa dana hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, sehingga pelaku tidak bisa lagi membeli kebebasan dengan uang kotor. Dengan demikian, ada efek jera lewat penerapan UU tersebut.

“Kalau uang hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara cuma jadi jeda. Mereka akan tetap hidup makmur setelah bebas,” tegasnya.

Apresiasi Kejaksaan Agung
Lebih lanjut, Hardjuno mengapresiasi keberhasilan Kejaksaan Agung dalam membongkar jaringan suap di lingkungan peradilan. Apalagi, Kejagung mampu mengembangkan penyidikan dari satu kasus ke kasus lainnya secara berlapis dan terstruktur.

Awalnya, Kejaksaan menyidik kasus suap hakim dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur di Surabaya. Dari situ, penyidik menemukan barang bukti yang mengarah ke dugaan suap dalam kasus lain, termasuk temuan uang hampir Rp1 triliun dan emas batangan di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung.

Baca Juga: Indonesia Mesti Prioritaskan Pemberantasan Korupsi

Adapun barang bukti itulah yang kemudian membuka pintu ke kasus lebih besar, yakni dugaan suap Rp60 miliar kepada Ketua PN Jaksel dalam perkara vonis lepas tiga korporasi besar minyak goreng.

“Ini menunjukkan bahwa Kejaksaan bergerak sistematis, menelusuri satu per satu jejak uang dan kekuasaan yang merusak integritas hukum kita,” sambung Hardjuno.

Hardjuno menilai, keberhasilan ini bukan sekadar prestasi institusi, tetapi sinyal penting bahwa masih ada keberanian untuk menyentuh aktor-aktor besar di balik mafia hukum. 

“Ini bukan kerja sembarangan. Ini pembersihan yang dimulai dari fakta, bukan sekadar retorika,” jelasnya.

Kronologis Suap
Melansir Antara, Dalam kasus dugaan suap ini, Kejagung menetapkan empat tersangka, yakni WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, MS selaku advokat, AR selaku advokat, dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan bahwa MAN terlibat saat menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Ia mengungkapkan, penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR selaku advokat memberikan suap dan/atau gratifikasi kepada MAN yang diduga sebesar Rp60 miliar.

Pemberian suap tersebut, kata dia, dilakukan melalui WG dalam rangka pengurusan perkara tersebut agar majelis hakim yang mengadili perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah memberikan putusan ontslag atau tidak terbukti.

Baca Juga: Pengamat: Korupsi Makin Menggurita, Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati

Adapun putusan ontslag tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada Selasa (19/4) oleh Hakim Ketua Djuyamto bersama dengan hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.

Pada putusan ini, para terdakwa korporasi yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).

Kendati demikian, majelis hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU. Majelis hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, dan martabat para terdakwa seperti semula.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar