13 Desember 2022
19:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan korupsi menjadi salah satu penyebab sebuah negara sulit lepas dari middle income trap.
Ia mengungkapkan, untuk bisa lepas dari middle income trap, sebuah negara mesti mampu menyediakan solusi dari masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kebijakan ekonomi untuk bisa menciptakan kemakmuran yang berkelanjutan.
Namun dalam perjalannya, salah satu elemen terpenting untuk bisa lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah adalah negara mampu mengelola ancaman korupsi. Sebab, efek erosi dan korosif korupsi menggerogoti setiap negara mengupayakan kemajuannya.
“(Akibatnya), negara-negara ini terus-menerus di dalam perangkat negara yang hanya setengah maju atau sedikit di atas posisi negara miskin,” sebutnya dalam Hakordia Kemenkeu 2022 ‘Integritas Tangguh, Pulih Bertumbuh’, Jakarta, Selasa (13/12).
Lebih jauh, praktik rasuah juga menciptakan situasi inequality atau kesenjangan yang sangat timpang di dalam sebuah negara. Terlihat dari sekelompok masyarakat super kaya yang menguasai politik, ekonomi, dan menetapkan berbagai hal dari sisi sosial, di tengah mayoritas masyarakat yang menghadapi kemiskinan.
Pernah menjabat sebagai Management Director Bank Dunia, membuat Sri Mulyani memiliki pengalaman berkunjung ke lebih dari 100 negara. Pengalaman yang sama juga memberi perspektif komprehensif pada dirinya, mengenai bagaimana tata kelola, korupsi, serta institutional arrangement sangat menentukan kemajuan suatu negara.
Dirinya meyakini, institusi yang berbasis tata kelola yang baik hingga proses check and balance, mampu untuk terus menekan kemungkinan terjadinya penyelewengan dan penyakit korupsi. Upaya ini pun sudah terlihat buahnya di berbagai negara.
“Kita sebetulnya sedang di dalam perang untuk terus menjaga momentum perbaikan ekonomi, untuk terlepas dari middle income (country),” ujarnya.
Meski demikian, tidak berarti negara yang sudah tergolong maju tidak ada atau bersih dari masalah korupsi. Perilaku ini sendiri, kata Sri Mulyani, merupakan takdir yang akan terus-menerus menyertai setiap sikap dan tingkah laku yang akan menggoda petugas negara.
“Oleh karena itu melawan korupsi tidak hanya diperingati dalam Hari Anti Korupsi (saja). Melawan korupsi harus meliputi dan membangun elemen institusi yang kuat, dengan sengaja menciptakan kontrol check and balance. Karena absolute power, corrupt absolutely,” sambungnya.
Dampak Korupsi ke Ekonomi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut korupsi berdampak buruk pada perekonomian sebuah negara. Salah satunya pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat dari multiplier effect rendahnya tingkat investasi.
Hal itu terjadi akibat investor enggan masuk ke negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Ada banyak cara orang untuk tahu tingkat korupsi sebuah negara, salah satunya lewat Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Dikutip dari buku Modul Integritas Bisnis Seri 3: Dampak Sosial Korupsi, korupsi juga menambah beban dalam transaksi ekonomi dan menciptakan sistem kelembagaan yang buruk. Adanya suap dan pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian.
Melambatnya perekonomian membuat kesenjangan sosial semakin lebar. Orang kaya dengan kekuasaan, mampu melakukan suap, akan semakin kaya. Sementara orang miskin akan semakin terpuruk dalam kemelaratan.
Menurut buku tersebut, tindakan korupsi juga mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor, akibatnya uang pembelanjaan pemerintah menjadi lebih sedikit. Ujung-ujungnya rakyat miskin tidak akan mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan yang baik, atau fasilitas kesehatan yang mencukupi.
Rapor Penindakan Korupsi Sangat Buruk
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, terdapat 252 kasus korupsi berdasarkan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi semester I/2022. Dengan 612 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka serta potensi kerugian kepada negara mencapai Rp33,66 triliun. Ditambah temuan umum berupa potensi suap sebesar Rp149 miliar, potensi pungutan liar senilai Rp8,8 miliar dan potensi pencucian uang hingga Rp931 miliar.
Selain untuk memetakan kasus korupsi, pemantauan ini juga dilakukan guna melihat kinerja di tingkat penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. Hasil pemantauan ini menunjukkan belum optimalnya penindakan kasus korupsi.
Sebab, jika dilihat berdasarkan target yang tertera dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) TA 2022, target keseluruhan penegak hukum selama enam bulan pertama tahun ini adalah sebanyak 1.387 kasus di tingkat penyidikan.
“Artinya, jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang diusut, maka penegak hukum hanya berhasil merealisasikan sebesar 18% dari target atau memperoleh nilai E (SANGAT BURUK)” tulis laporan ICW, Kamis (22/11).
Ke depan, ICW berharap, hasil pemantauan ini mampu digunakan sebagai sarana informasi bagi masyarakat untuk mengawal dan memastikan penanganan kasus korupsi menjadi semakin efektif. Selain itu, laporan ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan. Khususnya, lembaga penegak hukum di tingkat pusat maupun daerah dalam memformulasikan agenda jangka panjang yang konkret dalam merumuskan substansi hukum antikorupsi yang lebih baik lagi.