c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

30 Juni 2025

15:25 WIB

Kalah dari Singapura, OJK: Penetrasi Asuransi RI Masih Rendah

Total premi atau penetrasi asuransi yang RI bayarkan setiap tahun masih di bawah 3% dari PDB. Capaian ini masih tertinggal dibandingkan ASEAN yang mencapai 3-5% dan Singapura di atas 10%.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Khairul Kahfi

<p>Kalah dari Singapura, OJK: Penetrasi Asuransi RI Masih Rendah</p>
<p>Kalah dari Singapura, OJK: Penetrasi Asuransi RI Masih Rendah</p>

Ilustrasi - Petugas medis bersiap melakukan transfusi darah dari seorang pendonor di Denpasar, Bali, Jumat (5/4/2024). Antara/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat aset perusahaan asuransi di Indonesia mencapai 5,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, angka ini relatif kecil jika dibandingkan dengan rata-rata aset asuransi terhadap PDB di kawasan ASEAN yang mencapai 15%.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, aset asuransi di negara tetangga seperti Singapura mencapai hampir 70% dibandingkan dengan PDB-nya. Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi asuransi RI terbilang masih kecil.

"Begitu pula dengan total premi asuransi yang dibayarkan setiap tahunnya dibandingkan PDB atau yang dikenal dengan terminologi penetrasi, saat ini masih di bawah 3% dari PDB, dibandingkan ASEAN yang mencapai 3-5%, dan Singapura di atas 10%," kata Mahendra dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (30/6).

Baca Juga: MSIG Life Dukung Regulasi OJK Soal Co-payment 10%

Secara rinci, aset asuransi per PDB Indonesia sebesar 5,12%, sedangkan Singapura mencapai 53,30%. Kemudian, Malaysia sebesar 45,21%, Filipina 9,70%, dan Thailand 23,72%.

Sementara itu, penetrasi asuransi atau premi asuransi per PDB Indonesia sebesar 2,84%, Singapura sebesar 12,50%, Malaysia 3,80%, Filipina 2,50%, dan Thailand 4,60%.

Berkaca dari data tersebut, OJK menilai, kualitas dan cakupan perlindungan yang dapat diberikan asuransi dari risiko kesehatan terbilang terbatas. Padahal, menurutnya, kesehatan merupakan bagian integral dari ketahanan ekonomi masyarakat.

Kemudian, salah satu kajian di tingkat regional yang menyampaikan bahwa protection gap di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, masih sangat besar. Bahkan, jumlahnya ditaksir mencapai US$886 miliar pada 2022.

"Hal itu tentu mencerminkan belum ratanya proteksi asuransi terhadap berbagai risiko kesehatan, sementara di lain pihak risiko-risiko tersebut termasuk terkait dengan bencana alam, penyakit kritis, maupun risiko lainnya terus meningkat," imbuhnya.

Di sisi lain, inflasi di sektor kesehatan atau inflasi medis di Indonesia juga menunjukkan tren yang meningkat dan mengkhawatirkan. 

Baca Juga: Inflasi Kesehatan Tinggi Potensi Dorong Rumah Tangga Jadi Miskin

Mahendra menuturkan, tercatat pada 2023 silam, tingkat inflasi kesehatan RI mencapai hampir tiga kali lipat dari tingkat inflasi secara umum. Adapun pada 2025, diperkirakan tingkat inflasi medis RI dapat mencapai 13,6%.

Oleh karena itu, OJK menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, untuk menjaga kualitas perlindungan yang dapat diberikan oleh asuransi kesehatan dan untuk mendukung keberlanjutan serta perluasan dari cakupan yang diberikan oleh asuransi kesehatan.

"Surat edaran ini hanya berlaku bagi asuransi kesehatan komersial dan tidak mengatur Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan," ujar Mahendra. 

Beberapa ketentuan pokok dalam SE 7/2025, antara lain penerapan fitur Co-Payment minimal 10% dari klaim yang maksimalnya ditetapkan Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.

Baca Juga: Survei Visi: Generasi Z Tidak Begitu Tertarik Pada Asuransi Kesehatan Swasta

Selanjunya, ditetapkan pembentukan medical advisory board dan setiap perusahaan asuransi melakukan berbagai langkah-langkah perbaikan, termasuk kemampuannya untuk penguatan kapabilitas digital dan pertukaran data dengan fasilitas kesehatan.

“Dapat kami laporkan bahwa mekanisme Co-Payment ini memang sudah menjadi best practice secara internasional diterapkan di negara-negara lebih maju, seperti Singapura, Korea, Selatan, Malaysia, maupun juga negara-negara berkembang di kawasan, seperti Thailand dan Filipina,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar