15 Oktober 2024
21:00 WIB
Inflasi Kesehatan Tinggi Potensi Dorong Rumah Tangga Jadi Miskin
Tak hanya membebani rumah tangga, inflasi kesehatan yang tinggi juga mendorong kenaikan klaim asuransi kesehatan.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Pekerja beraktivitas di depan logo-logo asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Jakarta, Jumat (6/1/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA – Inflasi kesehatan yang tinggi berdampak langsung pada peningkatan out of pocket health expenditure, yaitu biaya yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat.
Kondisi ini pun berpotensi mendorong rumah tangga ke dalam kemiskinan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah tanpa akses asuransi kesehatan yang layak. Hal ini menjadi tantangan besar bagi banyak negara berkembang, termasuk negara-negara ASEAN-5.
"Data inflasi kesehatan menunjukkan bahwa di Indonesia, tingkat inflasi kesehatan secara konsisten lebih tinggi daripada inflasi umum, dengan angka inflasi kesehatan di atas 12% sementara inflasi umum hanya 5,51%," ungkap Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim K Rohman saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/10).
Tak hanya membebani rumah tangga, inflasi kesehatan yang tinggi juga mendorong kenaikan klaim asuransi kesehatan, sehingga berpotensi membebani industri asuransi jika tidak diimbangi dengan pengelolaan risiko yang baik.
Baca Juga: Pengamat: Meski Sudah Ada BPJS Kesehatan, Asuransi Kesehatan Swasta Tetap Penting Untuk Pekerja
Karena itu, ia menilai perlu ditelusuri lebih lanjut penyebab fenomena inflasi Kesehatan yang tinggi dan out of pocket health expenditure.
Studi yang dilakukan menemukan rata-rata masyarakat Indonesia melakukan 1-2 kunjungan rumah sakit per bulan, dengan lama rawat inap 4-5 hari per tahun.
"Setiap tambahan kunjungan meningkatkan pengeluaran sebesar Rp695.903, dan setiap tambahan hari rawat inap menambah biaya sebesar Rp810.301," imbuhnya.
Adapun, dampak inflasi kesehatan berbeda di setiap wilayah. Biaya pengeluaran kesehatan terbesar berada di Pulau Kalimantan, diikuti oleh Sumatra, Nusa Tenggara, dan Maluku. Sebaliknya, Pulau Jawa, Sulawesi, dan Papua mengalami deflasi pengeluaran kesehatan pada 2023 dibandingkan 2022.
Tantangan Industri Asuransi
Pelantikan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka hanya tinggal menghitung hari. Nantinya, presiden dan wakil presiden terpilih akan menjabat untuk periode 2024-2029.
Menghadapi pemerintahan baru, sejumlah pengamat mulai menyuarakan pendapatnya. Salah satunya adalah Ibrahim yang menyampaikan beberapa tantangan industri asuransi di tengah pemerintah baru.
Menurutnya, industri perasuransian akan mengalami berbagai tekanan. Tantangan bagi industri peransuransian ke depan tak hanya berasal dari internal, tapi juga berasal dari eksternal.
"Tantangan internal bagaimana kondisi saat ini yang masih diwarnai dengan penurunan daya beli, penurunan kelas menengah, itu harus dimitigasi. Karena ekonomi kita itu adalah ekonomi yang berbasis consumption-driven, berbasis konsumsi masyarakat, konsumsi itu 59-60% dari PDB," katanya.
Dia menjelaskan, jika masyarakat mulai mengerem spending, maka otomatis perekonomian Indonesia juga akan terhambat.
Terlebih, Ibrahim mengingatkan bahwa mesin penggerak utama dari konsumsi atau perekonomian itu adalah kelas menengah.
Baca Juga: Survei Visi: Generasi Z Tidak Begitu Tertarik Pada Asuransi Kesehatan Swasta
Ketika kelas menengah tengah deflasi atau nilai kemampuan pembeliannya (purchasing) turun, maka otomatis akan berpengaruh pada industri perasuransi umum, seperti di properti dan lain-lain.
"Jadi ketika kelas menengahnya turun, akhirnya spending juga akan berkurang. Makanya pasar-pasar jadi sepi, Tanah Abang jadi sepi. Itu karena memang daya beli masyarakatnya turun. Nah itu harus dibenahi dulu secara internal dan harus diantisipasi ke depan," imbuhnya.
Sedangkan untuk tantangan eksternal, lanjut Ibrahim, tentu dengan adanya geopolitik dan segala macam tekanan internasional yang membuat variabel makroekonomi itu menjadi tidak stabil.
Oleh karena itu, diperlukan untuk menjaga tingkat inflasi yang rendah. Kendati demikian, tingkat inflasi yang rendah berarti mengurangi jumlah uang beredar dari masyarakat. Untuk itu, harus meningkatkan tingkat suku bunga.
"Jadi meningkatkan tingkat suku bunga dampaknya apa? Cost of fund-nya naik. Jadi ekonomi itu akan selalu ada kekurangan (drawback) antara satu policy dengan policy yang lain. Satu policy pasti ada positif, negatif," terang dia.
Ke depan, dibutuhkan kredibilitas pemerintah dalam merespon setiap tantangan tersebut. Sehingga, diharapkan akan menghasilkan kebijakan lebih kredibel.