c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

08 Juni 2024

08:00 WIB

Isu PP Muhammadiyah Tarik Dana Besar, Pengamat: BSI Butuh Pesaing

Pengamat menilai untuk menjadi pemain global, harus memiliki industri perbankan syariah domestik yang besar, tidak bisa BSI saja.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Isu PP Muhammadiyah Tarik Dana Besar, Pengamat: BSI Butuh Pesaing</p>
<p id="isPasted">Isu PP Muhammadiyah Tarik Dana Besar, Pengamat: BSI Butuh Pesaing</p>

Seorang warga saat menukarkan uang Rupiah ke Riyal sebagai mata uang Arab Saudi di KCP BSI Menara 165, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (13/5/2024). ValidNewsID/Arief Rachman

JAKARTA - Ramai beredar kabar di tengah masyarakat soal Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menarik dana besar di PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI (BRIS).

Muhammadiyah merasa perlu menata banyak hal tentang masalah keuangannya. Termasuk dalam hal yang terkait dengan dunia perbankan, terutama menyangkut tentang penempatan dana dan juga pembiayaan yang diterimanya.

Fakta yang ada juga menunjukkan penempatan dana Muhammadiyah terlalu banyak berada di BSI, sehingga secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi. Sementara, penempatan dana di bank-bank syariah lain masih sedikit.

Alhasil, bank-bank syariah lain tersebut tidak bisa berkompetisi dengan margin yang ditawarkan oleh BSI baik dalam hal yang berhubungan dengan penempatan dana maupun pembiayaan. Bila hal ini terus berlangsung, persaingan di antara perbankan syariah yang ada dinilai tidak akan sehat.

"Bila hal ini terus berlangsung, maka tentu persaingan diantara perbankan syariah yang ada tidak akan sehat dan itu tentu jelas tidak kita inginkan," sebut Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas dalam keterangan resmi yang diterima Validnews, Jumat (7/6).

Baca Juga: PP Muhammadiyah Tarik Dana Rp13 T, BSI Buka Suara

Keputusan itu pun kemudian ditanggapi oleh berbagai pakar baik pengamat perbankan maupun pengamat ekonomi syariah. Salah satunya adalah Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo. Ia menilai penjelasan PP Muhamadiyah tentang alasan penarikan dana di BSI sudah tepat dan dapat diterima sebagai penjelasan logis dari sudut pandang ekonomi dan manajemen.

"Di antara rasionalisasi yang bisa dicermati adalah tentang kondisi perbankan syariah di Indonesia saat ini, di mana BSI adalah bank syariah terbesar dengan pesaing terdekatnya pun masih terpaut jauh baik dari segi aset, nasabah, laba, jaringan, dan lain-lain. Hal ini dapat memunculkan kekhawatiran risiko konsentrasi bagi nasabah yang menempatkan dana besar di bank tersebut," jelas lelaki yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Jumat (7/6).

Kemudian, lanjut dia, perekonomian syariah memiliki banyak institusi yang perlu berkembang dan perlu didukung. Sehingga, pemilik dana besar memiliki banyak alternatif untuk membagi atau mentransfer risikonya sekaligus mencari pilihan terbaik untuk meningkatkan potensi yield.

Terkait dengan potensi likuiditas BSI yang akan tergerus karena penarikan dana Muhammadiyah, menurut Didiet, dalam jangka pendek kebijakan ini tentunya akan berdampak pada BSI.

"Maraknya pemberitaan dan komentar akan menimbulkan pertanyaan bagi nasabah segala segmen. Sebagaimana diketahui risiko yang paling cepat mempengaruhi bank adalah risiko saat terjadinya kejadian yang berpengaruh pada likuiditas," terangnya.

Baca Juga: Dugaan Kebocoran Data BSI Jadi Ujian Perlindungan Data Pribadi

Oleh karena itu, penarikan dana besar oleh Muhammadiyah ini harus mampu dipenuhi BSI untuk menunjukkan kemampuan BSI menjaga likuiditasnya dengan memastikan kepercayaan nasabah/publik bahwa dana mereka di BSI aman.

"BSI adalah bank syariah terbesar di Indonesia dengan aset yang besar. BSI diharapkan mampu mengatasi dampak dari penarikan dana ini dan tetap tumbuh dalam jangka panjang," imbuh Didiet.

Secara khusus, krisis likuiditas akibat penarikan dana di bank hanya oleh satu institusi belum pernah ditemukan oleh Didiet. Namun, krisis likuiditas akibat penarikan dana multi nasabah ditemukan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Maka dari itu, kata Didiet, terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil dari potensi kejadian semacam ini, antara lain penting bagi bank untuk menjaga kemampuan likuiditasnya setiap saat. Penarikan dana oleh pemiliknya bisa terjadi kapan saja, baik karena alasan ketidakpuasan ataupun karena alasan persaingan.

Selain itu, juga penting bagi bank untuk menjaga kepercayaan nasabah dan debiturnya. Pasalnya, bila terjadi penarikan dana besar oleh nasabah akan menimbulkan risiko likuiditas, maka pelunasan seketika debitur besar pun akan mempengaruhi profitabilitas bank.

"Kolaborasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan baik dari regulator, manajemen bank, dan perlindungan nasabah diperlukan untuk memastikan bank mampu menjalankan bisnis perbankan dengan tata kelola yang baik, sehingga mendapatkan kepercayaan terbaik pula dari nasabahnya," ujar Didiet.

Meminimalkan Dampak Negatif
Sementara itu, kepada Validnews, Jumat (7/6), Pengamat Ekonomi Syariah sekaligus Staf Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Yusuf Wibisono menghormati sikap PP Muhammadiyah yang hendak memindahkan dana simpanan amal usaha Muhammadiyah ke bank syariah lain.

Dia pun menilai bahwa secara makro, industri perbankan syariah tidak akan terganggu dengan langkah tersebut. Lantaran, yang dilakukan Muhammadiyah adalah memindahkan dana dari BSI ke bank syariah lainnya.

"Kita mengapresiasi sikap Muhammadiyah yang memiliki komitmen penuh untuk mendukung perbankan syariah," ujar Yusuf yang juga menjabat sebagai Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS).

Kendati demikian, dia tak mengelak bahwa perlu mewaspadai dampak langsung dan dampak tidak langsung dari aksi Muhammadiyah ini terhadap pendanaan dan likuiditas BSI.

"Dibandingkan dengan dana pihak ketiga (DPK) BSI yang di kisaran Rp300 triliun, dana Rp15 triliun yang akan dipindahkan Muhammadiyah adalah hanya sekitar 5% saja dari DPK BSI, tidak terlalu signifikan. Namun, dana Rp15 triliun tentu akan sangat signifikan mempengaruhi likuiditas BSI dalam jangka pendek," jelasnya.

Baca Juga: Layanan BSI Di Aceh Terganggu, Bank Konvensional Kembali Dirindukan

Maka, hal itu bisa menjadi tantangan bagi BSI untuk memastikan bahwa pemindahan dana ini dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Lebih jauh, kata Yusuf, mitigasi tidak hanya dilakukan untuk dampak langsung, namun juga dampak tidak langsung.

Asal tahu saja, Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar kedua setelah NU dengan puluhan juta anggota. Sikap Muhammadiyah tidak hanya berpotensi diikuti oleh Amal Usaha Muhammadiyah saja, tapi juga oleh puluhan juta anggota dan simpatisannya.

Oleh karena itu, Yusuf menyarankan agar BSI melakukan pendekatan khusus kepada Muhammadiyah agar dampak dari aksi Muhammadiyah ini dapat diminimalkan dan tidak berdampak negatif kepada BSI.

"Secara khusus, saya mengapresiasi Muhammadiyah yang akan memindahkan dana dari BSI ke beberapa bank syariah lain yang lebih kecil, seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat, hingga BPR Syariah dan bahkan BMT. Langkah ini menurut saya sangat positif untuk industri perbankan syariah yang lebih sehat dan dinamis," tutur dia.

Perlu Pesaing Kompetitif
Sejak merger tiga bank BUMN syariah pada 2021, industri perbankan syariah nasional menjadi sangat didominasi oleh BSI. Tercatat, BSI menguasai hingga 40% dari total aset perbankan syariah nasional, dengan aset mencapai Rp358 triliun pada kuartal I/2024.

Adapun, pesaing terdekatnya, yakni Bank Muamalat dan CIMB Niaga Syariah, di mana masing-masing hanya memiliki aset di kisaran Rp65 triliun.

"Langkah Muhammadiyah meski tidak akan mengubah situasi secara signifikan, namun setidaknya akan membuat persaingan di industri perbankan syariah menjadi lebih sehat," kata Yusuf.

Selain itu, dia berpendapat bahwa langkah Muhammadiyah menjadi pengingat bagi pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar tidak terus menggantungkan reputasi perbankan syariah nasional pada BSI saja.

"Dengan posisinya yang sangat dominan, reputasi perbankan syariah nasional menjadi sangat bergantung pada BSI," serunya.

Ia memberikan contoh kasus kejadian system down BSI hingga satu pekan pada 2023 yang lalu. Hal ini menjadi preseden sangat buruk bagi industri perbankan syariah nasional. Maka dari itu, Pemerintah dan OJK harus secepatnya melakukan langkah afirmatif untuk menghadirkan pesaing BSI yang kompetitif.

"Pemerintah selayaknya tidak lagi meneruskan ambisi menjadikan BSI sebagai salah satu bank syariah terbesar di dunia. Menjadikan BSI sebagai alat pencitraan dengan menjadikannya sebagai pemain utama di industri perbankan syariah global adalah langkah semu. Kita tidak bisa menjadi pemain utama dalam industri perbankan syariah global dengan hanya bergantung pada satu entitas saja, yaitu BSI," tegas dia.

Baca Juga: Belum Rampung, BTN: Proses Akuisisi Bank Muamalat Terganjal Teknis Due Diligence

Yusuf menegaskan anggapan ketika BSI masuk dalam 10 bank syariah terbesar dunia maka Indonesia otomatis akan menjadi pemain utama di industri perbankan syariah global, adalah sepenuhnya salah.

Pasalnya, untuk menjadi pemain global, Indonesia harus memiliki industri perbankan syariah domestik yang besar, tidak bisa hanya mengandalkan pada satu pemain besar seperti BSI.

Yusuf menjelaskan, jajaran 10 bank syariah terbesar dunia, seluruhnya dikuasai bank syariah dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Malaysia, Kuwait dan Bahrain. Ciri yang sama dari negara-negara tersebut adalah penetrasi perbankan syariah domestik yang sudah tinggi.

Bahrain misalnya, market share perbankan syariah domestiknya telah di kisaran 15%, Uni Emirat Arab kisaran 20%, Qatar dan Malaysia telah di atas 30%, Kuwait di kisaran 40%, dan Arab Saudi bahkan di kisaran 70%.

Hal ini berbeda jauh dengan Indonesia, di mana market share perbankan syariah domestik hingga kini baru di kisaran 7%, serupa dengan Turki.

Dengan demikian, tidak heran bila Indonesia dan Turki tidak memiliki pemain besar dalam industri perbankan syariah global, karena industri domestiknya memang kecil.

Maka, untuk menjadikan bank syariah Indonesia sebagai pemain global, agenda kebijakan terpenting adalah membesarkan industri perbankan syariah nasional yang setelah lebih dari tiga dekade dikembangkan sejak 1990-an hingga kini market share-nya baru di kisaran 7%.

Dengan industri domestik yang besar, secara alami Indonesia akan memiliki pemain besar di industri perbankan syariah global. Tidak hanya satu, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak.

Langkah Konsolidasi
Yusuf mengaku menyayangkan konsolidasi industri perbankan syariah nasional yang dilakukan terlalu dini.

"Ini di tahap ketika market share perbankan syariah masih sangat rendah, masih di bawah 7% dari aset industri perbankan nasional, semata demi mengejar ambisi memiliki pemain besar di tingkat global," ungkap Yusuf.

Langkah konsolidasi perbankan syariah terutama oleh bank BUMN syariah yang merupakan pemimpin pasar, merupakan langkah yang kontraproduktif bagi perkembangan industri dan kemaslahatan ummat. Merger tiga bank BUMN syariah dinilai tidak berdampak ke market share industri perbankan syariah nasional sama sekali, karena yang digabungkan seluruhnya adalah bank syariah.

"Kebijakan merger tiga bank BUMN syariah terlihat sangat riuh, namun sebenarnya tidak substantif, hanya gimmick, tidak ada kemajuan bagi industri perbankan syariah kita yang market share-nya tetap kecil. Industri perbankan syariah nasional kita akan melesat jika kebijakan yang ditempuh adalah konversi bank BUMN Konvensional, katakan konversi BTN menjadi bank syariah. Kebijakan afirmatif seperti ini yang dibutuhkan," katanya.

Lebih jauh, konsolidasi prematur di industri perbankan syariah telah mencegah bank syariah mendalami ceruk pasar yang spesifik dan menjadi besar dengan strategi spesialisasi bisnis. Konsolidasi prematur juga membatasi pilihan konsumen bank syariah, terlebih ketika sebuah bank syariah memiliki positioning dan core business yang unik dan telah tertanam kuat di benak konsumen.

Dalam kasus merger tiga bank BUMN syariah pada 2021, yang melahirkan BSI, kata Yusuf, industri perbankan syariah nasional telah kehilangan bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan mikro untuk usaha kecil yang melekat pada BRI Syariah.

Baca Juga: Indonesia Posisi Tiga Besar di SGIE 2023, Ini Rinciannya

Kini, seiring rencana spin-off BTN Syariah, Yusuf kembai menyerukan agar jangan sampai kehilangan bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan kepemilikan rumah, terutama KPR subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang melekat pada UUS BTN.

Menurutnya, kebijakan terbaik di sini adalah pemerintah mengkonversi BTN menjadi bank syariah untuk kemudian BTN Syariah melebur ke dalamnya. Atau setidaknya adalah BTN mengakuisisi bank konvensional untuk kemudian dikonversi dan digabung dengan BTN Syariah.

"Ke depan, seharusnya, bank BUMN syariah yang merupakan market leader di bidangnya masing-masing semestinya dibiarkan terus eksis dan diperkuat permodalannya, sehingga market share industri perbankan syariah bisa meningkat signifikan," tutur dia.

Kemudian untuk menciptakan bank syariah level global saat ini, pemerintah diminta untuk mendorong pemain baru pendamping BSI.

Salah satu langkah strategis adalah konversi BTN menjadi bank syariah untuk kemudian BTN Syariah melebur ke dalamnya.

"Langkah ini akan mendongkrak market share perbankan syariah kita dari kisaran 7% saat ini menembus 10%, dengan di saat yang sama kita berpotensi memiliki wakil di jajaran 10 bank syariah terbesar di dunia. Hanya setelah itu baru kita bisa bicara ambisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri perbankan syariah global," pungkas Yusuf.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar