c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

04 Agustus 2025

15:24 WIB

Indef Waspadai Dampak Negatif Penghapusan Beras Premium-Medium

Laporan INDEF menunjukkan penyeragaman mutu dan harga beras premium-medium berdampak negatif bagi produsen-konsumen. Mulai dari disinsentif peningkatan mutu hingga berisiko bagi konsumen rentan.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p>Indef Waspadai Dampak Negatif Penghapusan Beras Premium-Medium</p>
<p>Indef Waspadai Dampak Negatif Penghapusan Beras Premium-Medium</p>

Seorang pekerja sedang memindahkan beras yang telah diolah mesin penggiling. Validnews/Hasta Adhistra.

JAKARTA - Pemerintah memutuskan penyeragaman harga dan mutu beras dengan menghapus kelas premium dan medium. Langkah ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem harga, menghilangkan peluang manipulasi kualitas dan harga, serta meningkatkan keterjangkauan pangan.

Merespons itu, Head of Center Indef Abra Talattov menyampaikan, penyeragaman harga dan mutu beras memunculkan banyak dampak negatif untuk produsen maupun konsumen. Pertama, disinsentif terhadap peningkatan mutu beras yang pelaku usaha produksi.

"Dengan eliminasi harga premium, produsen tidak memiliki insentif untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas," kata Abra dalam laporan INDEF, Jakarta, dikutip Senin (4/8).

Baca Juga: Indef: Kasus Beras Oplosan Tunjukkan Kegagalan Tata Niaga Pangan RI

Kedua, Indef juga mengidentifikasi, penyeragaman beras berpotensi juga tetap menimbulkan kesenjangan distribusi. Alasannya, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras tunggal belum tentu mencerminkan struktur biaya logistik di wilayah Timur Indonesia.

Ketiga, kebijakan penyeragaman beras juga dapat membebani pelaku usaha beras kecil. Abra menyebutkan sekitar 95% penggilingan padi merupakan unit kecil-menengah yang berisiko tidak mampu memenuhi standar mutu baru tanpa investasi besar.

"Potensi dampaknya adalah penutupan usaha dan konsolidasi pasar oleh pelaku pasar," imbuhnya.

Baca Juga: Timbang-Timbang Urgensi Menghapus Jenis Beras Premium Dan Medium

Dari sisi konsumen, lanjutnya, penyeragaman beras juga berpotensi akan menekan konsumen berpendapatan rendah dan rentan.

Dengan demikian jika Harga Eceran Tertinggi (HET) beras diseragamkan dengan harga premium, konsumen yang terbiasa membeli beras medium akan terkena dampak negatif. Kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko kemiskinan bagi kelompok masyarakat terkait.

Rekomendasi Kebijakan Beras Baru
Abra pun menyampaikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah atas potensi dampak negatif tersebut. Pertama, mewajibkan standar mutu (SNI) untuk beras konsumsi dan pelabelan yang transparan agar mutu produk dapat ditelusuri (traceability).

"Studi (beras) di Jepang menunjukkan bahwa sistem ini efektif menjaga kepercayaan konsumen dan mencegah manipulasi kualitas," terangnya.

Rekomendasi kedua, ketimbang menggunakan HET beras tunggal, dia mengusulkan agar pemerintah menetapkan harga batas atas berbasis zonasi. Kebijakan ini diyakini akan lebih adaptif karena mempertimbangkan ongkos distribusi antarwilayah.

"Skema ini sudah diterapkan dalam Perbadan (Peraturan Badan Pangan Nasional) No. 7 Tahun 2023 dan terbukti menjaga pasokan di wilayah tinggi biaya seperti Papua dan Maluku," kata Abra.

Baca Juga: Didorong Beras, BPS: RI Alami Inflasi 0,30% Pada Juli 2025

Selain itu, studi beras di Filipina juga menunjukkan kebijakan batas harga atas (price ceiling) nasional justru berisiko menurunkan mutu dan mendorong pasar gelap, jika tanpa penyesuaian biaya.

"Ketiga adalah kebijakan transisi bertahap. Jika penyeragaman tetap dijalankan, harus ada fase transisi dengan evaluasi berkala berbasis dampak sosial-ekonomi untuk tetap menjaga kepercayaan pelaku pasar," tandas Abra.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar