31 Juli 2025
20:20 WIB
Timbang-Timbang Urgensi Menghapus Jenis Beras Premium Dan Medium
Kasus beras oplosan disebut karena adanya kenaikan bahan baku. Pakar menilai penghapusan beras premium dan medium bukan solusi bijak.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Ilustrasi beras hasil dari mesin penggilingan. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Pemerintah berencana menyederhanakan kelas mutu beras yang diperjualbelikan di pasaran. Yang diwacanakan hanya akan ada dua kelas beras, yakni beras reguler dan beras khusus. Penerapan ini adalah kebijakan buntut kasus beras oplosan.
Dengan kebijakan ini, masyarakat tidak perlu memusingkan kesesuaian kualitas beras yang dibeli. Masyarakat hanya tinggal menentukan merek beras pilihan sesuai preferensi dan kekuatan kantong masing-masing.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan empat kelas mutu beras. Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Aturan menjadi beleid yang menegaskannya, menggantikan Peraturan Menteri Pertanian No 31/2017 tentang Kelas Mutu Beras dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48 Tahun 2017 tentang Beras Khusus.
Empat kelas mutu beras itu adalah premium, medium, submedium, dan pecah. Terdapat dua parameter yang berlaku untuk semua kelas mutu ini, yakni derajat sosoh minimal 95% dan kadar air maksimal 14%.
Namun, tentu saja ada parameter yang menjadi pembeda. Pertama adalah campuran beras patahan kecil alias butir menir. Batasan beras kelas premium adalah maksimal campuran menir hanya 0,5% dari berat total. Lantas, 2% untuk medium, 4% untuk submedium dan 5% untuk kualitas pecah.
Parameter berikutnya adalah butir patah, yakni maksimal 15% untuk premium, 25% untuk medium, 40% untuk submedium dan lebih dari 40% untuk pecah.
Tak hanya menyoal beras utuh dan patah, kelas mutu juga ditentukan oleh campuran beras jenis lain, butir gabah, hingga benda lain seperti pasir. Untuk campuran butir beras lainnya ditentukan maksimal 1% untuk premium, 4% untuk medium, dan masing-masing 5% untuk kelas submedium dan pecah.
Kemudian untuk campuran butir gabah adalah 0% untuk kelas premium, 1% untuk medium, 2% untuk submedium dan 3% untuk pecah. Terakhir, campuran benda lain maksimal 0% untuk premium, dan 0,05% untuk kelas mutu lainnya.
Seperti dikemukakan di awal, penyederhanaan kelas mutu beras menjadi beras reguler dan beras khusus merupakan buntut dari temuan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman soal beras "oplosan" atau penyalahgunaan label premium oleh pelaku usaha di tanah air. Tak tanggung-tanggung, ada 212 merek beras tak sesuai standar mutu yang dilaporkan Menteri Amran ke Polri dan Kejaksaan Agung.
Mentan menyebut, 212 merek beras premium yang dilaporkan ke penegak hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan mutu, berat, dan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah lantas menugasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) untuk menyiapkan standar mutu beras dan harga yang baru. Dari hal ini, tersimpul akan ada dua regulasi yang direvisi, yakni Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 dan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Harga Eceran Tertinggi Beras.
Selain empat kelas mutu beras, Peraturan Bapanas Nomor 2 Tahun 2023 juga mengatur ketentuan beras khusus, yaitu beras varietas lokal, beras fortifikasi, beras organik, beras indikasi geografis, beras dengan klaim kesehatan, hingga beras tertentu yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri, seperti basmati, hom mali, jasmine, japonica.
Sementara dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2024, telah termaktub HET beras medium dan premium untuk berbagai wilayah Indonesia. HET beras medium berada di rentang Rp12.500-13.500 per kilogram (kg). Untuk HET beras premium, di rentang Rp14.900-15.800 per kg.
Seorang pekerja sedang memindahkan beras yang telah diolah mesin penggiling. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
Matangkan Berbagai Alternatif
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi pun mengonfirmasi, pihaknya langsung menyusun aturan baru terkait penghapusan kelas mutu beras di Indonesia. Aturan ini nantinya akan menjadi aturan teknis, dan menggantikan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) sebelumnya.
Beberapa aspek yang menjadi perhatian dalam revisi ini, antara lain penyederhanaan klasifikasi mutu beras, termasuk penghapusan kategori beras premium dan medium, pengaturan ulang HET, parameter mutu beras seperti kadar air dan derajat sosoh, serta ketentuan labelisasi pada kemasan.
Arief menegaskan kategorisasi beras premium dan medium dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi di lapangan, sehingga dibutuhkan penyesuaian regulasi terkait ketentuan standar mutu beras.
“Menindaklanjuti arahan Presiden (Prabowo Subianto.red) yang disampaikan dalam Rakortas bersama Menko Pangan, kita sepakat untuk segera melakukan penyempurnaan regulasi teknis perberasan. Pengelompokan kelas premium dan medium akan dihapus, dan regulasi akan kita sederhanakan agar lebih implementatif. Peraturan Badan yang lama juga akan kita revisi secara menyeluruh,” tegas Arief usai Rakortas Menko Pangan di Jakarta, Jumat (25/7).
Dengan adanya regulasi baru, HET beras reguler tetap akan diatur oleh pemerintah sebagai batas atas di pasaran. Sementara, harga beras khusus tidak diatur pemerintah, tapi pelaku usaha perlu memegang sertifikat merek beras khusus tersebut.
Tak mau gegabah, Arief menuturkan pihaknya terus bekerja dalam mematangkan berbagai alternatif terbaik yang ada. Bapanas pun menyerap masukan dan perspektif agar kebijakan ini nantinya dapat komprehensif, cermat, dan matang untuk dapat diimplementasikan.
"Bapanas ditugasi oleh Rakortas Kemenko Pangan (25/7) untuk menyiapkan standar mutu beras dan harga. Jadi kami akan berikan alternatif-alternatif mana yang paling baik tentunya. Kemudian nanti ini akan dibuatkan Peraturan Badan dan diundangkan, setelah itu dieksekusi. Ada masa transisi juga. Tapi yang jelas, perintah ini kami siapkan supaya bisa mengatasi challenge yang ada hari ini," kata Arief dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (29/7).
Dia pun menjelaskan, dalam beberapa hari terakhir, Bapanas sudah berdiskusi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari Kemenko Pangan, Kementan, BSN, Bulog, Kemendag, BRIN, hingga asosiasi pelaku usaha perberasan (Perpadi).
"Ini supaya bisa mendapatkan hal yang terbaik mengenai persyaratan mutu dan juga harga beras. Kedua hal ini harus diatur benar-benar cermat. Keputusannya harus mature dan ini kami sedang siapkan. Mungkin dalam waktu dekat, perlu mengadakan satu kali Rakortas lagi," ungkap Arief.
Arief menginginkan kebijakan ini nanti bisa diterapkan secara baik dan dapat diimplementasikan di semua lini ekosistem perberasan nasional. Bapanas berharap ada keseimbangan mulai dari petani, penggilingan padi, sampai masyarakat sebagai konsumen akhir.
Ilustrasi hasil beras yang diolah mesin penggiling tradisional. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
Hindari Kekosongan Pasokan
Lantas, bagaimana dengan hasil temuan beras premium yang tidak sesuai standar mutu, terutama yang terlanjur beredar di pasar ritel modern? Alih-alih menarik beras dari pasaran, pemerintah malah meminta produsen beras tetap menyalurkannya ke konsumen dengan menurunkan harga sesuai standar mutu beras dalam kemasan.
Per 25 Juli 2025, Bapanas telah mengeluarkan surat imbauan melalui Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan kepada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO). Dalam warkat bernomor 589/TS.02.02/B/07/2025 disampaikan agar peritel tetap menjalankan transaksi penjualan beras seperti biasa serta tetap menjual stok yang ada di gudang dan display penjualan.
Dalam surat edaran yang disampaikan kepada seluruh pengusaha retail di Indonesia tersebut, juga tertuang imbauan untuk menurunkan harga beras premium sebesar Rp1.000 per kemasan 5 kg. Dengan penurunan tersebut, HET yang semula Rp74.500 untuk 5 kg, menjadi Rp73.500/kg atau Rp14.700/kg.
"Jadi beras yang sudah on sale, yang sudah ada di rak-rak, sudah ada di pasar, itu bukan ditarik kembali, karena kalau ditarik kembali, nanti malah ada kekosongan. Masyarakat mau beli jadi susah. Beras-beras ini kualitasnya masih baik, hanya broken-nya tinggi. Nah, itu kita minta untuk di-adjust harganya. Jadi customer tetap bisa beli beras sesuai kualitas yang ada," terang Arief dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (28/7).
Berdasarkan pantauan panel harga pangan Bapanas, per 31 Juli 2025, rerata harga beras masih lebih tinggi ketimbang HET. Pada zona 1, harga beras premium mencapai Rp15.497/kg atau di atas HET Rp14.900/kg, zona 2 Rp16.591/kg dengan HET Rp15.400/kg; dan zona 3 Rp18.390/kg dengan HET Rp15.800/kg.
Sedangkan, untuk kelas medium, harga di zona 1 sebesar Rp13.937/kg atau di atas HET Rp12.500/kg; zona 2 sebesar Rp14.644 atau di atas HET Rp13.100/kg; dan zona 3 Rp16.497 di atas HET Rp13.500/kg.

Kelangkaan Beras
Yang menjadi pertanyaan memang, adalah kenaikan harga beras melampaui HET ini justru terjadi di tengah klaim produksi beras yang melimpah. Produksi beras nasional mengalami lonjakan signifikan sepanjang Januari-Juli 2025 di tengah cuaca normal usai El Nino tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras mencapai 21,76 juta ton, meningkat 2,83 juta ton atau 14,49% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan produksi gabah kering giling (GKG) yang juga meroket menjadi 37,77 juta ton, naik 4,91 juta ton atau 14,93% dibandingkan Januari–Juli 2024.
Salah satu pedagang sekaligus pemilik toko beras Idolaku di Jakarta, Haryanto mengungkapkan adanya potensi kelangkaan beras di Indonesia, terutama beras premium meski saat ini pemerintah mengklaim surplus produksi beras. Hal ini menurutnya bisa terjadi, jika harga bahan baku atau gabah di daerah tetap tinggi di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp6.500/kg.
Asal tahu saja, Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No 2/2025 menaikkan HPP gabah kering panen dari Rp6.000 menjadi Rp6.500/kg. Namun, kenaikan harga gabah sebagai bahan baku industri penggilingan beras ini tidak diikuti kenaikan HET untuk beras premium dan medium, masing-masing tetap sebesar Rp14.900/kg dan Rp12.500/kg.
“Dalam perjalanan perberasan Indonesia ini, biarpun klaim pemerintah surplus beras, tapi kenyataannya akan terjadi kelangkaan beras, khususnya beras premium. Masalahnya (harga) bahan baku atau gabah di daerah itu justru cenderung naik, kalau penjualannya harus mengacu pada HET, ya (penggilingan) enggak bisa kerja. Pemerintah maunya harga (beras) harus turun, di hulu (harga) bahan naik. Kalau enggak sinkron ya otomatis putus,” terang Haryanto dalam perbincangan dengan Validnews, Kamis (31/7).
Haryanto mengungkapkan alasan berpotensinya beras premium menghilang dari pasaran lantaran saat ini harga gabah di penggilingan sudah mendekati Rp8.000/kg. Mayoritas gabah untuk beras premium tersebut diakui Haryanto berada di perusahaan swasta, sedangkan di penggilingan padi rakyat stoknya nihil.
Adapun, gabah yang dikuasai Bulog sebagai serapan pemerintah, menurutnya memiliki kondisi yang kurang baik. Alhasil, produksi beras premium yang berada di pasaran akan mengalami kenaikan harga.
“Yang punya stok (gabah) itu Bulog. Tapi stok di Bulog kualitasnya tidak akan bisa bagus. Gabah (basah) saat ini sudah mendekati harga Rp8.000/kg. Pemerintah mau menang sendiri, kenaikan harga beras yang sangat tinggi ini sebenarnya berawal dari penyerapan beras lokal oleh Bulog,” jelas Haryanto.
Imbas dari kondisi ini, pengusaha beras menjadi dilema. Di satu sisi harga bahan baku naik tajam, di sisi lain HET beras tidak naik.
Untuk itu, Haryanto tak menampik muncul fenomena produsen memproduksi beras dengan kualitas yang turun mutu. Tindakan ini sebagai cara produsen menekan angka kerugian, namun bukan mengoplos beras.
“Yang harusnya kadar broken itu 5%, karena harga jualnya tidak masuk, makanya untuk menutupi kerugian ya para produsen itu menurunkan kualitas beras ke prosentase broken atau patahan dari 5% ke 15% atau lebih,” tandas Haryanto.
Bukan "Oplosan"
Di persepsinya, yang terjadi saat ini bukanlah pengoplosan beras. Sebab arti kata "oplos" memiliki konotasi yang negatif. Terang, dia menyebut, yang sebenarnya terjadi saat ini adalah penurunan mutu beras.
Senada, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian dan Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengamini bahwa kata "oplos" memiliki konotasi yang negatif.
Kepada Validnews, Selasa (29/7), Eliza menegaskan, campur mencampur beras ini menjadi strategi produsen untuk memaksimalkan keuntungan di tengah kenaikan harga gabah, sementara dari sisi HET penjualan premium tidak ada penyesuaian yang sepadan.
Menurutnya, pengoplosan beras ini merupakan bagian dari strategi dagang dan lazimnya diperbolehkan. Dengan syarat, pencampuran beras ini masih dari jenis yang sama, maksimal patahan 15%, kadar air maksimal 14%, dan butir menir maksimal 0,5% "Nah yang tidak boleh itu kalau dicampur tapi patahannya lebih dari 15%, yang dicampur beda-beda jenis jadinya, beda warna, dan beda bentuk. Akhirnya, nasi jadi cepat basi," katanya.
Sementara itu, menurut Dwi, proses campur mencampur beras dalam internasional lebih dikenal dengan istilah "blending". Dalam hal ini, mencampur bisa antara varietas, antara beras kepala yang utuh dengan beras patah (broken rice), dan sesuai preferensi konsumen.
Dwi menyebut, beras patahan alias broken rice di Amerika, justru dihargai lebih mahal dibandingkan beras utuh. Pasalnya, rasa dari beras patah justru lebih sedap dibandingkan beras utuh.
"Karena kandungan mikro nutriennya lebih tinggi, vitaminnya lebih tinggi, seratnya lebih tinggi, jadi lebih sehat. Itu yang salah kaprah, jadi itu seolah-olah kalau dioplos dengan beras brokennya lebih dari 15% itu melanggar undang-undang, karena kata-katanya dioplos sehingga persepsi masyarakat yang broken-nya lebih tinggi itu lebih tidak sehat. Salah besar," tegas akademisi ini kepada Validnews, Selasa (29/7).
Pekerja menyusun beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di Pasar Sentral Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/3/2025). AntaraFoto/Andry Denisah
Beras SPHP
Menurut Eliza, meski campur mencampur beras sangat lazim, namun dia sepakat jika 'kartu merah' harus diberikan bagi pelaku usaha yang mencampur beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dengan beras premium. Lantaran, beras SPHP merupakan hak masyarakat menengah bawah untuk mendapatkan beras murah di tengah gejolak harga. Adapun, beras SPHP ini dikeluarkan untuk stabilisasi.
Akan tetapi, sebanyak 80% beras SPHP justru tidak sampai ke tangan konsumen, sehingga potensi beras oplosan menjamur di pasar.
Eliza mengatakan, fenomena beras oplosan telah meresahkan dan merugikan konsumen, khususnya masyarakat menengah bawah yang imbasnya dapat menggerus daya beli mereka. Dia menilai beras oplosan ini masuk ke dalam kategori kejahatan ekonomi. Untuk itu, perlu ditindak tegas dan diberi efek jera agar tidak terulang kembali kasus yang sama.
Memang, pemerintah telah menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan dan program SPHP sejak Februari 2025. Padahal, kebijakan ini telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas ketahanan pangan bersama Presiden pada November 2024. Imbasnya, pasar kehilangan suplai beras dari pemerintah, sementara surplus produksi justru diserap Bulog tanpa segera disalurkan kembali.
Arief mengatakan pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun untuk penyaluran kembali program beras SPHP periode Juli sampai Desember 2025 ini. Dengan adanya keterlibatan APBN dalam beras SPHP ini, maka tidak ada toleransi terhadap praktik-praktik pemanfaatan beras SPHP yang tidak sesuai peruntukannya.
Polemik Beras Satu Harga
Untuk mengatasi masalah mutu beras ini, CORE Indonesia menyarankan untuk pemerintah menghapus HET beras premium ketimbang menyeragamkan harga beras dengan menghapus klasifikasi beras medium dan premium di pasaran.
"Menghilangkan (klasifikasi) premium dan medium bukan solusi karena tetap harus ada segmentasi konsumen agar pemerintah bisa intervensi untuk melindungi masyarakat menengah bawah," kata Peneliti Core Eliza Mardian.
Hal ini juga diamini oleh Pakar Pertanian dari IPB Dwi Andreas Santosa. Dia menilai bahwa akan sulit membuat sistem HET disederhanakan menjadi hanya satu harga, yakni harga batas atas.
"Kalau HET beras itu disamakan semua sudah barang tentu kita akan menetapkan satu harga. Dan untuk menetapkan satu harga, sudah barang tentu agak sulit karena ketika dia ditetapkan di harga lebih rendah daripada harga premium yang sekarang ini, otomatis kan akan menurunkan mutu perusahaan-perusahaan beras yang memproduksi beras premium. Tapi di sisi lain, harga beras medium akan terangkat ke atas," ungkapnya.
Di sisi yang lain, dampak adanya satu harga menisbikan perkembangan teknologi dan inovasi di bidang perberasan. Padahal sudah seharusnya industri beras kian lama kian berkembang teknologinya. Teknologi dan inovasi itulah yang nantinya berkontribusi pada peningkatan efisiensi perusahaan beras. Jika efisiensi meningkat, maka otomatis harga beras bisa lebih ditekan. Hal itu pun juga akan menguntungkan konsumen.
Terlebih, menurut Dwi, perusahaan-perusahaan beras telah berinvestasi dalam jumlah besar untuk memperbaiki mutu guna memperbaiki kualitas beras yang mereka produksi. Dengan harga beras premium yang dipatok sama dengan medium, maka akan merugikan mereka.
"Biaya produksinya kan jauh lebih tinggi dibanding menghasilkan beras medium, masa biaya produksi yang lebih tinggi atau bahkan jauh lebih tinggi bisa dihargai sama dengan beras yang biaya produksinya lebih rendah. Itu kan tidak masuk akal dari sisi itu," tegas dia.
Untuk itu, jika harga beras masih mau tetap diterapkan satu harga, dapat menyasar beras medium saja yang sebagian besar dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Seorang pekerja sedang memindahkan gabah kedalam ember. ValidNewsID/Hasta Adhistra.
Jaga Daya Beli
Dengan HET beras premium yang dihapus, konsumen beras premium yang merupakan kalangan atas akan puas dengan kualitas beras yang mereka dapatkan karena sesuai dengan harga yang mereka bayarkan.
Sekalipun harga beras naik, Eliza menilai konsumen beras premium kalangan atas tidak akan mempersoalkan. Pasalnya, mereka memiliki kemampuan untuk mengganti sumber pangan. Tak ada beras, maka porang, kentang, gandum, atau quinoa pun jadi. Karena itu,, pemerintah tidak perlu repot mengurusi HET beras premium.
Di sisi lain, dengan adanya penghapusan HET beras premium, produsen beras juga tetap bisa meraup untung ketika tidak ada lagi pembatasan beras premium.
Eliza pun meminta agar klasifikasi beras medium tetap ada di pasaran. Adapun, HET beras medium juga perlu diatur karena menyasar segmen kalangan menengah bawah yang harus dijaga daya belinya. Kalau beras medium sudah di atas HET, maka pemerintah memiliki tugas untuk stabilisasi harga di pasar.
"Kalangan atas yang pengeluarannya lebih banyak untuk non makanan, tidak akan terguncang kalau harga beras premium naik. Nah yang harusnya jadi prioritas pemerintah karena bagi kalangan menengah bawah, pengeluaran mereka lebih banyak untuk makanan. Ketika harga beras naik, ini akan mempengaruhi pola konsumsi mereka. Mereka jadi mengurangi pembelian protein dan belanja non makanan untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya," tuturnya.
Sependapat dengan Eliza, Dwi Andreas juga menilai klasifikasi beras masih sangat perlu. Bahkan, menurutnya, perlu ditambahkan satu lagi klasifikasi beras. Pasalnya, di pasar global, tidak ada beras premium dengan broken 15%.
"Enggak ada itu beras premium broken 15%. Oke lah kalau beras premium masih tetap sesuai dengan yang sekarang ini, yang 15% broken maksimum. Maka, perlu ada beras super premium atau premium plus dengan broken kurang dari 5% karena di dunia internasional itu yang namanya beras premium ya broken kurang dari 5%," ungkap Dwi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, parameter mutu kelas beras premium dengan broken 15% yang diterapkan pemerintah Indonesia menyesuaikan dengan kondisi penggilingan di Indonesia dan tidak mengikuti penetapan parameter sesuai international best practice.
Tapi karena kondisi penggilingan padi saat ini dianggap sudah meningkat kapasitas dan kualitasnya, Dwi menilai tidak ada masalah untuk menghasilkan beras premium dengan broken kurang dari 5%.
"Kalau gabahnya baik sih tidak ada masalah menghasilkan premium dengan broken kurang dari 5%. Untuk itu mengapa tidak itu saja sebagai kriteria premium, tanpa menafikan kriteria premium yang sekarang dianut di Indonesia. Jadi, tetap tambahin aja premium plus gitu di (broken) kurang dari 5%," urainya.
Berdasarkan catatannya, kondisi penggilingan padi di Indonesia mengalami penurunan di tahun 2021, dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2021, tercatat ada sebanyak 169.789 penggilingan padi di Indonesia, turun dari total sebanyak 182.184 penggilingan padi pada 2012.
Secara rinci, dari sebanyak 169.789 penggilingan padi di Indonesia terdiri dari 161.401 penggilingan padi skala kecil, 7.332 penggilingan padi skala menengah, dan 1.056 penggilingan padi skala besar. Belum ada data pada tahun 2021 hingga 2025.
"Untuk meningkatkan penggilingan padi dibutuhkan permodalan karena untuk mengolah beras atau mengolah gabah menjadi premium itu kan perlu macam-macam, perlu color sorter yang investasinya cukup mahal," ujar dia.
Investasi tinggi untuk meningkatkan mutu beras ini harus dihargai pemerintah lewat kebijakan yang lebih ramah. Jangan sampai kebijakan yang ada justru mematahkan minat berinvestasi. Logikanya, jika beras yang kualitas lebih tinggi dihargai lebih tinggi, otomatis produsen berusaha meningkatkan kualitas. Tapi ketika kemudian beras dengan berbagai kualitas dianggap sama, justru menurunkan semua upaya selama puluhan tahun ini untuk memperbaiki mutu beras di Indonesia.
Berantas Beras Oplosan
Agar tidak terjadi kembali kasus beras oplosan yang beredar di pasaran, maka Eliza memandang perlunya regulasi yang ketat terkait standarisasi kualitas beras premium. Standar ini harus mencakup pengujian rutin terhadap kadar air, butir kepala, dan kepatuhan takaran.
Selain itu, perlunya mewajibkan sertifikasi untuk produsen beras premium. Dalam hal ini, bisa melibatkan jasa pemastian untuk memastikan mutu beras agar konsumen beras premium tidak dirugikan. Kemudian, diperlukan penguatan regulasi pelabelan untuk memastikan adanya informasi yang lengkap di kemasan, misalnya kelas mutu, berat bersih, dan komposisi.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memperkuat pengawasannya. Kemenko Bidang Pangan dianjurkan untuk melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk menangani isu ini.
Yang tak kalah penting adalah perlunya implementasi teknologi digital, dengan mengembangkan sistem pelacakan beras berbasis teknologi seperti blockchain untuk memantau rantai pasok dari petani hingga konsumen, memastikan transparansi, dan mencegah manipulasi dan juga memudahkan pengawasan.
Di sisi penegakan hukum, Eliza menuturkan, perlunya sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Menurutnya, tak hanya denda, tapi juga pencabutan izin usaha atau larangan distribusi bagi produsen "nakal" yang terbukti melakukan pelanggaran.
Sedangkan untuk beras SPHP, kata Eliza, bisa disalurkan oleh pemerintah secara langsung kepada penerima manfaat, tanpa harus lewat distributor dan agen. Hal ini untuk mengantisipasi terulangnya kebocoran. Di sisi lain, harus diakui, terlalu besarnya korporasi menguasai stok beras juga dapat berisiko tinggi karena mereka akan memaksimalkan profit. Untuk itu, perlu ada pengaturan agar korporasi tidak begitu mendominasi di sektor strategis.
Diakui Eliza bahwa selama ini pasar beras di Indonesia penuh dengan asimetris informasi. Ketiadaan basis data yang valid real time, dapat dimanfaatkan korporasi untuk memaksimalkan keuntungan sedangkan konsumen yang dirugikan.