c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

21 Juli 2025

16:25 WIB

Indef: Tarif AS 19% Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI Susut Tipis 0,0031%

Hitungan Indef dengan model GTAP, kesepakatan tarif 19% yang diberikan AS berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi RI sekitar 0,0031%. Di sisi lain, ekonomi AS juga bisa menciut 0,0025%.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Khairul Kahfi

<p>Indef: Tarif AS 19% Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI Susut Tipis 0,0031%</p>
<p>Indef: Tarif AS 19% Bikin Pertumbuhan Ekonomi RI Susut Tipis 0,0031%</p>

Presiden RI Prabowo Subianto melakukan komunikasi langsung melalui sambungan telepon dengan Presiden AS Donald Trump pada Selasa (15/7). Instagram/@prabowo

JAKARTA - Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Ahmad Heri Firdaus mengungkap hitungan dari dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan tarif resiprokal sebesar 19% yang diberlakukan AS kepada Indonesia.

Menggunakan pendekatan model Global Trade Analysis Project (GTAP), menurut Heri tarif 19% yang diberlakukan sepihak hanya untuk ekspor RI ke AS akan menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi yang terbilang kecil, yakni di kisaran 0,0031%.

“Potensi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,003% dengan adanya pengenaan tarif ini,” ujar Heri dalam Diskusi Publik Indef yang berlangsung di Jakarta, Senin (21/7).

Baca Juga: Simulasi DEN: Tarif AS 19% Bisa Naikkan PDB dan Serap Tenaga Kerja RI

Lebih lanjut, jika menyorot target pertumbuhan ekonomi 2025 yang berada di level 5%, maka posisi tersebut jelas akan menyusut lantaran terjadi pengurangan.

“Jadi (pertumbuhan ekonomi 2025) cuman 4,9969% ya, jadi tidak genap 5% karena dikurangi ini, minus 0,0031%. Jadi kira-kira dampaknya kecil ya, tapi tetap menggerus pertumbuhan ekonomi kita,” tambah Heri.

Namun, sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi RI di kuartal I/2025 berada di kisaran 4,87%, di mana capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berada di level 5,11% (yoy).

Sementara itu, kalangan pengamat dan ekonom juga pesimistis pada capaian pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II/2025 maupun selama satu tahun penuh, terlebih dengan adanya kondisi ketidakpastian akibat kebijakan tarif yang berlaku.

Adapun selain Indonesia, Heri juga membeberkan pertumbuhan ekonomi di negara lain yang terkena imbas dari tarif Trump. 

Masih berdasarkan model perhitungan yang sama, Vietnam menjadi negara yang berisiko mengalami penurunan paling besar yakni di kisaran 0,07%, diikuti Kamboja yang turun 0,05%, kemudian Sri Lanka yang turun 0,02%.

Dari 26 negara yang masuk dalam daftar perhitungan, ada beberapa negara yang diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi imbas kebijakan tarif, meski hanya pertumbuhan tipis, di antaranya Singapura, Taiwan dan Hongkong.

Baca Juga: Kena Tarif 19%, BI Ramal Pertumbuhan Ekonomi RI 4,6-5,4% Pada 2025

Menariknya, dalam perhitungan Heri, AS yang menerapkan kebijakan tarif sendiri justru ikut berpotensi mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0025%.

“AS sendiri juga turun (pertumbuhan ekonomi), minus 0,0025%, kenapa? Karena dengan dia menerapkan tarif, kan masyarakatnya harus membayar lebih mahal, terjadi potensi inflasi yang lebih tinggi. Kemudian juga industri mereka belum tentu bisa menurunkan (kebutuhan) impor, yang kemungkinan akan terjadi dari negara-negara mitra,” jelasnya.

Indonesia Target Pasar AS
Heri mengakui, Indonesia mendapatkan kebijakan tarif paling rendah dibandingkan dengan 26 negara lain yang mendapat preferensi tarif baru dari Donald Trump sejak Kamis (16/7). 

Berdasarkan analisanya, penerapan tarif rendah untuk Indonesia juga disebabkan posisi yang strategis dan pasar potensial bagi sejumlah produk AS lewat sejumlah komitmen perdagangan. Situasi ini berbeda dengan negara lain.

Sebagai ganti dari tarif 19%, Heri garisbawahi, Indonesia diminta berkomitmen untuk mengenolkan tarif terhadap produk AS yang masuk ke pasar domestik. Adapun kebijakan serupa, dia lanjutkan, tidak AS berikan kepada negara lain.

“Apakah negara-negara lain juga seperti itu? Seperti Malaysia, Thailand, Vietnam. Apakah mereka juga mengenolkan bea masuk? Saya rasa enggak, karena Amerika Serikat memandang Indonesia ini sebagai suatu negara yang punya kekuatan pasar,” ujar Heri.

Baca Juga: Pemerintah Sebut Tarif 19% Jadi ‘Kemenangan Besar’ untuk Industri Padat Karya

Sebagai contoh, Heri menyorot tarif baru Vietnam yang berbeda tipis dari Indonesia, yakni turun dari 46% ke 20%. Selain itu, Malaysia yang justru naik dari 24% ke 25%, dan Thailand yang tidak mengalami perubahan tarif dan tetap sebesar 36%.

Menurutnya, hal tersebut AS lakukan lantaran negara-negara tersebut tidak dipandang sebagai pasar dan tidak memberikan pengaruh terhadap produk asal Negeri Paman Sam.

“Nah kalau Vietnam, mau (AS) jualan sebanyak apapun ke Vietnam lakunya segitu-gitu saja. Artinya mereka tidak dipandang sebagai pasar. Mau tarifnya 5%, 10%, 20% ya paling bedanya tipis. Karena mereka bukan pasar,” ujar Heri.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar