29 September 2025
12:50 WIB
INDEF: Kebijakan Fiskal Saja Tak Cukup Jawab Persoalan Ekonomi Riil
INDEF menilai kebijakan fiskal saja tak cukup mengatasi hambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Stimulus 8+4+5 hanya bersifat jangka pendek dan tidak menjawab persoalan fundamental sektor riil.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Patung presiden pertama Indonesia, Sukarno, di depan Gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Dok Tim Media Presiden
JAKARTA - Direktur Program INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menilai, kebijakan fiskal saja tidak cukup dalam mengatasi hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Menurutnya, 'Program 8+4+5' sebagai salah satu kebijakan fiskal pemerintah untuk menstimulasi ekonomi hanya bersifat sementara. Lebih mendasar, dia menekankan, kebijakan ini tidak menjawab permasalahan yang terjadi di sektor riil.
“Kebijakan stimulus 8+4+5 belum cukup dan merupakan insentif seperti potongan pajak dan bantuan, hanya bersifat jangka pendek dan tidak sepenuhnya menjawab persoalan fundamental, yakni stagnasi pendapatan riil serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja berkualitas,” ujar Eisha dalam pernyataan tertulis, Jakarta, dikutip Senin (29/9).
Baca Juga: Begini Strategi Program Ekonomi Pemerintah Serap 3 Juta Pekerja
Pemerintah saat ini dinilai menganggap masalah stagnasi ekonomi bisa diatasi hanya dengan mengucurkan insentif fiskal lebih banyak di masyarakat.
Padahal, permasalahan utama bukan pada masalah fiskal, melainkan pada sektor riil yang diberatkan dengan masalah kebijakan dan lingkungan bisnis yang belum kondusif, termasuk kepercayaan dari pelaku ekonomi yang belum tumbuh maksimal.
Eisha mengatakan, tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan sisi permintaan domestik berkelanjutan, efek stimulus akan cepat mereda begitu intervensi fiskal berhenti.
Lebih rinci mengenai sektor riil, dia menunjukkan, terjadi pelemahan tajam penjualan kendaraan yakni secara grosiran (wholesale) sekitar -8,6% dan ritel -9,5% pada Januari-Juni 2025.
Baca Juga: PCO: Insentif Paket Ekonomi Lindungi Pekerja Lepas Hingga Ojol
Selain itu, PMI manufaktur berada di zona kontraksi selama kuartal II/2025, diikuti penurunan investasi asing langsung (FDI) dari Rp217,3 triliun menurun ke Rp202,2 triliun akibat ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan kompetisi menarik modal global.
Belum lagi, permintaan domestik melemah yang tecermin dari konsumsi rumah tangga yang melambat, inflasi meningkat sepanjang Januari-Juli 2025 sebesar 2,37% dibanding 1,07% pada periode sama 2024 (yoy), dan meningkatnya PHK sebesar 32% pada semester I/2025 yang makin menekan daya beli masyarakat.
“Indikator kepercayaan konsumen ikut menurun, dengan Indeks Keyakinan Konsumen turun dari 121,1 (Maret) ke 117,8 (Juni 2025), disertai penurunan ekspektasi penghasilan dari 135,4 ke 133,2, menandakan pesimisme terhadap prospek ekonomi rumah tangga,” terang Eisha.
Bahaya Likuiditas Berlebihan
Eisha juga mengatakan, kebijakan pergeseran dana SAL dari BI ke perbankan untuk meningkatkan likuiditas agar mendorong sektor riil tidak serta-merta akan menyelesaikan masalah.
Lantaran saat ini, permintaan masyarakat sedang turun karena lemahnya daya beli, diikuti suplai sektor riil juga sedang melambat di tengah ketidakpastian yang tinggi.
Dia menekankan, kebijakan fiskal lewat pengelolaan keuangan negara melalui APBN dalam mendorong stabilitas ekonomi perlu diperkuat dalam menjaga keseimbangan ekonomi. Bukan membanjiri pasar keuangan dengan likuiditas yang justru akan mendorong ketidakseimbangan dan berdampak negatif.
“Seharusnya Menteri Keuangan perlu juga memikirkan dampak penempatan dana tersebut secara lebih komprehensif pada pasar keuangan dan sektor riil. Sebab, injeksi likuiditas yang berlebihan dapat menimbulkan masalah baru,” imbuh Eisha.
Baca Juga: Mulai Membaik, Kredit Perbankan Agustus Tumbuh 7,56%
Dia juga menyorot pinjaman kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) Juni 2025 yang naik 9,51% (yoy). Menariknya, pertumbuhan ini melonjak drastis pada bank-bank persero, yang angkanya mencapai 20,9%. Eisha menekankan, kondisi ini mencerminkan ketidakpastian dunia usaha dari sisi permintaan kredit yang lemah.
Bukan hanya itu, dirinya juga menyorot posisi operasi moneter Bank Indonesia pada pekan pertama September 2025 yang sudah mencapai Rp991 triliun, naik dari Rp 904 triliun pada pekan pertama September 2024 (yoy).
“Ini mencerminkan adanya excess liquidity yang tidak disalurkan pada kredit. Melainkan, sebagian besar excess liquidity (sekitar 70%) ditaruh pada SRBI karena bunga yang tinggi. Posisi dana bank di SBN pada minggu I September 2025 mencapai Rp1.545 triliun, naik dari Rp1.505 triliun pada periode yang sama di 2024,” beber Eisha.
Baca Juga: Analis: Kebijakan Pemerintah Jadi Pemicu Pelemahan Rupiah
Untuk itu, dirinya kembali menegaskan, injeksi likuiditas berlebihan yang tidak dibarengi reformasi struktural pada sektor riil dan investasi, serta perbaikan daya beli masyarakat, akan memperdalam pemisahan antara sektor riil dan moneter.
Menurutnya, kondisi tersebut sudah tampak terjadi sejak paruh kedua 2024 sebagai akibat pengetatan kebijakan BI sejak pertengahan 2023.
“Reformasi struktural untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha sangat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepastian usaha agar dunia usaha terdorong untuk berekspansi,” tegasnya.