11 Juli 2025
16:23 WIB
Hadapi Tarif AS 32%, Kemenperin: Momen Perkuat Industri Obat Bahan Alam
Kemenperin menyatakan pengenaan tarif resiprokal AS 32% terhadap produk impor Indonesia jadi momen memperkuat industri obat herbal. Mulai dari jamu, herbal terstandar, hingga fitofarmaka.
Editor: Khairul Kahfi
Seorang petugas Pusat Saintifikasi dan Pelayanan Jamu (PSPJ) Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sedang memeriksa bahan produk jamu yang akan diekspor. Antara/Kutnadi
JAKARTA - Kementerian Perindustrian menyatakan, pengenaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) sebesar 32% terhadap produk impor asal Indonesia menjadi momen untuk memperkuat industri obat berbahan alam yang terdiri dari jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Andi Rizaldi menjelaskan, saat ini bahan baku industri farmasi domestik sebagian besar berasal dari impor. Dengan begitu, penguatan produksi obat berbahan alam bisa menjadi peluang pemajuan ekonomi nasional di tengah tarif resiprokal AS.
Ini karena Indonesia memiliki pasar besar dengan 23.576 obat bahan alam yang terdiri dari 23.000 jamu, 77 obat herbal terstandar, dan 20 fitofarmaka.
"Kami melihat justru itu adalah peluang sebetulnya dalam kondisi seperti ini," kata Andi di Jakarta, Jumat (11/7) melansir Antara.
Baca Juga: Nego Tarif Dagang 32% Dengan AS Dilanjut, Menperin: Bukan Saatnya Panik
Lebih lanjut, strategi yang diambil pihaknya untuk memacu industri obat bahan alam dalam menghadapi tarif AS yakni dengan memberi dukungan ke pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM), khususnya dalam pemenuhan sertifikasi.
"Kita ingin menyisir (industri) skala yang lebih kecil karena mereka mungkin ada keterbatasan yang harus kita dukung," katanya lagi.
Sejumlah remaja menikmati es krim jamu di sebuah kafe jamu di salah satu mal Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (11/6/2024). Antara Foto/Aji Styawan
Pihaknya mencatat industri obat bahan alam dalam negeri tengah mengalami ekspansi tinggi, dengan nilai ekspor pada Januari-September 2024 mencapai US$639,42 juta atau Rp10,37 triliun (kurs Rp16.224 per dolar AS).
Baca Juga: Peluang Ekspor Capai Rp4 T Lebih, Kemenperin Genjot Hilirisasi Minyak Atsiri
Menurut dia, perkembangan industri ini masih memiliki prospek yang baik ke depan. Sehingga memerlukan sinergi yang kuat antar berbagai pemangku kepentingan guna meningkatkan daya saingnya di pasar internasional.
Andi menyampaikan, saat ini terdapat beberapa jenis perusahaan industri obat bahan alam di Indonesia, yaitu Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) dan Industri Obat Tradisional (IOT).
Kemenperin mendukung kebijakan pengembangan obat bahan alam, terutama dalam proses produksi dan teknologi manufaktur, dengan salah satu upaya melalui pembangunan House of Wellness atau fasilitas produksi obat bahan alam.

Fasilitas pembuatan obat berbahan alami ini memiliki alat pendukung berupa pengolahan simplisia (segar dan kering) yang menunjang proses sortasi, pencucian, penirisan, perajangan dan pengeringan.
Terpisah, pemerintah juga melalui Kemenko Ekonomi tengah mempercepat finalisasi kesepakatan dagang untuk menjajaki pasar alternatif Uni Eropa via IEU-CEPA dan Eurasia via IEAEU-FTA di tengah perpanjangan negosiasi tarif dagang Indonesia dengan AS sampai 1 Agustus mendatang.
Baca Juga: Kemenko Ekonomi: Indonesia Siapkan Strategi Hadapi Negosiasi Tarif AS Yang Buntu
Pemerintah menyampaikan, hubungan dagang Indonesia-Uni Eropa terus berada dalam jalur positif dengan capaian US$30,1 miliar pada 2024. Di tahun yang sama, Indonesia juga berhasil mencetak surplus dagang dengan Uni Eropa mencapai US$4,5 miliar atau naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya sekitar US$2,5 miliar.
Sementara itu, hubungan dagang antara Indonesia dengan Eurasia juga sama-sama moncer. Per kuartal I/2025, total perdagangan Indonesia-EAEU melonjak sebesar 84,40% mencapai US$1,57 miliar. Eurasia juga telah menanamkan modal di Indonesia senilai US$273,7 juta pada 2024.