c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

09 Agustus 2025

16:37 WIB

Ekspansi PLTG Berpotensi Bebani Negara Rp155,8 Triliun Per Tahun

Yayasan Indonesia Cerah menyebut ada potensi beban negara sebesar Rp155,8 triliun per tahun dari PLTG 10,3 GW. Utilisasi infrastruktur gas bumi bakal menjebak Indonesia dalam adiksi baru energi fosil

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Khairul Kahfi

<p>Ekspansi PLTG Berpotensi Bebani Negara Rp155,8 Triliun Per Tahun</p>
<p>Ekspansi PLTG Berpotensi Bebani Negara Rp155,8 Triliun Per Tahun</p>

Ilustrasi - Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) melalui Compressed Natural Gas (CNG) Jakabaring di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (16/4/2021). Antara Foto/Nova Wahyudi

JAKARTA - Yayasan Indonesia Cerah menyebut ada potensi beban negara sebesar Rp155,8 triliun per tahun dari ekspansi Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas (PLTG) 10,3 GW yang termaktub dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034.

Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati menerangkan, peningkatan kapasitas PLTG bakal mendongkrak biaya pembelian gas oleh PLN. Pasalnya, RUPTL memproyeksikan kebutuhan gas meningkat tajam sampai 60% menjadi 2.352 BBTUD pada 2034 mendatang.

Jika dihitung dengan asumsi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) maksimal US$6 per MMBTU, total biaya pembelian gas bisa menyentuh US$5,15 miliar per tahun atau sekitar Rp84,98 triliun dengan asumsi kurs Rp16.500 per dolar AS.

Dengan kebijakan HGBT yang masih berlaku, selisih harga yang akan ditanggung pemerintah pun berpotensi melonjak. CERAH memperkirakan pemerintah harus menanggung sekitar Rp70,82 triliun dengan adanya penambahan pembangkit listrik berbasis gas sebesar 10,3 GW.

"Makin besar selisih harga keekonomian gas dengan HGBT, semakin besar pula potensi penerimaan negara yang akan berkurang. Jadi dengan tambahan 10,3 GW pembangkit gas, maka diperkirakan total biaya yang diperlukan akan bertambah hingga Rp155,8 triliun per tahun," jabar Sartika lewat keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (9/8).

Baca Juga: Celios: PLTG Fosil Berpotensi Gerus PDB Rp603,6 T Selama 16 Tahun

Sartika menambahkan, pembangunan infrastruktur gas bumi seperti pipa dan fasilitas regasifikasi juga butuh biaya yang tinggi, serta waktu yang panjang untuk balik modal. Kondisi itu pun bakal menjebak Indonesia dalam adiksi baru energi fosil.

Utilisasi infrastruktur tersebut, menurutnya, bakal dipertahankan untuk alasan efisiensi dan pengembalian modal. Salah satu dampaknya, perlambatan investasi pembangkit berbasis energi bersih, sistem penyimpanan energi, serta penguatan jaringan.

Apalagi, dokumen RUPTL PLN 2025-2034 tidak mencantumkan secara jelas soal batas waktu penggunaan gas, target pengurangan, maupun strategi phase out yang konkret.

"Tanpa arah yang jelas, gas berisiko berubah dari 'energi jembatan' menjadi 'energi permanen' yang membelokkan tujuan transisi dan melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi iklim global," sambungnya.

Sartika juga mengungkapkan, biaya pemenuhan kebutuhan infrastruktur PLTG setiap tahunnya sudah mendekati target penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) sebesar Rp208,58 triliun tahun ini yang bersumber dari PPh migas, PNBP, dan komponen lainnya.

"Pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor migas sebesar Rp208,48 triliun pada 2025 yang bersumber dari PPh migas, PNBP, dan komponen lainnya. Namun, biaya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik gas per tahun saja sudah mendekati angka tersebut. Belum dengan biaya pembangunan infrastruktur gas," ucap dia.

Baca Juga: Celios: PLTG Fosil Ancam 6,7 Juta Pekerjaan Di Indonesia

Tak sampai situ, terdapat pula potensi Indonesia menjadi net importir gas setelah 2037 dengan produksi yang dilakukan secara jor-joran dan berakibat pada cadangan gas nasional yang terus menurun.

Ketergantungan impor bakal terjadi dan semakin parah dengan peningkatan konsumsi gas domestik baik dari sektor industri, pupuk, rumah tangga, dan termasuk juga ketenagalistrikan.

"Ketika cadangan menurun dan laju lifting tidak mampu mengejar pertumbuhan permintaan, maka kompetisi antarsektor tak terhindarkan," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar