25 April 2025
14:57 WIB
Celios: PLTG Fosil Ancam 6,7 Juta Pekerjaan Di Indonesia
Proyeksi risiko penurunan serapan 6,7 juta tenaga kerja diperoleh dari pertimbangan gangguan pada pendapatan masyarakat sekitar di sektor terdampak seperti kelautan dan perikanan.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira memaparkan, penurunan serapan tenaga kerja jadi salah satu risiko yang timbul dari masih digencarkannya pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), yang diklaim sebagai upaya transisi energi.
Alih-alih menyukseskan upaya transisi energi, proyek pembangkit turbin berbasis gas fosil jitu ustru akan menghambat upaya transisi energi di Indonesia.
"Dari sisi serapan tenaga kerja, pembangkit turbin gas berisiko menurunkan serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang, angka ini mempertimbangkan gangguan pada pendapatan masyarakat di sektor terdampak seperti sektor kelautan dan perikanan," ujarnya dalam laporan Dampak Ekonomi, Kesehatan, dan Lingkungan Ekspansi Pembangkit Gas Fosil, Jakarta, Kamis (24/4).
Baca Juga: Pemerintah Bentuk Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau
Perlu diketahui, Global Energy Monitor (GEM) mencatat, terdapat 11 proyek PLTG dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) yang akan dibangun di Indonesia dalam rentang waktu hingga 2030.
Adapun total kapasitas PLTG dan PLTGU tersebut mencapai 2.680 MW (2,68 GW) atau 12,18% dari target RPP KEN yang mencapai 22 GW pada tahun 2040.
Berangkat dari perhitungan tersebut, hasil simulasi menunjukkan, rencana pemerintah menambah kapasitas PLTG hingga 22 GW pada 2040 berpotensi mengurangi angka serapan tenaga kerja sejumlah 6,7 juta orang dalam skenario teknologi turbin gas, dan 2,4 juta orang dalam skenario teknologi siklus gabungan.
Bertolak belakang dengan dampak tersebut, energi terbarukan komunitas justru berpotensi meningkatkan serapan tenaga kerja mencapai 20 juta orang dalam periode yang sama.
"Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan karakteristik investasi dan kebutuhan tenaga kerja antara PLTG dan energi terbarukan berbasis komunitas," papar Bhima.
Dia menjelaskan, PLTG cenderung bersifat padat modal dan bergantung pada teknologi tinggi dengan tingkat otomatisasi yang tinggi, sehingga membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja setelah tahap konstruksi selesai.
Selain itu, operasional PLTG lebih terpusat pada perusahaan besar dengan spesialisasi tertentu, sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja di sektor lokal, terutama bagi pekerja dengan keterampilan rendah hingga menengah.
Energi Terbarukan Berbasis Komunitas
Di lain sisi, Bhima menjelaskan, energi terbarukan berbasis komunitas menjadi solusi yang lebih tepat untuk transisi energi. Karena memiliki sifat padat karya yang lebih tinggi, terutama dalam instalasi, operasional, dan pemeliharaan infrastruktur energi.
Baca Juga: Transisi Energi di Indonesia Terhadang Anggaran
Proyek-proyek energi terbarukan berskala komunitas juga membuka lebih banyak peluang kerja bagi tenaga kerja lokal, baik dalam konstruksi, perawatan, maupun rantai pasokan terkait, seperti industri manufaktur panel surya, turbin angin, atau komponen pembangkit listrik mikro hidro.
"Selain itu, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas mendorong munculnya ekosistem ekonomi baru, seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak di sektor energi terbarukan, peralatan pendukung, serta layanan teknis," urai Bhima.
Dengan meningkatnya elektrifikasi berbasis komunitas, sektor produktif seperti pertanian, perikanan, dan industri kecil juga dapat berkembang lebih pesat, menciptakan efek berganda terhadap penciptaan lapangan kerja.
"Oleh karena itu, dalam jangka panjang, investasi dalam energi terbarukan berbasis komunitas tidak hanya lebih ramah lingkungan tetapi juga lebih efektif dalam menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat luas," papar Bhima.