25 April 2025
16:03 WIB
Celios: PLTG Fosil Berpotensi Gerus PDB Rp603,6 T Selama 16 Tahun
Studi CELIOS juga menemukan risiko pengembangan PLTG fosil dapat memberi dampak negatif terhadap output ekonomi sebesar Rp941,4 triliun.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Suasana polusi udara diamati dari kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (17/6/2022). Antara/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
JAKARTA - Studi terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama Greenpeace mengungkap, pengembangan PLTG dengan teknologi turbin gas dan siklus gabungan berpotensi menggerus PDB selama 16 tahun ke depan dengan total dampak kumulatif, masing-masing sebesar Rp603,6 triliun dan Rp154,4 triliun.
"Dampak negatif dari penggunaan PLTG berbasis teknologi turbin gas fosil dan siklus gabungan terhadap PDB disebabkan oleh ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam pembangkit listrik tenaga gas fosil, dan dapat meningkatkan volatilitas harga energi, terutama jika terjadi fluktuasi harga gas fosil alam di pasar global," ungkap Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira di Jakarta, Kamis (24/4).
Baca Juga: Celios: PLTG Fosil Ancam 6,7 Juta Pekerjaan Di Indonesia
Selain itu, biaya bahan bakar yang tinggi dan ketidakpastian pasokan juga diyakini dapat membebani anggaran energi nasional serta mengurangi daya saing industri dalam negeri.
Perlu diketahui, proyeksi dampak negatif PLTG fosil terhadap PDB ini didasari oleh data Global Energy Monitor (GEM), yang mencatat terdapat 11 proyek PLTG dan PLTGU yang akan dibangun di Indonesia dalam rentang waktu hingga 2030.
Adapun total kapasitas PLTG dan PLTGU tersebut mencapai 2.680 MW (2,68 GW) atau 12,18% dari target RPP KEN yang mencapai 22 GW pada tahun 2040.
Selain terhadap PDB, proyek pengembangan PLTG yang sama juga memiliki dampak negatif terhadap output ekonomi secara agregat dalam skala ekonomi nasional hingga 2040.
"Pembangkit gas fosil akan menurunkan output ekonomi sebesar Rp941,4 triliun secara akumulatif hingga 2040, sementara PLTG siklus gabungan akan menurunkan output hingga Rp280,9 triliun," tambah Bhima.
Adapun aspek proyeksi ini diperhitungkan akibat PLTG fosil yang tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca dari hasil pembakaran gas fosil, berupa karbon dioksida dan metana yang memiliki dampak berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Akibatnya, kondisi tersebut semakin mempercepat krisis iklim yang berdampak negatif terhadap sektor ekonomi lainnya, terutama sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Kontradiktif Janji Transisi Energi
Berangkat dari temuan studi di atas, Bhima menyorot pidato Presiden Prabowo di KTT G20 November 2024 lalu di Brasil, yang menyerukan pentingnya aksi kolektif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan Indonesia memiliki agenda transisi energi hijau untuk mencapai nol emisi 2050 dengan penggunaan biodiesel dan menutup PLTU, kemudian beralih ke sumber energi baru terbarukan.
"Sayangnya, pidato tersebut tak lebih dari sekadar menjual janji. Komitmen pemerintah dalam upaya transisi energi bertolak-belakang dengan kebijakan energi yang disampaikan oleh Pemerintah dengan rencana untuk menjadikan gas fosil sebagai 'energi transisi' dan merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Gas Fosil baru dalam jumlah besar," ungkap Bhima.
Baca Juga: Pemerintah Bentuk Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau
Buktinya, rencana pembangunan PLTG fosil yang dimaksud justru tercantum pada Accelarated Renewable Energy Development (ARED) yang akan dituangkan pada RUPTL selanjutnya.
Terbaru, bukti langkah kontradiktif pemerintah dengan janji yang disuarakan tecermin dari rencana memprioritaskan pendanaan Danantara untuk pengembangan migas daripada energi terbarukan.
Dari kondisi tersebut, Bhima menekankan, solusi-solusi yang pemerintah tawarkan pada kebijakan energi seharusnya bukan solusi palsu yang hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan energi fosil.
Untuk itu, dia mendorong pemerintah untuk membatalkan rencana penambahan pembangkit gas fosil baru dalam RUPTL 2025-2034 yang akan datang, dan membuat Peta Jalan Pemensiunan Pembangkit Listrik dari gas fosil dan bahan bakar fosil lainnya.
"Serta mempercepat transformasi ekonomi melalui fokus pada energi terbarukan, khususnya energi surya dan angin, bukan pembangkit gas fosil," pungkasnya.