21 Mei 2024
19:31 WIB
Ekonom: Kerja Sektor Informal Bebani Penerimaan Pajak
Ekonom menilai pekerja di sektor informal punya kecenderungan untuk tidak membayar pajak, dalam hal ini Pajak Penghasilan (PPh).
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Petugas DJP memberikan informasi pemadanan NIK menjadi NPWP kepada wajib pajak di salah satu KPP di Jakarta, Selasa (27/2/2024). Antara Foto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Ekonom Senior Raden Pardede menguraikan, besarnya jumlah masyarakat yang bekerja di sektor informal berdampak negatif pada torehan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Dia mewanti, kondisi ini juga menjadi tantangan utama bagi Ditjen Pajak ke depannya.
“(Besarnya pekerja informal) ini salah satu yang membuat penerimaan pajak kita tidak sebaik negara lain, karena sektor informal yang demikian banyak,” urainya ditemui usai agenda ‘Election to Action: Crafting A Sustainable Future Towards Golden Indonesia 2045 and ESG Excellence’, Jakarta, Selasa (21/5).
Dirinya menekankan, tantangan penerimaan pajak itu bisa terjadi lantaran sektor informal sulit diketahui besaran gajinya secara resmi. Dengan demikian, terdapat kemungkinan pekerja di sektor informal tidak membayar pajak, dalam hal ini Pajak Penghasilan (PPh).
Kondisi ini berbeda, manakala masyarakat bekerja di bidang formal yang besaran gajinya dapat segera diketahui karena dilaporkan kepada Ditjen Pajak Kemenkeu secara resmi. Dari situ, pemerintah bisa dengan mudah mengumpulkan penghasilan kena pajaknya.
“Tapi kalau sektor informal, kita kan sulit dan tidak bisa mengecek itu (penghasilan kena pajak),” urainya.
Lebih jauh, studinya juga menemukan, terlalu banyak pekerjaan di sektor informal umumnya membuat penerimaan pajak yang rendah. Hal ini nantinya juga bisa berdampak pada jaminan pekerja yang tergambar dari minim atau bahkan tidak membayar iuran BPJK Tenaga Kerja oleh pekerja informal.
“Dampaknya nanti akan menjadi problem makin jauh ke belakang,” paparnya.
Soal dominannya Gen-Z RI yang bekerja di sektor informal, Raden mengungkapkan, masalah yang sama juga terjadi di China dan India yang punya demografi yang jauh lebih besar. Namun dia tidak menyalahkan kondisi ini. Besarnya kalangan Gen-Z masuk ke pekerjaan informal terjadi karena sulitnya mendapat pekerjaan, kendati sudah jadi lulusan universitas.
Pemerintah pun harus cepat menyadari bahwa kondisi ini mesti diurai segera. Selain itu, tipikal kerja Gen-Z yang cenderung lebih suka bekerja dengan teknologi dan dinamis, juga turut berdampak pada keengganan mereka untuk bekerja di sektor formal yang lebih saklek.
“Memang generasi ini (Gen-Z) generasi yang beda, mereka suka pakai gadget dan kerja di situ,” ucapnya.
Baca Juga: Tax Ratio Indonesia Capai 10,21% Pada 2023. Apa Kata Pengamat?
Di sisi lain, sektor ekonomi Indonesia masih belum siap untuk menyediakan pekerjaan ‘permanen’ dengan bekerja dari rumah. Jika mau seperti itu pun, Indonesia perlu memperkuat sektor ekonomi agar bisa sejalan dengan teknologi.
“(Sekarang) masih belum, dua-duanya perlu diberesin menurut saya,” paparnya.
Tak ketinggalan, skill Gen-Z yang tech savvy perlu ikut dibenahi agar menjadi kompetitif di dunia kerja. Agar bisa menjadi pekerja lepas (freelance) atau bekerja jarak jauh berbasis teknologi.
“Itu harus menyesuaikan, bahwa kami (Gen-Z) adalah tantangan dari dunia sekarang, dari kalangan muda yang pakai banyak teknologi. Maka, sektor produksi kita juga harus dilengkapi dengan itu,” terangnya.
Secara kumulatif, APBN Kita mendata, realisasi PPh Pasal 21 (pekerja) selama kuartal I/2024 mencapai Rp62,86 triliun atau tumbuh 25,88% (yoy). Realisasi PPh Pasal 21 di periode ini konsisten tumbuh sekitar 20%-an setiap bulannya. Kinerja positif ini sejalan dengan utilisasi tenaga kerja serta gaji dan upah yang terjaga.
Penerimaan Pajak terutama berasal dari penerimaan PPh Nonmigas Rp220,42 triliun. Secara lebih detail, PPh Nonmigas masih ditopang oleh tiga komponen terbesarnya yang bersumber dari PPh Pasal 21, PPh Pasal 25/29 Badan, dan PPh Final. Kontribusi ketiganya mencapai 69,41% terhadap total penerimaan PPh Nonmigas.
Buat gambaran juga, mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Agustus 2023, jumlah anak muda yang tidak dalam pendidikan, pekerjaan atau pelatihan (Not in Education, Employment or Training/NEET) di dalam negeri mencapai 9.896.019 orang atau 9,89 juta orang.
Jika didalami, jumlah pemuda yang menganggur dengan rentang umur 15-19 tahun mencapai 3.437.779 orang atau 3,43 juta orang. Sementara, pemuda penganggur dengan rentang umur 20-24 tahun mencapai 3.437.779 orang atau 3,43 juta orang.
Jumlah pemuda dalam posisi menganggur lebih banyak berada di kawasan perkotaan dengan jumlah mencapai 5.238.400 orang atau 5,23 juta orang. Adapun jumlah pemuda menganggur di kawasan desa menyentuh jumlah 4.657.619 orang atau 4,65 juta orang.
Bukan Hanya Gen-Z
Selain Gen-Z, Direktur Pelaksana dan Kepala Ekonom DBS Group Research Taimur Baig menyampaikan, dunia juga perlu mengantisipasi keberadaan Gen Alfa yang saat ini berusia 10-12 tahun dalam ekosistem ekonomi di masa depan. Semua negara mesti memikirkan peningkatan keterampilan kelompok masyarakat ini juga.
Secara khusus, pemangku kepentingan perlu menggaransi pendidikan berkualitas dalam 6-8 tahun ke depan untuk mempersiapkan anak-anak ini. “Di mana AI akan sangat mendisrupsi, transisi ramah lingkungan, dan ekonomi bidang jasa mungkin akan menjadi dua sumber lapangan kerja dan peluang terbesar (untuk mereka),” papar Taimur.
Sekilas, pekerja sektor informal atau gig economy tampak baik dari sudut pandang gaya hidup pelakunya. Karena pekerja dapat memilih waktu bekerja sampai pengaturan seberapa banyak beban pekerjaan yang ingin diemban secara mandiri.
Namun saat yang sama, dia mengingatkan, beberapa hal tersebut tidak memberi pekerja gig keamanan finansial maupun jaminan kesejahteraan, sebagaimana diberikan oleh pekerjaan di sektor formal di masa lalu.
Baca Juga: Mudik Lebaran Bikin Setoran Pajak dan Retribusi Daerah Tokcer
Segenap pemerintah di dunia juga sedang bergulat dengan realisasi kerja yang diformulasikan dapat menjadi tiga hari kerja dalam sepekan, bekerja secara kontrak sebagai vendor, hingga pemberian empat minggu liburan dalam setahun dengan jaminan pemberian uang pensiun.
“Jadi, permasalahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia,” katanya.
Dari sisi perpajakan, pekerjaan sektor jasa mempunyai relevansi perpajakan yang sama dengan manufaktur atau pertanian. Untuk itu, pemerintah harus mengambil keputusan tentang pengenaan pajak pada sektor tersebut.
“Apakah ini pajak jasa, sebagaimana jenis pajak barang dan jasa (Goods and Services Tax/GST)? Ataukah ada pajak penghasilan yang pada akhir tahun wajib menyatakan seluruh penghasilan dari kerjanya di bidang jasa?” jelasnya.
Meski banyak kasus pelaku gig economy tidak melaporkannya pajaknya, namun ada banyak cara lain untuk mengetahui potensi penghasilannya. Pada akhirnya, setiap orang yang bekerja pasti akan melakukan aktivitas pembayaran setiap waktu.
Lagi-lagi, kondisi sulitnya memajaki pekerja gig bukan hanya dihadapi oleh Indonesia, namun seluruh dunia. Dan fenomena ini terjadi semakin jelas hari ini.
“Menurut saya, ini adalah prinsip-prinsip perpajakan yang cukup jelas dalam administrasi publik yang harus (segera) ditangani,” ucapnya.