c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

04 Agustus 2025

10:22 WIB

APSyFI: Penolakan BMAD dan Impor Ilegal Berisiko Deindustrialisasi tekstil RI

APSyFI menjelaskan penolakan BMAD dan impor ilegal produk China berisiko bagi industri tekstil dalam negeri. APSyFI siap melakukan audiensi dengan BK Kemendag terkait hal ini

Editor: Khairul Kahfi

<p>APSyFI: Penolakan BMAD dan Impor Ilegal Berisiko Deindustrialisasi tekstil RI</p>
<p>APSyFI: Penolakan BMAD dan Impor Ilegal Berisiko Deindustrialisasi tekstil RI</p>

Ilustrasi - Pekerja menyelesaikan produksi pakaian di kawasan Sentra Industri Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/6/2025). Antara Foto/Novrian Arbi/YU

JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) melakukan audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag) untuk mendiskusikan dampak penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap kondisi industri tekstil nasional.

Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil menjelaskan, penolakan BMAD dan impor ilegal produk China berpotensi menjadi risiko bagi industri tekstil dalam negeri.

"Bagi investor asing, tidak ada jaminan iklim usaha yang adil jika barang impor terus masuk tanpa hambatan," ujar Farhan melansir Antara, Jakarta, dikutip Senin (4/8).

Baca Juga: Pemerintah Berhenti Proses Rekomendasi BMAD Impor Benang Filamen Sintetis China

Farhan mengutarakan, BMAD seharusnya menjadi momentum kebangkitan bagi pelaku industri domestik. APSyFi  juga menyampaikan, sejumlah investor asing melihat potensi mesin-mesin produksi yang bisa dihidupkan kembali. Namun, penolakan BMAD memengaruhi keputusan investor.

Selain itu, APSyFI juga mendata, terjadi lonjakan impor benang filamen antara 70% sampai 300% dari 2017 hingga saat ini.

Menurut Farhan, kondisi tersebut perlu menjadi perhatian guna menghindari risiko dampak sosial dan ekonomi, seperti kredit macet pelaku industri, tenaga kerja yang dirumahkan, mesin mangkrak, serta turunnya kepercayaan generasi muda terhadap sektor manufaktur.

Farhan khawatir kondisi itu pada akhirnya akan berdampak pada deindustrialisasi tanah air. Maka dari itu, APSyFI mendorong agar pemerintah membuat kebijakan yang berpatokan pada kepentingan bersama.

"Industri ini dibangun puluhan tahun. Ini bukan soal bisnis lagi. Ini soal kedaulatan industri nasional," ujarnya pula.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.

Baca Juga: Kemenperin Dukung Kemendag Hentikan Rencana BMAD impor Benang Filamen

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan, keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.

"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas," ujar Budi.

Pemerintah menekankan, penerapan BMAD memiliki syarat ketat. Menurut Kemendag, instrumen ini diberlakukan untuk melindungi industri domestik dari praktik perdagangan tidak sehat seperti dumping yang merugikan. 

BMAD bisa diterapkan jika terbukti ada lonjakan impor yang menghancurkan industri dalam negeri. Besaran bea masuk akan ditentukan berdasarkan perhitungan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), sesuai dengan aturan WTO.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar